Jalan Terjal
Pendidikan Antikorupsi
Andi Andrianto ; Pegiat Mozaik Institute Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 07 Desember 2012
Ide dasar pendidikan
antikorupsi dilatarbelakangi pelbagai pertimbangan fundamental. Antara lain,
praktik korupsi di negeri kita kian marak, birokrasi lemah mengontrol
kejahatan korupsi, serta pendidikan agama belum optimal menyentuh aspek
kesadaran moralitas ilmuwan/pejabat secara utuh hingga tindak korupsi masih
terjadi.
Korupsi dan koruptor adalah
musuh bersama (common enemy), termasuk lembaga pendidikan. Apalagi, praktik
korupsi di era demokrasi ini semakin merajalela. Intinya, dari hulu hingga
hilir, banyak di antara pejabat yang duduk di kursi kekuasaan - diduga
korupsi. Fenomena korupsi, terlebih dilakukan oknum pejabat pemerintah,
petinggi partai politik, pemimpin daerah, adalah ancaman serius bagi kita
dalam berbangsa dan bernegara.
Korupsi tak saja
merugikan negara secara ekonomi - membuat defisit APBN. Korupsi, menurut Rose
Ackerman (1999), juga kejahatan yang pada level lebih tinggi memicu rendahnya
tingkat kepercayaan terhadap institusi publik.
Kian hari, korupsi
semakin parah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, selama tujuh tahun
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kurang Rp 103 trilun dana
pembangunan negara dirampok.
Sementara itu,
Transparency Internasional (TI) memperkuat kajian IMF (Dana Moneter
Internasional), menghasilkan survey mengejutkan mengenai korupsi di negeri
ini. Pada 2010, hasil survey TI menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia berada pada peringkat 110 dari 178. Itu artinya, prestasi korupsi
di Indonesia masih terbilang tinggi dibanding negara lain. (Bambang Soesatyo,
dalam buku 'Perang-Perangan Melawan Korupsi', 2011)
Mengapa kejahatan korupsi
kian merajalela dilakukan pejabat yang dulunya mengenyam pendidikan formal
bahkan hingga tingkat perguruan tinggi? Tak mudah menjawab pertanyaan ini,
tapi yang jelas keterlibatan aktor intelektual dalam praktik korupsi,
lemahnya birokrasi (pendidikan), dan belum maksimalnya pendidikan agama
dengan mantra moral membentengi kaum intelektual dari perilaku korup,
merupakan deretan persoalan krusial yang mesti dikritik dan perlu dicarikan
solusi-solutif. Pada titik ini, gagasan pendidikan antikorupsi menemukan
relevansi.
Optimalisasi
Meski Presiden SBY
kerap melontarkan retorika politik memerangi koruptor namun faktanya upaya
pembersihan koruptor dari institusi pemerintahan belum maksimal. Ini bisa
dibuktikan dengan masih banyaknya pejabat negara diduga terlibat skandal
korupsi. Selain itu, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ada
sejak 2002 berdasarkan UU No. 30, serta penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, tetap saja koruptor marak.
Maka dari itu,
dibutuhkan cara lain untuk mengurangi praktik korupsi. Pendidikan
antikorupsi, boleh dibilang cara baru yang dilakukan pemerintah dalam usaha
mencegah masyarakat melakukan tindak korupsi. Langkah ini, cukup, bernas,
strategis, dan visioner, karena pemangkasan terhadap praktik korupsi yang konon
menjadi budaya memang tak dapat dilakukan secara instan. Pemberantasan
korupsi sejatinya perlu dilakukan secara kolektif-kelembagaan dengan
melibatkan beberapa aktor, termasuk institusi pendidikan.
Lembaga pendidikan
menjadi pelopor untuk memerangi dan mencegah kejahatan korupsi. Stakeholders
dan institusi pendidikan menjadi panutan bagi aktor atau lembaga
pemberantasan korupsi yang kadang setengah hati, jalan di tempat, menerapkan
politik tebang pilih dan melihat bulu dalam memberantas koruptor.
Peran ideal lembaga
pendidikan harus diambil. Institusi pendidikan sebaiknya tak saja berkutat di
internal: soal kurikulum, tenaga pengajar/dosen minim, infrastruktur kurang
mendukung, dan sebagainya. Institusi pendidikan, seperti diharapkan Bapak
Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, harus dapat menjadi pioner di
negeri ini. Filsuf Inggris, Jhon Locke, mengatakan, negara tak akan maju
tanpa adanya pengembangan dalam pendidikan. Harapan ideal pendidikan itu
sejatinya dikongkretkan.
Namun begitu,
pendidikan antikorupsi bukan hal mudah dimaterialkan. Gagasan itu membutuhkan
daya dukung elemen lain: budaya, lingkungan, birokrasi, infrastruktur, kultur
pendidikan, sumber daya manusia (SDM), dan kesadaran masyarakat akademik
secara kolektif. Dukungan pelbagai unsur itu bukan saja berguna secara
konseptual pendidikan antikorupsi, tapi juga memacu adanya sumber daya
manusia terdidik yang unggul dengan pelbagai sifat diharapkan. Yakni, ilmuwan
tak saja pintar secara intelektual dan religius, tapi juga memiliki kepribadian
baik, jujur, dan bertanggung jawab.
Karakter intelektual
seperti itu sangat diidamkan dari program pendidikan antikorupsi. Dalam makna
lebih subtantif, pendidikan antikorupsi mengarah pada tujuan luhur pendidikan
karakter. Yakni, ilmuan berkarakter dengan pelbagai sifat mulia, jujur serta
tak melakukan penyimpangan, termasuk korupsi.
Realisasi pendidikan
antikorupsi menjadi urgen. Gagasan besar untuk mencegah praktik korupsi dapat
dilakukan dengan membenahi pendidikan dengan prinsip-prinsip fundamental,
seperti kejujuran serta ditopang dengan dukungan birokrasi, norma, kultur,
tradisi, civitas akademika, regulasi, kesadaran politik (elite), dan
sebagainya. Semoga praktik korupsi dapat dikurangi, bahkan diberantas sampai
ke akar-akarnya melalui pendidikan antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar