Kebutaan
Budaya
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
|
KOMPAS,
10 Desember 2012
Agaknya tidak mudah
untuk mendefinisikan budaya Islam secara menyeluruh. Namun, kita bisa
saksikan kekuatan pengaruhnya hampir di belahan dunia mana pun. Islam sejak
masa Nabi Muhammad, Khulafaurrasyidin, hingga renaisans di Cordoba, Spanyol,
telah mengembangkan suatu khazanah kebudayaan yang kaya dan beragam.
Sejarah Islam
sebagai kekuatan budaya telah memunculkan apa yang disebut oleh Gustave von
Grunebaum sebagai ”unity and variety”.
Kekuatan budaya Islam telah melakukan ”sintesis” yang kaya dan adaptif dengan
unit-unit kebudayaan lokal, di mana Islam dapat merambah masuk.
Dinamika kebudayaan
tidak pernah berjalan linier. Setiap perkembangannya memiliki varian-varian
yang kaya dan bernuansa. Tak ayal, kebudayaan dalam puspa ragam bentuk dan
isinya telah dipahami sebagai ”jaringan-jaringan makna” hidup yang
dikembangkan dan mengisi batin kehidupan sosial umat manusia.
Kekuatan
Budaya
Islam di ranah
budaya telah menunjukkan dinamikanya yang unik. Di samping sebagai kekuatan
budaya, Islam, misalnya, telah muncul sebagai gerakan perlawanan menghadapi
kolonialisme. Di Indonesia, meski Islam telah menjadi ”wajah” bangsa,
perjalanan sejarahnya telah melahirkan beberapa tafsiran pemikiran yang
dipandang secara berbeda.
Tafsiran ini dengan
sendirinya telah menunjukkan bahwa khazanah kebudayaan Islam tidak terbatas
pada pemahaman-pemahaman teologis yang kaku dan doktrinal belaka.
Bahkan,
pengembangan kekayaan intelektual (turats)
Islam yang berimplikasi pada pengembangan budaya telah banyak mengisi
kekuatan-kekuatan spiritual Islam dalam budaya. Munculnya pemikiran Fazlur
Rahman, Arkoun, Hasan Hanafi, Amir Ali, sampai Nurcholish Madjid menunjukkan
adanya pengayaan dalam mengembangkan pemikiran Islam dalam lintas budaya.
Lalu, bagaimana
sejatinya hubungan agama dengan kebudayaan? Kita bisa melihat derasnya saling
keterpengaruhan antara agama dan budaya. Agama memberi ajaran kepada
penganutnya, tetapi juga berbicara mengenai alam. Misalnya, tentang kosmos
dan hubungan antarmanusia. Inilah yang membuat pendekatan agama dan budaya
amat penting.
Pada sisi paradoks,
Islam sebagai agama yang merupakan kekuatan budaya telah menimbulkan berbagai
gejolak yang sering didakwa secara kurang adil. Dewasa ini kerap
dikampanyekan bahwa Islam sebagai agama peradaban telah menjadi ”ancaman”
bagi dunia Barat kontemporer.
Pandangan ini
pernah menimbulkan polemik memanas ketika Samuel Huntington mengungkapkan
bahwa setelah Perang Dingin pupus dan perang ideologi antara Uni Soviet dan
Amerika lenyap, Islam menjadi kekuatan potensial yang mengancam kehadiran
peradaban lain.
Meski demikian, ada
perkembangan positif di Barat: Islam
dijadikan teman dialog yang akan membuka cakrawala baru untuk bisa saling
memahami. Inilah salah satu upaya mencari apa yang disebut Fritjhof
Schuon sebagai ”titik temu agama-agama” atau inter-religius.
Sebagai realitas
kebudayaan, Islam selalu diklaim berdimensi universal dan melakukan berbagai
adaptasi. Bahkan, dalam perkembangan sejarahnya, Islam sering melakukan
persentuhan terbuka dengan berbagai wilayah budaya lokal yang menjadi sasaran
syiarnya. Islam pun menjadi toleran terhadap budaya-budaya lokal.
Dalam pandangan
lokal, kita tentu tak terlampau merasa heran, bagaimana Islam sebagai
pandangan teologi, misalnya, mampu bersenyawa dengan paham sinkretisme Jawa
dan Hindu yang sudah ratusan tahun saling memengaruhi. Islam sebagai
kebudayaan telah memberi sentuhan ”luwes
dan mesra” terhadap nilai-nilai budaya lokal. Dengan sendirinya, ini
menunjukkan Islam sebagai realitas budaya telah menampilkan dirinya.
Kebutaan
Budaya
Kini kerap muncul
di kalangan Muslim pandangan ”antibudaya”. Mereka meneriakkan puritanisme dan
hendak melenyapkan segala bentuk budaya. Radikalisme agama dan terorisme juga
muncul akibat penolakan budaya. Inilah fakta bersemayamnya sikap ”kebutaan
budaya”.
Sejauh yang dapat
dipetakan, ”kebutaan budaya” justru terjadi dalam wilayah dasarnya, yakni
berada pada dimensi psikologis-mental, sehingga aktualitas berbudaya
kebanyakan orang Islam banyak yang justru merugikan perkembangan kebudayaan
Islam.
Bila Islam
sungguh-sungguh sebagai agama yang diturunkan untuk kemaslahatan seluruh
semesta alam beserta isinya, sudah saatnya batas-batas formal-struktural yang
kaku dihindari. Maka, harus dihapus kesan bahwa ketika peradaban dan
kebudayaan maju, justru agama (Islam) menghambatnya. Tugas agama (Islam)
semestinya memicu kemajuan dan seraya membimbingnya
Kita tak sekadar
menghibur diri dan berapologi, dengan mengatakan bahwa kontribusi Islam dalam
peradaban dunia sangatlah besar. Tetapi, kita sudah semestinya membuktikan
bahwa agama Islam memicu peradaban sekaligus membela kepentingannya.
Dengan demikian, kita
tidak akan menjalankan strategi kebudayaan yang keliru. Dalam konteks
historis kenegaraan di negeri kita, misalnya, kalau kita menganggap
kemerdekaan bangsa sangat diwarnai atau ditentukan oleh kontribusi umat
Islam, maka tidak perlu menciptakan distansi antara negara dan agama secara
frontal. Dalam arti lain, Islam tidak bertugas hanya memerdekakan bangsa
dalam arti formal, tetapi juga harus terus bersama-sama mengolah kehidupan
selanjutnya
Sampai di sini,
sudah seharusnya segera dihindari klaim sosiologis yang menyesatkan. Slogan
seperti ”Islam untuk Islam” tidak selalu tepat. Bahkan, dalam fase peradaban
seperti sekarang bisa merugikan secara strategis ataupun subtantif karena
misi Islam tidak pernah menganjurkan singularitas.
Dalam konteks ini,
dakwah Islam bukan semata ”Islamisasi” dalam arti semua menjadi Islam,
melainkan menjadi ”Islami”. Kearifan antroposentris jadi pertimbangan.
Manusia adalah khalifah, karena itu harus mampu menjalankan prinsip-prinsip
kepemimpinan yang benar.
Kecenderungan praktik
memperebutkan status dan bukan substansi sepatutnya dihindari. Islam harus
mendorong proses kedewasaan budaya. Prinsip nilai kelayakan karena kepantasan
harus sama-sama dijalankan.
Dalam konteks
kebangsaan, misalnya, tentu orang Islam di mana pun bangga kalau pemimpinnya
beragama Islam, tetapi tidak berarti harus dipaksakan. Kepemimpinan yang
Islami adalah berada dalam format dan alur kelayakan dan kepantasan.
Seseorang yang menjadi pemimpin bukan karena dia Muslim, melainkan karena dia
layak dan pantas.
Walhasil, agama
memang perlu menyatu dengan budaya. Langgengnya agama karena menyatu dengan
budaya.
Agama sebagai
sesuatu yang sakral, datang dari Tuhan, turun dari langit, kepada manusia
yang parsial, lemah, terbatas, terikat ruang dan waktu. Maka, agama harus
sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi Tuhan. Agama untuk manusia, dan
karena itu agama harus sesuai dengan tantangan yang dihadapi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar