Sekolah Unggul
Adalah Ibu
Raihan Iskandar ; Anggota
Komisi X DPR RI
|
REPUBLIKA,
22 Desember 2012
Suatu hari di sebuah
kota di Ohio, Tommy, seorang siswa berusia 4 tahun yang agak tuli dan bodoh
di sekolah, pulang ke rumahnya membawa sepucuk surat dari gurunya. Ibunya
yang bernama Nancy Mattews membaca surat tersebut, "Tommy anak ibu,
bodoh dan tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah kami.
Kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah."
Sang ibu terhenyak
membaca surat ini. Tapi, ia segera bertekad, "Anak saya Tommy, bukan
anak bodoh. Mulai saat ini, saya sendiri yang akan mendidik dan mengajarnya."
Karena itulah, Tommy hanya bersekolah di sekolah resmi selama 3 bulan. Selanjutnya,
ibunya yang mendidik dan mengajarnya di rumah. Sang ibu bertekad untuk mengajari Tommy berbagai hal. Hingga akhirnya, Tommy
berhasil menjadi orang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak.
Siapakah Tommy ini? Ia adalah Thomas Alva Edison, sang penemu lampu yang
temuannya menjadikan bumi ini tidak gelap gulita. Inilah salah satu contoh
hasil didikan seorang ibu.
Kisah nyata di atas
mungkin terdengar klise karena mungkin masih ada sebagian dari kita yang
beranggapan bahwa pendidikan adalah hanya tugas lembaga bernama sekolah
formal. Padahal, ada lembaga lain yang cukup penting dalam mendidik generasi
penerus bangsa. Lembaga tersebut adalah keluarga. Seorang ibu,
tanpa mengabaikan peran ayah, sangat berperan dalam mendidik dan mencetak
anak-anaknya.
Pada masyarakat Arab,
ada ungkapan yang berbunyi "al
ummu madrasatun (ibu adalah sekolah unggul)". Sejak usia kandungan 4
bulan, pendidikan dari seorang ibu dimulai. Jadi, sekolah dimulai sejak dalam
kandungan (konon, ibu-ibu di Barat dan Yahudi terbiasa memperdengarkan musik
Mozart dan mengerjakan soal-soal Matematika yang sulit saat hamil dengan
harapan agar anaknya nanti menjadi anak yang memiliki kecerdasan
tinggi).
Hingga kemudian,
ketika seorang anak lahir ke dunia memasuki masa balita dan masuk lembaga
pendidikan formal, seperti Paud/TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Meskipun seorang anak telah memasuki dunia pendidikan formal, pendidikan dari
ibu tetaplah berjalan. Idealnya seperti itu.
Jika kita menengok
sejarah Hari Ibu di Indonesia, kita akan dapati bahwa seorang ibu memiliki
peranan sebagai pendidik bagi anak-anaknya dan juga bagi bangsanya. Seorang
ibu dimaknai sebagai ibu bagi anak-anaknya sekaligus juga ibu bagi
bangsanya.
Hal ini tercetus pada
Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) ke-2 pada 1935 yang
mengambil jargon "Mewujudkan Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa".
Di balik pernyataan ini, telah muncul kesadaran mendalam mengenai kehidupan
berbangsa pada perempuan. "Ibu bangsa" berarti bahwa perempuan
bukan hanya memiliki peran domestik dan sosial, melainkan berperan politik
yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi secara utuh.
Jika menilik Jepang,
kita akan menemukan salah satu rahasia kemajuan ekonominya yang sangat pesat.
Kyoiku Mama atau ibu pendidikan merupakan budaya Jepang yang tidak banyak
orang tahu. Daoed Joesoef (mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI) mengungkap tentang Kyoiku Mama ini.
Para ibu di Jepang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak mereka, sedangkan sang ayah mencari nafkah.
Para ibu yang disebut
Kyoiku Mama ini rela untuk tidak mengejar karier sebagai seorang perempuan dengan
bekerja di perusahaan atau sejenisnya. Mereka hanya fokus untuk mendidik anak
(menyiapkan segala yang dibutuhkan anak untuk sekolah, kursus, dan les) dan
mengurusi rumah tangganya. Dan, rata-rata pendidikan mereka
tinggi. Merekalah yang mampu mendidik dan menghasilkan generasi yang
menjadikan Jepang maju, seperti sekarang. Stereotip orang Jepang, seperti
kedisiplinan, etos kerja yang tinggi, kesopanan, dan kebersihan adalah buah
dari didikan para Kyoiku Mama ini.
Jika di Jepang ada
Kyoiku Mama, Indonesia memiliki organisasi-organisasi kaum ibu, seperti
gerakan PKK yang susunan kepengurusan dan keanggotaannya menjangkau seluruh
wilayah Indonesia sampai ke tingkat rukun tetangga (RT). Selain itu, juga ada
Dharma Wanita, majelis-majelis taklim kaum ibu, dan lain sebagainya.
Organisasi-organisasi
kaum ibu ini sebetulnya lebih terorganisasi jika dibandingkan Kyoiku Mama
yang cenderung bersifat individual. Karena itu, organisasi-organisasi kaum
ibu ini adalah aset strategis yang perlu segera direvitalisasi dan digarap
dengan serius.
Ibu-ibu yang terlibat
dalam PKK, darma wanita, majelis-majelis taklim kaum ibu, dan
organisasi-organisasi perempuan dan keluarga lainnya hendaknya mampu
memelopori family mainstream (pengarusutamaan
keluarga) bagi putra- putrinya, baik di keluarga maupun di masyarakat. Dengan
kata lain, para ibu yang sejatinya adalah "sekolah unggul" mampu
menghasilkan generasi tangguh dan berkualitas.
Hari Ibu adalah saat
yang tepat untuk merevitalisasi gerakan para ibu Indonesia agar mampu
mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus bangsa. Hari Ibu di Indonesia
hendaknya menjadi refleksi tahunan, sudah sejauh manakah ibu berhasil menjadi
"sekolah unggul". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar