Oligopoli
Media dan Masa Depan Demokrasi
Ardinanda Sinulangga ; Aktivis
Dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
|
KORAN
TEMPO, 07 Desember 2012
"Dominasi adalah awal hegemoni," kata Gramsci.
Dalam satu pertemuan tertutup dengan salah
satu pemimpin grup media televisi, teman saya sempat bertanya, "Itu
iklan salah satu partai politik yang sering muncul di televisi Anda, berita
atau iklan yang seolah-olah dibuat menjadi berita?" Mendengar pertanyaan
polos ala mahasiswa semester awal, sontak para hadirin tertawa dalam ruangan
tersebut. Bagi saya, pertanyaan itu menyiratkan pesan mendalam dan
kegelisahan publik terhadap kualitas media televisi kita hari ini, terutama
irisan kepentingan pemilik media dan isi pemberitaan yang dalam persepsi
publik tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, tetapi menyiarkannya
lewat frekuensi milik publik.
Di era yang bertransformasi menjadi The Age
of Media Society saat ini, peran media massa tidak hanya sebagai ikon penanda
kemajuan zaman, tetapi juga sebagai penjaga roh demokratisasi agar tetap
berpedoman pada pemenuhan hak-hak warga negara. Film James Bond, Tomorrow
Never Dies, sebetulnya telah memberikan gambaran bagi publik bagaimana
bahayanya bila media telah memonopoli kebenaran, mempengaruhi publik hingga
mencoba mendominasi informasi.
Pada bagian awal film, diceritakan ihwal
Cerver, raja media yang memiliki sejumlah media massa, yang dengan
kekuasaannya mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi besar dan bisa
menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita. Meski hanya cerita film, ada
baiknya cerita tersebut direfleksikan dalam konteks kepemilikan media di
Indonesia, terutama terjadinya konglomeratisasi serta pemusatan kepemilikan
yang mengarah pada oligopoli oleh segelintir kelompok tertentu yang tidak
jarang berafiliasi dengan partai politik.
Berdasarkan penelitian Nugroho (2012), di
Indonesia terdapat 12 grup media yang mengontrol hampir semua saluran media
massa Indonesia, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online.
Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi
Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media
Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media.
Grup MNC memiliki tiga saluran televisi
gratis, merupakan yang terbesar dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22
jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian
Harian Seputar Indonesia. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak,
termasuk grup Radar. Sementara itu, Kompas yang terkenal sebagai salah satu
surat kabar berpengaruh di Tanah Air telah mengembangkan jaringannya ke
penyedia konten televisi dengan mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran
radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media
cetak lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri atas 27 jaringan surat kabar.
Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televisi terestrial (ANTV dan
TV One) serta media online vivanews.com.
Dalam penelitian tersebut disimpulkan,
oligopoli media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap
informasi, karena industri media telah berorientasi mencari laba, dan
perusahaan media dapat "dibentuk" atau diintervensi oleh
kepentingan pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari
kekuasaan (politik).
Kasus ini terutama terjadi pada sejumlah
pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya Visi Media
Asia atau Viva Group, yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua
Umum Partai Golongan Karya); dan Grup MNC (dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo)
serta Media Group (dimiliki oleh Surya Paloh), yang bersama-sama bergabung di
Partai Nasional Demokrat. Ada persepsi yang terus berkembang, bahwa para
pemilik media tersebut menggunakan medianya sebagai alat kampanye untuk
mempengaruhi opini publik dan pada saat yang bersamaan mengambil keuntungan
bisnis pula dari hal tersebut.
Akhirnya semangat agar terjadi
demokratisasi penyiaran dengan prinsip diversity of content dan diversity of
ownership hanya menjadi pajangan indah dalam perundang-undangan akibat tidak
jelasnya mekanisme yang mengatur. Pada masa mendatang, dalam revisi Rancangan
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang disusun DPR RI--yang
sebelumnya sudah disetujui sebagai inisiatif dari Komisi I DPR RI--sudah
saatnya tidak ada pasal karet yang kemudian dijadikan pembenaran akan
terjadinya monopoli media.
Desakan dan
kawalan dari publik, aktivis media, jurnalis progresif, serta mahasiswa
sangat mendesak dalam konteks demokratisasi penyiaran ini. Tidak hanya dalam
jangka pendek ketika kita akan melaksanakan Pemilu 2014. Dalam jangka
panjang, tentunya kita juga tak ingin demokrasi yang diperjuangkan selama ini
lewat air mata, darah, dan nyawa banyak aktivis dibajak oleh pemilik modal
yang sesukanya memonopoli informasi kepada warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar