Sabtu, 08 Desember 2012

Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi


Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi
Ardinanda Sinulangga ;   Aktivis Dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
KORAN TEMPO, 07 Desember 2012


"Dominasi adalah awal hegemoni," kata Gramsci.
Dalam satu pertemuan tertutup dengan salah satu pemimpin grup media televisi, teman saya sempat bertanya, "Itu iklan salah satu partai politik yang sering muncul di televisi Anda, berita atau iklan yang seolah-olah dibuat menjadi berita?" Mendengar pertanyaan polos ala mahasiswa semester awal, sontak para hadirin tertawa dalam ruangan tersebut. Bagi saya, pertanyaan itu menyiratkan pesan mendalam dan kegelisahan publik terhadap kualitas media televisi kita hari ini, terutama irisan kepentingan pemilik media dan isi pemberitaan yang dalam persepsi publik tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, tetapi menyiarkannya lewat frekuensi milik publik.
Di era yang bertransformasi menjadi The Age of Media Society saat ini, peran media massa tidak hanya sebagai ikon penanda kemajuan zaman, tetapi juga sebagai penjaga roh demokratisasi agar tetap berpedoman pada pemenuhan hak-hak warga negara. Film James Bond, Tomorrow Never Dies, sebetulnya telah memberikan gambaran bagi publik bagaimana bahayanya bila media telah memonopoli kebenaran, mempengaruhi publik hingga mencoba mendominasi informasi.
Pada bagian awal film, diceritakan ihwal Cerver, raja media yang memiliki sejumlah media massa, yang dengan kekuasaannya mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi besar dan bisa menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita. Meski hanya cerita film, ada baiknya cerita tersebut direfleksikan dalam konteks kepemilikan media di Indonesia, terutama terjadinya konglomeratisasi serta pemusatan kepemilikan yang mengarah pada oligopoli oleh segelintir kelompok tertentu yang tidak jarang berafiliasi dengan partai politik.
Berdasarkan penelitian Nugroho (2012), di Indonesia terdapat 12 grup media yang mengontrol hampir semua saluran media massa Indonesia, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. 
Grup MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Harian Seputar Indonesia. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk grup Radar. Sementara itu, Kompas yang terkenal sebagai salah satu surat kabar berpengaruh di Tanah Air telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten televisi dengan mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri atas 27 jaringan surat kabar. Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televisi terestrial (ANTV dan TV One) serta media online vivanews.com.
Dalam penelitian tersebut disimpulkan, oligopoli media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap informasi, karena industri media telah berorientasi mencari laba, dan perusahaan media dapat "dibentuk" atau diintervensi oleh kepentingan pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari kekuasaan (politik). 
Kasus ini terutama terjadi pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya Visi Media Asia atau Viva Group, yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golongan Karya); dan Grup MNC (dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo) serta Media Group (dimiliki oleh Surya Paloh), yang bersama-sama bergabung di Partai Nasional Demokrat. Ada persepsi yang terus berkembang, bahwa para pemilik media tersebut menggunakan medianya sebagai alat kampanye untuk mempengaruhi opini publik dan pada saat yang bersamaan mengambil keuntungan bisnis pula dari hal tersebut.
Akhirnya semangat agar terjadi demokratisasi penyiaran dengan prinsip diversity of content dan diversity of ownership hanya menjadi pajangan indah dalam perundang-undangan akibat tidak jelasnya mekanisme yang mengatur. Pada masa mendatang, dalam revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang disusun DPR RI--yang sebelumnya sudah disetujui sebagai inisiatif dari Komisi I DPR RI--sudah saatnya tidak ada pasal karet yang kemudian dijadikan pembenaran akan terjadinya monopoli media.
Desakan dan kawalan dari publik, aktivis media, jurnalis progresif, serta mahasiswa sangat mendesak dalam konteks demokratisasi penyiaran ini. Tidak hanya dalam jangka pendek ketika kita akan melaksanakan Pemilu 2014. Dalam jangka panjang, tentunya kita juga tak ingin demokrasi yang diperjuangkan selama ini lewat air mata, darah, dan nyawa banyak aktivis dibajak oleh pemilik modal yang sesukanya memonopoli informasi kepada warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar