Senin, 08 Juli 2013

Cadar dan Celana

Cadar dan Celana

Jean Couteau  ;  Kolumnis “Udar Rasa”Kompas
KOMPAS, 07 Juli 2013


Saya bingung. Lantaran sejak Adam dan Hawa, identik dengan keberadaan manusia: tubuh, dan terutama tubuh wanita. Bingung juga karena masalah itu kini hadir di tengah keluarga saya yang terbelah. Bayangkan!
Di satu pihak terdapat putri saya yang remaja; dia suka memakai shorts alias celana pendek yang memperlihatkan, kata kaum macho, ”pahanya yang mulus”. Kepada siapa pun yang mengkritiknya karena ”tidak sopan, tidak pantas bagi wanita yang baik-baik” dan sebagainya, dia membalas dengan lugas: ”This is my body”. Saya yang punya tubuh. Wah, pengaruh kaum Femen tidak jauh; apakah telah meresap di otaknya melalui Youtube, saya tidak tahu, tetapi apa pun halnya, tak tersangkal si bungsu itu jelas-jelas feminis.

Di lain pihak, dan bertolak belakang dengannya, terdapat menantu saya dari Singapura: busananya bukan shorts, tetapi cadar. Jadi, pria yang bukan muhrimnya tidak boleh berbagi ruangan apa pun dengan dia. Saya sebenarnya cukup beruntung sebagai mertua, oleh karena berada di dalam posisi untuk mengetahui bahwa menantu itu, selain manis, juga sangat ramah, berbudi baik dan bahkan toleran pula. Tetapi wacananya di seputar tubuh bertolak belakang dengan iparnya yang kecil: alih-alih berkata: ”This is my body”, seperti si bungsu, dia menyiratkan dalam busananya: ”this is His body (ini tubuh-Nya) but this is also my choice” (dan itulah pilihanku). Jadi dia mengacu pada nilai-nilai Illahi sebagai penentu busana, sedangkan iparnya mengacu pada individualisme modern! Yang mana yang benar?

Saya orang yang kurang berpendirian, maka tidak tahu! Netral. Cuma tak ayal pertarungan di seputar posisi tubuh wanita itu kini menjadi menu keluarga saya. Masih untung istri saya menempati posisi tengah: dia tidak pakaishorts. Tetapi, sebagai dosen di sebuah universitas, dia juga tidak enggan memperlihatkan rambutnya pada siapa pun. Dua puluh tahunan yang lalu, itulah yang membuat saya jatuh cinta kepada dia, dengan hasilnya si bungsu tadi! Para penyair pasti memahami.

Boleh jadi nasib saya di atas adalah hasil dari kompleksitas lapis-lapis identitas yang membebani saya, tetapi hal itu juga mencerminkan pertarungan nasional dan global di seputar makna tubuh dan nilai-nilai moral terkait, kalau memang ada.

Busana

Tubuh dan busana, yang dulu kala tak lebih dari ”kenyataan kultural” yang banal, kini menjadi ”pernyataan identitas” dan bahkan politik. Payudara para aktivis Femen yang bertelanjang dada secara provokatif di katedral Paris atau di depan pengadilan negeri Tunis ”berbahasa” lain dari pada payudara terbuka wanita Papua di pedalaman atau wanita Bali zaman dulu. Sang wanitalah yang mempunyai kuasa akhir atas tubuhnya, kata mereka–bukan pria, bukan adat pula. Jadi tubuh mereka dijadikan bendera anti patriarki. Para wanita Papua dan Bali sebaliknya bertelanjang dada secara ”alamiah”, tanpa maksud apa pun. Demikian pula, mengenakan cadar di Qatar bermakna lain dari pada bercadar di Paris. Di Qatar, bersifat adat. Di Paris cadar merupakan pernyataan agama kaum minoritas. 

Situasi tambah runyam lagi oleh karena ”sign/tanda” yang sama–katakanlah dada terbuka atau busana tertentu—kerap diberikan berbagai tafsir yang bertentangan satu sama lainnya. Para aktivis Femen dicap ”porno”. Ada pun wanita berjilbab yang bercelana ketat, boleh jadi hendak menyampaikan pesan ”ketaatan agama”, tetapi dicap ”terlampau dipengaruhi Barat” di Qatar dan Saudi Arabia. Otaknya ”religius”, tapi pinggangnya ditafsir ”sekuler” dan kebarat-baratan.


Jadi tubuh wanita dijadikan ajang pertarungan kekuasaan: antara kedua ”jender”–pria dan wanita; antara dua pengertian negara yang berbeda–religius dan sekuler; dan antara kebudayaan –Islam atau ”Timur” lawan ”Barat”. Kenapa kompleksitas tersebut? Karena kami, para pria, amat sulit memandang wanita sebagai ”person”. Kami cenderung memandangnya sebagai tubuh. Apakah untuk diidealkan atau dilindungi, tetapi selalu untuk dikuasai secara riil atau simbolis!! Patriarki menghinggapi pikiran kami. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar