Sabtu, 08 Desember 2012

Jalan Terjal Pendidikan Antikorupsi


Jalan Terjal Pendidikan Antikorupsi
Andi Andrianto ;   Pegiat Mozaik Institute Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 Desember 2012


Ide dasar pendidikan antikorupsi dilatarbelakangi pelbagai pertimbangan fundamental. Antara lain, praktik korupsi di negeri kita kian marak, birokrasi lemah mengontrol kejahatan korupsi, serta pendidikan agama belum optimal menyentuh aspek kesadaran moralitas ilmuwan/pejabat secara utuh hingga tindak korupsi masih terjadi.
Korupsi dan koruptor adalah musuh bersama (common enemy), termasuk lembaga pendidikan. Apalagi, praktik korupsi di era demokrasi ini semakin merajalela. Intinya, dari hulu hingga hilir, banyak di antara pejabat yang duduk di kursi kekuasaan - diduga korupsi. Fenomena korupsi, terlebih dilakukan oknum pejabat pemerintah, petinggi partai politik, pemimpin daerah, adalah ancaman serius bagi kita dalam berbangsa dan bernegara.
Korupsi tak saja merugikan negara secara ekonomi - membuat defisit APBN. Korupsi, menurut Rose Ackerman (1999), juga kejahatan yang pada level lebih tinggi memicu rendahnya tingkat kepercayaan terhadap institusi publik.
Kian hari, korupsi semakin parah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kurang Rp 103 trilun dana pembangunan negara dirampok.
Sementara itu, Transparency Internasional (TI) memperkuat kajian IMF (Dana Moneter Internasional), menghasilkan survey mengejutkan mengenai korupsi di negeri ini. Pada 2010, hasil survey TI menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada pada peringkat 110 dari 178. Itu artinya, prestasi korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi dibanding negara lain. (Bambang Soesatyo, dalam buku 'Perang-Perangan Melawan Korupsi', 2011)
Mengapa kejahatan korupsi kian merajalela dilakukan pejabat yang dulunya mengenyam pendidikan formal bahkan hingga tingkat perguruan tinggi? Tak mudah menjawab pertanyaan ini, tapi yang jelas keterlibatan aktor intelektual dalam praktik korupsi, lemahnya birokrasi (pendidikan), dan belum maksimalnya pendidikan agama dengan mantra moral membentengi kaum intelektual dari perilaku korup, merupakan deretan persoalan krusial yang mesti dikritik dan perlu dicarikan solusi-solutif. Pada titik ini, gagasan pendidikan antikorupsi menemukan relevansi.
Optimalisasi
Meski Presiden SBY kerap melontarkan retorika politik memerangi koruptor namun faktanya upaya pembersihan koruptor dari institusi pemerintahan belum maksimal. Ini bisa dibuktikan dengan masih banyaknya pejabat negara diduga terlibat skandal korupsi. Selain itu, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ada sejak 2002 berdasarkan UU No. 30, serta penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, tetap saja koruptor marak.
Maka dari itu, dibutuhkan cara lain untuk mengurangi praktik korupsi. Pendidikan antikorupsi, boleh dibilang cara baru yang dilakukan pemerintah dalam usaha mencegah masyarakat melakukan tindak korupsi. Langkah ini, cukup, bernas, strategis, dan visioner, karena pemangkasan terhadap praktik korupsi yang konon menjadi budaya memang tak dapat dilakukan secara instan. Pemberantasan korupsi sejatinya perlu dilakukan secara kolektif-kelembagaan dengan melibatkan beberapa aktor, termasuk institusi pendidikan.
Lembaga pendidikan menjadi pelopor untuk memerangi dan mencegah kejahatan korupsi. Stakeholders dan institusi pendidikan menjadi panutan bagi aktor atau lembaga pemberantasan korupsi yang kadang setengah hati, jalan di tempat, menerapkan politik tebang pilih dan melihat bulu dalam memberantas koruptor.
Peran ideal lembaga pendidikan harus diambil. Institusi pendidikan sebaiknya tak saja berkutat di internal: soal kurikulum, tenaga pengajar/dosen minim, infrastruktur kurang mendukung, dan sebagainya. Institusi pendidikan, seperti diharapkan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, harus dapat menjadi pioner di negeri ini. Filsuf Inggris, Jhon Locke, mengatakan, negara tak akan maju tanpa adanya pengembangan dalam pendidikan. Harapan ideal pendidikan itu sejatinya dikongkretkan.
Namun begitu, pendidikan antikorupsi bukan hal mudah dimaterialkan. Gagasan itu membutuhkan daya dukung elemen lain: budaya, lingkungan, birokrasi, infrastruktur, kultur pendidikan, sumber daya manusia (SDM), dan kesadaran masyarakat akademik secara kolektif. Dukungan pelbagai unsur itu bukan saja berguna secara konseptual pendidikan antikorupsi, tapi juga memacu adanya sumber daya manusia terdidik yang unggul dengan pelbagai sifat diharapkan. Yakni, ilmuwan tak saja pintar secara intelektual dan religius, tapi juga memiliki kepribadian baik, jujur, dan bertanggung jawab.
Karakter intelektual seperti itu sangat diidamkan dari program pendidikan antikorupsi. Dalam makna lebih subtantif, pendidikan antikorupsi mengarah pada tujuan luhur pendidikan karakter. Yakni, ilmuan berkarakter dengan pelbagai sifat mulia, jujur serta tak melakukan penyimpangan, termasuk korupsi.
Realisasi pendidikan antikorupsi menjadi urgen. Gagasan besar untuk mencegah praktik korupsi dapat dilakukan dengan membenahi pendidikan dengan prinsip-prinsip fundamental, seperti kejujuran serta ditopang dengan dukungan birokrasi, norma, kultur, tradisi, civitas akademika, regulasi, kesadaran politik (elite), dan sebagainya. Semoga praktik korupsi dapat dikurangi, bahkan diberantas sampai ke akar-akarnya melalui pendidikan antikorupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar