Selasa, 11 Desember 2012

Matahari Kembar Korupsi


Matahari Kembar Korupsi
Umbu TW Pariangu ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 08 Desember 2012


DI tengah peringatan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggebrak sejarah baru pemberantasan korupsi dengan menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka kasus proyek Hambalang (Media Indonesia, 7/12). Kita mengapresiasi langkah prestisius tersebut di tengah masih sengkarutnya penegakan hukum kasus-kasus korupsi Indonesia.

Jujur, cita-cita pemberantasan korupsi di negeri ini masih menggantung di langit. Dari pusat sampai daerah aneka praktik kekuasaan yang korup dan menyimpang dari etika pemerintahan yang bersih telah memakzulkan impian kesejahteraan 200-an juta rakyat.

Dalam laporan Fund for Peace (2102), Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 182 negara terkorup dunia. Itu menandakan proyek eliminasi korupsi dan kerugian rakyat akibat kebijakan korup masih tertatih-tatih. Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (4/12), Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan 1.408 kasus korupsi telah merampok uang rakyat Rp39,3 triliun dalam kurun waktu 2004-2011.

Itu jumlah anggaran yang besar dan populis untuk membangun, misalnya, 393 ribu rumah sederhana atau memberikan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru. Namun, apalah artinya itu bagi ‘mesin pemuasan’ keserakahan elite birokrat-politik kita yang kian trengginas memakai berbagai cara mempertahankan set of properties kekuasaan demi pemenuhan kepentingan parsial mereka.

Berbagai kecaman dan sikap antikorupsi publik bukannya menekan intensitas korupsi, melainkan malah memicu lahirnya koruptor-koruptor antijera secara sporadis dari pusat sampai daerah. Halaman-halaman surat kabar kian `berlumut' aneka berita korupsi dan suap yang tak kenal kelamin. Sayangnya, gencarnya pemberitaan kasus-kasus korupsi politik justru melahirkan `efek selebritas' dalam diri pelaku yang mengamputasi perasaan bersalah dan malu di hadapan publik.

Perilaku korupsi bukan lagi `lepra' humanis yang dikutuk. Itu malah dianggap wajar karena sebagian hasil korupsi disumbangkan kepada kaum duafa dan digunakan untuk membangun rumah ibadah sehingga setelah keluar penjara, koruptor disambut bagai `pahlawan' menang perang. Sikap permisif publik itu kian menyuburkan regenerasi koruptor di masyarakat termasuk `mengorbitkan' birokrat dan politikus muda korup di pentas kekuasaan.

Musuh Diri Sendiri

Institusi hukum dengan segala problematik dan dilema politik mereka pun belum mampu membangun zona perang koersif terhadap korupsi. Konflik kewenangan KPK dan Polri yang menyita energi pemberantasan korupsi hingga terjerumusnya anggota Polri dalam kasus korupsi Korlantas merupakan bukti institusi hukum digelayuti musuh dari dalam diri mereka sendiri.

Bahkan di Kendari, polisi setempat pernah menangkap mantan pegawai KPK yang melakukan pemerasan dan penipuan dengan modus `mengamankan' penyelidikan korupsi pertambangan atas Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (Kompas, 22/9). Banyaknya mekanisme dan aturan hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi tanpa disertai bobot integritas individu tidak menjamin efektivitas karena justru memperlihatkan kondisi sebaliknya: corruptissima republica plurimae leges (semakin korup suatu republik, semakin banyak hukumnya).

Degradasi visi kelembagaan dalam mengamankan kebijakan antikorupsi pun terlihat dalam laporan hasil audit Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dan BPK Juli lalu yang melansir institusi Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan merupakan lembaga penghuni peringkat pertama sebagai institusi berpotensi ko rup dari 10 lembaga terkorup yang merugikan negara sebesar Rp16,4 triliun.

Itu `menyinkronkan' keluhan publik terhadap nasib reformasi birokrasi yang implementasinya telah diupayakan sejak 2007. Substansi reformasi birokrasi yang dirancang dan terintegrasi dengan program efektivitas pemanfaatan anggaran publik pada mulanya mewujudkan prioritas formulasi dan akuntabilitas penganggaran yang berpihak pada kepentingan produktif publik.

Sayangnya, itu belum menjadi agenda kolektif yang serius dijalankan. Dalam APBN 2013 misalnya, anggaran untuk Polri mencapai Rp43,4 triliun. Namun dari total itu, alokasi anggaran keamanan hanya Rp7,7 triliun yang masih direduksi pula untuk biaya keselamatan lalu lintas dan gaji sebesar Rp2,3 triliun. Aparat Polri lebih senang menegakkan peran sebagai pengatur lalu lintas di jalan raya yang rentan KKN-isme ketimbang mengefektifkan kebijakan stabilisasi sosial keamanan termasuk menanggulangi praktik dan kultur korupsi sistemis di masyarakat.

Hasrat Kuasa

Tumpuan harapan mestinya berasal dari terbitnya `pulau-pulau integritas' kepemimpinan dan pemerintahan di daerah-daerah. Namun, yang terlihat sebaliknya, terbitnya `matahari kembar' korupsi yang sengit menggerus perjalanan otonomi daerah. Terjeratnya 173 orang dari 524 kepala daerah dalam korupsi terkait penggelembungan dana APBD dan munculnya 49 kasus tindak pidana korupsi tingkat pemerintah kota/kabupaten, serta 29 wali kota/ wakil bupati yang diproses secara hukum di KPK sepanjang 2004-2011 (Data Kemendagri, Mei 2012) menunjukkan kuatnya hasrat korupsi elite-elite lokal yang mengabai kan pementingan kesejahteraan rakyat dengan berbagai modus transaksi bisnis dan kepentingan dengan berbagai entitas kelompok pengusaha.

Data terbaru KPK bahkan meyebutkan, dari 332 tersangka kasus korupsi selama 2004 2011, 106 orang di antaranya atau yang terbanyak adalah pe jabat eselon I-III, disusul pihak swasta 69 ter sangka, anggota DPR dan DPRD 65 tersangka, serta bupati/wali serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota 31 tersangka.
Thomas Hobbes benar (1951: 207), setiap elite selalu memiliki hasrat unuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan semaksimal mungkin termasuk dengan mengaburkan aspek kriminal dari harta-harta curiannya. Berbagai pranata dan undang-undang yang dibuat pun tidak memiliki penetrasi yang berarti untuk mengekang hasrat berkuasa pejabat.

Lihat saja, meski UU No 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menegaskan seseorang tidak boleh menjadi PNS atau menjadi pejabat bila dijatuhi hukuman pidana berkekuatan hukum tetap dengan ancaman penjara setinggi-tingginya empat tahun, para kepala daerah begitu leluasa mempromosikan 153 pejabat bekas terpidana ke dalam jabatan struktural.

Maka, langkah mendesak yang perlu ditempuh saat ini ialah, pertama, institusi KPK perlu memperluas zona antikorupsi dengan lebih agresif melancarkan sayap pengawasan hingga ke titik-titik terkecil kewenangan pemerintah dari pusat sampai daerah, mulai birokrasi, lembaga bisnis, partai politik, hingga kepolisian yang selama ini turut andil memproduksi transaksi dan kebijakan-kebijakan korup.

Kedua, DPR perlu segera merancang perundang-undangan pendukung reformasi birokrasi baik itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan, RUU Aparatur Sipil Negara, maupun peraturan lain yang berkaitan dengan penciptaan tatanan birokrasi yang etis-sehat, bersih, dan prorakyat.

Ketiga, perlu mekanisme yang konkret bagi presiden yang dipilih 60% penduduk Indonesia untuk menindak tegas kepala daerah yang melanggar prinsip moral penyelenggaraan pemerintahan, antara lain lewat revisi UU No 32 Tahun 2004. Keempat, masyarakat wajib mendukung pemberantasan korupsi dengan tidak memberikan insentif sosial (empati dan maaf) sedikit pun terhadap para koruptor termasuk tidak memilih politisi korup atau bermasalah di Pemilu 2014 nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar