|
KOMPAS,
02 Juli 2013
Seorang rektor di satu universitas di
Tanah Air diduga telah melakukan kecurangan dalam meraih gelar doktor, Senin
(17/6). Modusnya dengan cara memanfaatkan kewenangannya untuk mempercepat
kelulusan dan memperoleh ijazah. Alhasil, dia lulus program doktor hanya dalam
waktu satu tahun 11 bulan.
Pemerintah dinilai mengabaikan laporan
karena hingga kini belum ada tanggapan serius terhadap kasus tersebut. Itu
merupakan satu kasus dari banyaknya masalah yang terdapat dalam program doktor
di Indonesia.
Contoh lain: plagiasi, disertasi
pesanan, disertasi saduran, disertasi palsu, hingga ijazah doktor aspal.
Seiring dengan menjamurnya program pascasarjana di Indonesia, sebetulnya apa
saja penyakit-penyakit mematikan dalam program doktor kita?
Lolos
dari perundangan
UU tentang pendidikan nasional
tidak memuat prosedur pelaksanaan pendidikan program doktor secara rinci.
Demikian pula dalam RUU tentang Perguruan Tinggi yang digodok oleh DPR.
Tidak ada klausul yang secara khusus menyinggung mekanisme penyelenggaraan
perkuliahan dan pemberian ijazah tersebut.
RUU Perguruan Tinggi paling banter
mengacu prinsip ”kebenaran ilmiah”, ”kejujuran”, dan ”keadilan”, sebagaimana
terdapat pada Pasal 2 tentang asas-asas perguruan tinggi. Asas-asas tersebut
tidak memiliki penjabaran yang konkret. Misalnya, seorang dosen dilarang
mendaftar program doktor di universitas tempat dia bekerja. Atau seorang
pejabat fungsional setingkat ketua jurusan, dekan, atau rektor tidak diizinkan
mengikuti program doktor di universitasnya sendiri.
Bila mengacu pada prinsip
”kejujuran”, tuduhan ada kecurangan dalam penyelenggaraan pendidikan jelas
tidak mudah dibuktikan. Disertasi sebagai hasil akhir bisa saja dijadikan
sebagai tolok ukur ”kualitas”, tetapi itu lazim diperdebatkan. Apalagi untuk
membuktikan prinsip ”keadilan” melalui perbandingan dengan peserta satu angkatan.
Rektor yang menandatangani
ijazahnya sendiri adalah kasus ekstrem. Kasus itu bisa dijabarkan secara
kronologis berikut ini. Ketika menjadi mahasiswa calon doktor pada 2010, dia
mencalonkan diri sebagai rektor. Ketika itu calon rektor yang juga dosen yang berpangkat
sebagai dekan itu mengajukan cuti kuliah.
Dalam perjalanannya, dosen tersebut
disebutkan telah berhasil menjadi rektor. Sejak itulah kendali universitas
sudah berada di tangannya, termasuk urusan kuliah di universitas tempat dia
memimpin. Urusannya dalam hal menempuh pendidikan di universitasnya sendiri
juga selesai dalam waktu singkat, yakni satu tahun 11 bulan. Bila dihitung
seluruh masa studi dikurangi cuti minimal satu semester, maka akan didapat lama
studi tiga semester atau satu tahun enam bulan. Sulit sekali membayangkan
sebuah pendidikan yang berbasis riset mencapai temuan ilmiah dilakukan
sesingkat itu.
Ketika seorang dosen dinyatakan
lulus sebagai doktor di sebuah universitas tempat dia mengajar, itu tidak
ubahnya sebagai perilaku hermafrodit. Istilah hermafrodit secara umum mengacu
pada binatang yang memiliki kelamin ganda sehingga bisa membuahi dirinya
sendiri. Hal itu dimungkinkan karena binatang ini tidak memiliki akses ke dunia
luar.
Dalam konteks pendidikan, hal itu
tidak saja mencerminkan prinsip pragmatis, praktis, dan efisiensi, tetapi juga
sempitnya pola pikir dosen sebagai ilmuwan. Dalam alur berpikir kolektif ada
perumpamaan ”seperti katak dalam tempurung”. Wajar bila muncul ungkapan, ”yang
penting doktor”, ”mendoktorkan diri”, atau ”promotor kawan sendiri”.
Inti pendidikan doktor adalah
temuan penelitian. Dalam proses perkuliahan doktor, kita mengenal tahapan
perkuliahan, penelitian, dan hasil penelitian. Tes masuk doktor adalah
proposal. Jika diterima, dia harus menempuh mata kuliah tertentu yang relevan.
Hasil tahapan ini adalah angka penilaian. Jika sudah lulus, seorang mahasiswa
doktor baru bisa mengajukan proposal. Biasanya ini dilakukan dalam waktu satu
semester dan diakhiri dengan ujian proposal. Ujian proposal dilakukan setelah
promotor dan ko-promotor menyatakan bahwa proposal tersebut laik uji.
Hasil ujian proposal adalah izin
bagi seorang mahasiswa melakukan penelitian. Jika dinyatakan lulus, mahasiswa
doktor itu berubah status jadi kandidat doktor. Sebagai kandidat doktor, dia
tidak langsung terjun ke lapangan, tetapi harus terlebih dahulu memperbaiki
proposal. Setelah perbaikan, hasilnya dilaporkan kepada promotor untuk
memperoleh persetujuan penelitian. Praktik penelitian itu dapat dilaksanakan
paling cepat pada semester keempat. Dalam semester keempat itu seorang kandidat
doktor bisa mengebut agar penelitiannya selesai dalam satu semester. Kandidat
doktor diharuskan melakukan konsultasi bab per bab dengan promotor dan
ko-promotor secara bergantian atau bersama.
Penelitian
ala kadarnya
Lazimnya, penelitian tak bisa
selesai dalam satu semester karena tahapan penelitian harus dijalankan melalui
pengumpulan data dan analisis data yang tidak sederhana. Kalaupun bisa selesai
pada semester kelima, kandidat doktor itu akan menempuh ujian hasil penelitian.
Hasil penelitian itu bisa dilakukan pada semester keenam. Jika lulus, kandidat
doktor akan membuat laporan penelitian lengkap yang akan diajukan kepada dewan
penguji untuk uji kelayakan. Jika lulus, ia akan menempuh ujian tertutup.
Setelah lulus dan selesai revisi, calon doktor akan menempuh ujian terbuka.
Ujian terbuka akan menghasilkan gelar doktor.
Berdasarkan tahapan tersebut,
sebuah pendidikan doktor yang wajar ditempuh dalam waktu tiga tahun. Bisa saja
dipercepat melalui penyingkatan waktu penelitian dan keputusan senat dewan
penguji, tetapi hal itu tidak bisa kurang dari dua semester penuh, kecuali
masing-masing tahapan dilakukan tiap minggu.
Bila direfleksikan terhadap kasus
masa studi yang singkat, ada empat kemungkinan. Pertama, mungkin dewan penguji
memberikan waktu yang ”cepat” untuk melewati tiap tahapan. Karena itu kita
perlu catatan konsultasi. Kedua, peneliti atau kandidat memang memiliki hasil
penelitian yang sangat baik sehingga melewati semua tahapan itu dengan sangat
mudah. Kemungkinan ini bisa dibuktikan melalui publikasi dan pengakuan dari
lembaga yang kredibel. Ketiga, ada hubungan dekat yang cenderung sebagai
praktik kolusi
antara penguji dan kandidat doktor. Keempat, ada intervensi kekuasaan dalam praktik pendidikan.
antara penguji dan kandidat doktor. Keempat, ada intervensi kekuasaan dalam praktik pendidikan.
Dua hal terakhir ini bisa dilihat
berdasarkan struktur birokrasi. Tak bisa dipungkiri, banyak kasus di mana
hubungan antara kandidat dan para penguji adalah teman sejawat atau atasan
dalam lingkungan kerja yang sama. Karena teman sendiri, jadi praktik pendidikan
bisa ”fleksibel”.
Berdasarkan fakta-fakta di atas
sebetulnya tak sulit menebak sikap pemerintah yang ambivalen dan cenderung masa
bodoh. Namun, ini justru kian membuktikan banyak masalah yang terdapat dalam
program doktor kita. Pembenahan kualitas doktor pada tingkat penulisan, seleksi
jurnal internasional, hingga akreditasi berkala sebetulnya tetap akan
menghasilkan doktor abal-abal bila fenomena kecurangan itu tak bisa dihentikan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar