|
MEDIA
INDONESIA, 01 Juli 2013
BOM waktu pengebirian kebebasan
berkumpul dan bersyarikat warga negara segera akan mulai berdetak di rahim
demokrasi menjelang pengesahan RUU Ormas menjadi undang-undang pada Selasa, 2
Juli 2013, besok. Pada `D-Day' awal legalisasi pengeberian demokrasi, besok,
seluruh kemampuan masyarakat madani harus dikerahkan untuk memastikan lahirnya
keputusan pencabutan total, once and for
all, baik Undang-Undang Ormas produk rezim otoriter Orba maupun RUU Ormas
yang baru produk para wakil partai yang sudah lama melupakan rakyat dan hak-hak
dasar warga negara.
Proses demokratisasi yang sedang berjalan terseok-seok
menuju penegakan tradisi peradaban demokrasi-kontekstual yang berakar kuat
harus diselamatkan dari ancaman bom waktu RUU Ormas godokan wakil partai yang
kian tercerabut dari hakikat Pasal 28 UUD '45 (amendemen keempat) ataupun dari
realitas aspirasi rakyat yang kian tersekat.
Harus dicabut
Secara prinsipiel, ada tiga alasan utama mengapa produk
politisi Senayan itu harus dicabut seluruhnya dan bukan sekadar ditolak untuk
dibenahi secara tambal-sulam. Pertama, RUU Ormas dibangun di atas dasar
prasangka paranoid bahwa masyarakat ialah lumbung ancaman bagi ketertiban dan
kenyamanan kehidupan bersama maupun keamanan dan kelangsungan eksistensi NKRI.
Berlandas prasangka sesat yang diteruskan dalam nalar
sesatpikir yang mencengangkan, di benak pemerintah dan para wakil parpol di
Senayan hadir dua hantu utama: maraknya anarkisme ormas-ormas preman, baik
berjubah suku maupun agama; dan ancaman intervensi asing lewat lembaga-lembaga
sosial masyarakat boneka yang mengusung agenda-agenda kepentingan asing. Itulah
dua ketakutan utama yang merupakan alasan pamungkas kelahiran RUU Ormas yang
sesungguhnya tidak perlu, tidak penting, dan tidak urgen.
Terhadap kedua hantu itu, pemerintah bersama politisi dan
wakil parpol bukannya berupaya mencari sebab-musabab dari ancaman kedua hantu
itu. Nalar dan pendalaman masalah mereka buntu serta majal untuk mengenali akar
masalah untuk kemudian merumuskan alat penangkal efektif atas kedua hantu itu.
Pemerintah dan DPR gagal, atau tidak mau mengakui, bahwa sebab utama maraknya
tindak anarkisme sosial di ruang publik ialah negara absen, dan dengan itu,
membiarkan pelanggaran hukum terjadi. Bila aparat kepolisian mampu terus
waspada dan hadir tepat waktu saat anarkisme baru akan berkecamuk atau
jauh-jauh hari sebelumnya, sesungguhnya gejolak anarkisme dapat ditekan dan
dikendalikan secara tegas dan berwibawa.
Demikian juga dengan ancaman penunggangan LSM boneka oleh
agen-agen kepentingan asing. Terhadap ancaman tersebut, sesungguhnya sudah
tersedia seperangkat undang-undang antisubversi dan antiterorisme yang siap
digunakan. Alih-alih membuat produk legislasi baru yang tidak dibutuhkan, dan
karena itu mubazir segala biaya, seyogianya pemerintah dan DPR berupaya
memaksimalkan penerapan penangkal-penangkal hukum yang ada terhadap ancaman
kepentingan asing. Hal yang makin menggelikan ialah bahwa pemerintah dan DPR
dalam lima tahun terakhir ini sangat bergairah menghasilkan produkproduk
legislasi yang memudahkan penjarahan kekayaan alam negeri ini yang kian
menipis. Nasib generasi mendatang sedang dipertaruhkan.
Kedua, secara tersamar, RUU Or mas yang menyasar ruang
gerak kebebasan berkiprah pada hakikatnya inkonstitusional. Mengapa? Kelihatannya
secara harfiah, seolah-olah RUU ini ingin menjabarkan secara operasional suatu
`kebebasan yang tidak kebablasan', ingin mengerem suatu kebebasan liberal tanpa
kendali. Begitu tebersit, apalagi terbaca adanya suatu niat `pengendalian' oleh
suatu otoritas di luar atau di atas ormas tertentu, di situ kebebasan
demokratis serta-merta kehilangan roh asasinya.
Kebebasan
dalam alam demokratis itu terwujud dan berkembang dengan gereget yang sehat
bila ada bukan
hanya lewat kehadiran sistem dan mekanisme yang memfasilitasi dialog tulus (genuine dialogue) yang setara; melainkan
pula atmosfer kesejawatan yang saling percaya dan saling menghargai. Dinamika
dialog semacam itu lah yang seyogianya mengen dalikan kebebasan setiap warga
yang sudah dibekali dengan apa yang disebut `civic
competence' dalam ruang publik organisasi organisasi masyarakat mandiri
sebagai pilarpilar utama masyarakat madani.
Keterampilan dan keandalan warga dalam berorganisasi tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Keterampilan
dan keandalan warga dibenihkan, ditempa, dan ditumbuhkembangkan dalam bera gam
ormas sebagai `habitat-habitat awal', cikal bakal manusia-manusia demokrat
sejati. Keterampilan dan ke andalan warga semacam itu mustahil disemayamkan
lewat kendali otoritas dari luar dan dari atas dalam suatu relasi yang
hierarkis. Itulah hakikat roh dari Pasal 28 UUD '45 itu.
Dengan adanya ketentuan hukum bahwa sebuah ormas yang
berbadan hukum seyogianya mendaftar dan mendapatkan surat keterangan terdaftar
(SKT), yang sewaktu-waktu bisa ditagih bila ingin berkiprah--atau malah
dihentikan kegiatannya oleh suatu forum musyawarah otoritas daerah--jelas
hakikat kebebasan konstitusional itu sudah dikebiri. Bila hal demikian terjadi,
jelas dan gamblang RUU ini inkonstitusional adanya.
Kendala politik lokal
Selain itu, ada komplikasi dinamika aliansi politik lokal
yang sangat potensial mencederai hakikat kebebasan konstitusional. Potensi
komplikasi itu malah sudah terdeteksi dalam beratus-ratus pemilu kada yang
sudah berlangsung sejauh ini. Para kandidat kepala daerah, selain membutuhkan
dana dan mesin mobilisasi suara, juga imperatif membutuhkan aliansi-aliansi
soial politik dengan cara merangkul berbagai ormas pendukung ke dalam barisan
penyuksesan. Berbagai ormas pendukung jelas berharap mereka mendapatkan
berbagai pengistemawaan, termasuk perlindungan dari ancaman penghentian
kegiatan sementara bila kandidatnya memenangi pemilu kada. Proses dalam forum
musyawarah pimpinan daerah jelas-jelas akan tersandera kepentingan-kepentingan
melekat ini dalam rembuk mereka tentang ulah suatu ormas tertentu.
Tarik-ulur kepentingan dan dagang sapi politik dalam forum
pimpinan daerah kala membahas dan memutuskan keberlangsungan nasib suatu
organisasi masyarakat akan berlarut-larut akibat ketidakpastian yang akan sangat
merugikan anggota-anggota suatu organisasi. Hak kebebasan berkumpul dan
bersyarikat akhirnya akan jadi bulan-bulanan tawar-menawar yang sangat
transaksional. Sudah lama terlacak, di belakang
setiap unsur pimpinan daerah ada kepentingan ekonomi kelompok bisnis tertentu
dan kelompok pemungut rente dengan ataupun tanpa intimidasi fisik dan keamanan.
Hal itu akan membuat hakikat kebebasan demokratik warga negara kian kering
kerontang.
Ketiga, RUU Ormas yang dijadwalkan akan disahkan besok,
Selasa, 2 Juli 2013, juga bersifat ahistoris dalam sekurang-kurangnya dua butir
berikut. Pertama, pengaturan sejenis ini biasanya marak dibuat rezim-rezim
otoriter di masa masing-masing. Sesudah reformasi 1998, negara dan bangsa
Indonesia sesungguhnya sudah mulai menapak ke alam peradaban demokratis. Karena itu, pengaturan semacam ini secara diametral berlawanan dengan jarum jam
sejarah.
Kedua, dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa ini,
para the founding fathers and mothers kita sesungguhnya ditempa bakat dan
kemampuan berorganisasi mereka, sebagai anggota biasa dan apalagi sebagai
pemimpin dalam pondok-pondok politik yang terwadahi dalam sejumlah organisasi
masyarakat.
Jadi, ormas ialah infrastruktur strategis dan vital bagi berbagai
partai politik yang kemudian tumbuh menjamur. Berbagai ormas yang bebas
berkiprah pasti akan mampu membebaskan berbagai parpol yang jadi pilar utama
demokrasi dari kerja-kerja penyemaian signifikan yang sangat menguras pikiran,
tenaga, dan sumber daya lainnya di periode-periode awal pemantapan
infrastruktur demokrasi.
Jadi, bila ruang gerak ormasormas pembenih awal terhalang,
kalau tidak malah terbonsai, oleh suatu otoritas dari luar dan dari atas
organisasi itu sendiri, dapat dipastikan akan terjadi defisit demokrasi secara
substansial. Bila berkelanjutan bom waktu RUU Ormas ini berdetak di jantung
demokrasi, yang akan terjadi pada akhirnya bukan hanya kemarau demokrasi
panjang, melainkan juga gagal panen demokrasi dalam membuahkan kesejahteraan
bagi warga negara bangsa ini.
Bila masa pemerintahan Presiden Yudhoyono ingin mewariskan
sesuatu (significant legacy) yang
sangat mendasar, strategis, dan bernilai bagi penegakan peradaban demokrasi ke
generasi-generasi mendatang, segera matikan detak bom waktu RUU Ormas sebelum
meledak dalam pengesahannya menjadi undang-undang, besok, 2 Juli 2013.
Ledakan-ledakan yang tidak diinginkan itu akan mengamblaskan infrastruktur
terpokok bagi superstruktur partai politik di atasnya.
Semoga Tuhan menjernihkan dan membeningkan nurani dan
pikiran para politikus Senayan untuk mencabut UU Ormas Orba dan sekaligus juga
mengeluarkan RUU Ormas dari daftar agenda legislasi untuk selama-lamanya.
Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar