Pemuda dan
Keutuhan NKRI
Da’i Bachtiar ; Dubes Luar Biasa Berkuasa Penuh RI
untuk Kerajaan Malaysia (Mei 2008–Juni 2011); Jenderal Polisi (Purn); Kapolri
(November 2001–Juli 2005), Utusan Khusus Presiden RI untuk Kerja Sama Negara
EAGA (Desember 2005–saat ini)
|
KOMPAS,
10 Desember 2012
Munculnya berbagai
penyimpangan sosial berkadar rendah, seperti gesekan atau benturan
antarkelompok hingga yang berkadar tinggi berupa konflik sosial, sungguh
memprihatinkan.
Sudah banyak contoh
yang kita saksikan: mulai dari tawuran pelajar hingga konflik Ambon dan Poso.
Padahal, pada masa lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, pemuda-pemudi Indonesia
menyatakan tekad membangun satu entitas baru yang menyatukan berbagai
perbedaan besar di antara mereka. Itu pun terjadi dalam kondisi lingkungan
sosial politik yang tidak mendukung karena masih dalam masa penjajahan.
Kini, setelah 84
tahun, paling tidak setelah satu generasi, kita bersyukur telah menikmati
hidup sebagai bangsa yang diakui sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia,
dalam naungan NKRI. Namun, segala yang dapat dinikmati hingga saat ini
tidaklah taken for granted, tetapi
harus dicapai dengan liku-liku dinamika perjuangan yang berat (struggle of life).
Mulai dari
keinginan memisahkan diri dari NKRI (separatisme), konflik antarkelompok
(SARA: suku, agama, ras, dan antar-golongan), dan aneka bentuk terorisme,
narkotika, ataupun kejahatan transnasional.
Sekalipun ancaman
musuh dari luar tak tampak secara signifikan, upaya melemahkan NKRI dari
pihak luar tetap ada dengan memanfaatkan kondisi dalam negeri yang dimensinya
bukan hanya penguasaan wilayah, melainkan juga penguasaan sumber daya alam.
Hal ini sangat terasa ketika terjadi pergolakan politik di dalam negeri,
seperti pada tahun 1965 saat perubahan ke era Orde Baru dan tahun 1998 saat
perubahan ke era Reformasi.
Pada abad
berakhirnya ”perang dingin”, penyerangan satu negara ke negara lain dalam
bentuk invasi untuk menjajah atau mencaplok wilayah negara lain tidak akan
terjadi lagi, kecuali apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Irak
ataupun koalisi AS dan beberapa negara Eropa yang menyerang Libya. Memang
mereka berdalih tak untuk mengambil alih wilayah, tetapi menjatuhkan rezim
kekuasaan yang dianggap otoriter pun sebenarnya sudah merupakan invasi
terhadap kedaulatan negara.
Ancaman
dari Dalam
Indonesia
sebenarnya tidak perlu khawatir terhadap ancaman seperti itu karena yang
paling berat justru ancaman separatisme dari dalam. Kehancuran akan datang
dari kondisi dari dalam negeri, dan oleh karena itu, harus kita cegah dari
sekarang.
Kita sudah melihat
contoh bubarnya negara Uni Soviet dan negara Yugoslavia. Faktor yang
membubarkan adalah perbedaan di antara penduduk, seperti etnik, bahasa, dan agama.
Begitu faktor perekat dan pengikatnya lemah, terutama jika pengikatnya
bertumpu pada ketokohan pemimpin, negara pun terpecah- belah.
Setelah kehancuran
negara-negara tersebut, muncul teori ”balkanisasi”. Indonesia, sebagai salah
satu negara yang kondisinya mirip, berpotensi mengalami balkanisasi. Lihatlah
perbedaan itu, seperti etnik, bahasa, agama, dan antar-golongan. Apalagi di
Indonesia, masih ditambah faktor lain yang sangat mendukung kehancuran, yaitu
kondisi geografis berupa wilayah kepulauan yang terbentang luas.
Lalu, mengapa teori
balkanisasi hingga saat ini tidak terjadi terhadap Indonesia?
Inilah saatnya kita
merenungkan beberapa faktor penguat itu. Ada suatu peristiwa bersejarah dan
sangat monumental untuk berdirinya ”negara bangsa”, yaitu Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Pernyataan ”bahasa” yang satu, yaitu bahasa Indonesia yang
berakar dari bahasa Melayu, bukan Jawa, membuat semua suku termasuk yang
kecil-kecil merasa diakomodasi kehadirannya.
Begitu pun dengan
penggunaan bangsa Indonesia. Suku besar dan kecil melebur menjadi bangsa
Indonesia. Suku yang besar tidak menunjukkan ”besar”nya, tetapi menghormati
kebanggaan suku-suku kecil. Namun, itu terjadi saat negara ini masih dalam
penjajahan Belanda.
Faktor lainnya,
kita juga bisa lihat kekuatan para tokoh pendiri bangsa ini, yaitu saat
menjelang kemerdekaan, untuk menyusun suatu dasar negara. Kali ini pun
kelompok ataupun pemeluk agama yang lebih besar (mayoritas), yaitu Jawa dan
Islam, menunjukkan jiwa besarnya untuk tidak memaksakan kemayoritasannya,
tetapi memberikan payung untuk kenyamanan bagi yang kecil dan berbeda. Inilah
yang menjadi dasar negara Pancasila dan tertuang dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara RI 1945.
Perlu kita ingat
bunyi pembukaan (preambul), yang sekarang ini, bukan seperti yang dikenal
sebagai Piagam Jakarta. Ini juga terjadi karena tokoh-tokoh Islam-lah yang
dengan legawa telah menerimanya.
Faktor berikutnya
adalah komitmen dari berbagai elemen bangsa ini serta para pemimpinnya dari
masa ke masa. Komitmen tersebut ditunjukkan dari rezim satu ke rezim
berikutnya. Misalnya, dari pendiri bangsa ke rezim Orde Lama, menyusul
berikutnya rezim Orde Baru serta Orde Reformasi. Kita tak tahu apakah akan
ada nama orde berikutnya (wallahualam),
tetapi faktanya NKRI masih dapat kita pertahankan.
Penuh
Gejolak
Namun, harus diakui
bahwa perubahan politik yang besar di Indonesia—seperti dari Orde Lama ke
Orde Baru—sering menimbulkan jumlah korban manusia cukup besar, termasuk
kerusakan materiil yang mengganggu kehidupan perekonomian rakyat pada
umumnya. Demikian juga perubahan dari era Orde Baru ke era Reformasi, ada
korban manusia bahkan diikuti kerusuhan yang bersifat SARA.
Pada tahun 1998
itu, dengan kehancuran di bidang perekonomian, kondisi keamanan di seluruh
wilayah Indonesia semakin memprihatinkan. Terjadi serangan bom di
tempat-tempat ibadah (gereja, masjid), tempat-tempat umum (pusat
perbelanjaan), gedung pemerintahan (gedung DPR, Kejaksaan Agung, Mabes
Polri), sampai dengan serangan teroris dalam kasus Bom Bali.
Munculnya konflik
antarsuku dan agama, seperti kasus Ambon dan kasus Poso yang berlangsung
cukup lama (lebih dari 6 tahun), juga kasus Sanggoledo di Kalimantan Barat,
semakin mengancam keutuhan NKRI. Demikian pula halnya dengan berbagai bentuk
kejahatan dengan kekerasan yang berlangsung secara massal, seperti
penjarahan, ternyata makin menjauhkan tujuan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Penyerangan dan
perusakan markas kepolisian—sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan
negara—menunjukkan pentingnya kita kembali merenungkan persatuan dan
kesatuan. Apalagi apabila ditambah dengan gangguan keamanan di wilayah Aceh
ataupun Papua.
Jangan
Terulang
Kalau saat ini,
kita telah mampu memulihkan dan mengatasinya, pertanyaannya, apakah ini tidak
terulang?
Becermin pada
perjalanan sejarah bangsa ini, tampaknya kita harus waspada agar peristiwa
hitam yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terulang lagi.
Maka, kita perlu mengembangkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Pertama, dengan
mengawal NKRI secara konstitusional agar setiap kali ada upaya amandemen UUD
1945 jangan sampai ada perubahan yang esensial terhadap pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Memang tidak mudah, tetapi empat
pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,
dapat menjadi pagarnya.
Garda akhir
diperankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, peran MK sangat ditentukan
oleh hakim-hakim konstitusinya. Jadi, lembaga DPR yang bertugas memilih para
hakim konstitusi harus memilih orang yang tepat dalam arti jujur, kompeten,
dan dapat diandalkan integritasnya terhadap NKRI. Hakim konstitusi harus
terbebas dari kepentingan politik golongan dan partai tertentu.
Kedua, tataran
strategis operasional yang sangat ditentukan oleh peran institusi negara,
termasuk partai politik dan para pemimpinnya. Jadi, kesetiaan para pemimpin
semua institusi negara untuk tidak kompromi terhadap upaya melemahkan adalah
keniscayaan karena NKRI harga mati.
Dengan demikian,
adanya usaha pihak tertentu mengungkit hasil Pepera Irian Barat harus
diredam. Prinsipnya adalah menegakkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Artinya, negara harus
lebih kuat dari kelompok apa pun yang menekan kekuasaan negara.
Pokok-pokok pikiran
tersebut pada dasarnya sangat bergantung pada orang-orang yang mendapat peran
untuk mengawal NKRI. Rakyat bisa menjadi sumber kekuatan yang mampu mendorong
kohesi negara bangsa, sebagaimana diikrarkan pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Semangat Sumpah Pemuda tetap relevan sepanjang kita
semua berkomitmen terhadap NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar