Sabtu, 08 Desember 2012

Hikmah Kasus “Beauty and The Bupati”


Hikmah Kasus “Beauty and The Bupati”
M Mas’ud Said ;   Guru Besar Ilmu Politik, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah
JAWA POS, 07 Desember 2012


EKSPOSE bertubi-tubi kasus nikah singkat antara Bupati Garut Aceng Fikri dan salah seorang perempuan muda berikut kesepakatan DPRD untuk memproses pemakzulannya menarik untuk dicermati.

Nikah singkat, dugaan pelecehan martabat perempuan oleh oknum pejabat negara, dan terpaan media, mengguncang toleransi psikologis kaum ibu. Begitu hebohnya sampai-sampai sekelompok ibu ikut mendemo sang bupati. 

Bahkan, Presiden SBY di sela-sela pertemuan dengan gubernur, bupati, wali kota, serta jajaran TNI dan Polri membicarakan kasus itu dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Setelah itu, Menag Suryadharma Ali dan Mendagri Gamawan Fauzi ikut memperhatikan masalah kepemimpinan Aceng yang dihubungkan dengan kemungkinan pelanggaran perundangan agama dan hukum serta etika pemerintahan. 

Umpama perkawinan singkat dan dugaan pelecehan harkat perempuan itu dilakukan orang biasa, bukan seorang bupati atau pejabat, persoalan dan penyelesaiannya bisa saja akan simpel. Mengapa? Sebab, tidak ada pertautan persoalan rumah tangga itu dengan wilayah kekuasaan dan domain politik. Yang ada paling-paling urusan sosial dan wilayah keluarga, yaitu bagaimana meyelaraskan kesepakatan antara suami dan istri serta keluarga secara tradisional. Kalau beragama Islam, diselesaikan secara syariat. 

Pada minggu-minggu pertama kasus tersebut mencuat, Bupati Aceng berdalih bahwa itu adalah wilayah privat, wilayah pribadi, dan urusan hubungan suami istri. Bupati Garut berdalih bahwa masalah keluarga tersebut telah diselesaikan secara baik-baik, secara syariat plus kompensasi uang Rp 43 juta dengan jaminan agar mantan istrinya yang berusia 18 tahun itu tak meneruskan persoalan tersebut. Namun, bupati lupa bahwa persoalannya tak sesimpel itu. 

Si Cantik dan Penguasa 

Studi mengenai hubungan antara para perempuan cantik (beauty) dan tokoh atau figur yang berkuasa di wilayah politik serta pemerintahan sekarang telah dilakukan ilmuwan politik. Ada dugaan sementara bahwa di negara yang penduduknya memegang tradisi agama dan di masyarakat yang komunal, hubungan yang tidak normal antara perempuan dan pejabat negara akan bisa berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan dan kelanggengan kekuasaan. 

Bahkan, di negara sekuler semacam AS, kasus-kasus yang menyinggung keterkaitan takhta dan perselingkuhan seperti yang dialami Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau Kepala CIA Jenderal (pur) David Petraeus dengan Paula Broadwell telah mengguncangkan politik negara tersebut.

Kasus-kasus seperti Lewinskygate mengharuskan Gedung Putih, ajudan, dan intelijen AS mengagendakan strategi penjagaan nama baik presiden. Sebab, apabila tidak, itu adalah sasaran empuk musuh-musuhnya. Rawan nian hubungan wilayah politik dengan wilayah perempuan cantik itu.

Hal tersebut mengingatkan kita betapa dekat hubungan antara perempuan muda yang cantik dan kekuasaan negara serta reputasi mereka dengan kepolitikan negara. Juga betapa besar arti perempuan dalam bermasyarakat dan bernegara.

Dalam sistem birokrasi kita, misalnya, istri seorang pegawai negara dihitung sebagai warga resmi PNS. Apabila berstatus istri seorang menteri atau seorang pejabat tinggi, dia adalah ketua Dharma Wanita subunit kementerian yang dipimpin suaminya. Oleh sebab itu, Mendagri mengatakan, kalau ada pejabat negara yang kawin, ada kewajiban bagi mereka untuk mencatatkan pernikahannya, tidak boleh kawan siri atau di bawah tangan.

Untuk itulah, semasa Pak Harto berkuasa, sang nyonya, Ibu Tien, sangat mendukung pelaksanaan PP Nomor 10/1983 tentang Peraturan Perkawinan PNS. Hal itu bertujuan menjaga agar kepala daerah dan kepala pemerintahan serta pejabat publik lain tidak melakukan perkawinan di bawah tangan, apalagi tanpa persetujuan istri.

Kedinasan dan Kecantikan 

Larangan yang diterapkan pada satria negara untuk memiliki istri lebih dari satu dan lain sebagainya didorong oleh pemikiran bahwa perempuan dalam makna kultur Jawa dapat menunjang tugas. Tetapi juga sebaliknya, dianggap dapat menyeret perilaku yang kontraproduktif dengan tugas para satria, pejabat negara. 

Ketika seorang pejabat tinggi, pejabat politik seperti anggota TNI-Polri-DPRD, menikah dengan perempuan yang tidak sekufu, apalagi cantik dan muda, akan terdapat wilayah-wilayah yang secara alamiah diduga tak gampang bisa bertemu, laksana air dengan minyak. Wilayah-wilayah kedinasan di bidang politik tampaknya sangat rawan kalau dicampur dengan wilayah-wilayah kecantikan. 

Salah satu contoh gamblang mengenai sulitnya pertemuan antara wilayah politik dan gadis belia yang cantik adalah apa yang telah dialami mantan Menaker Sudomo. Reputasinya hampir jatuh. Dia merasa hidupnya benar-benar knocked down pada perkawinan kedua dengan selebriti bernama Fransisca Dyah Widowati.

Dalam buku memoarnya, Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan, orang kuat di elite politik zaman Orba itu meminta orang lain tidak meniru kehidupan cinta dan perkawinannya. Belakangan, sebelum wafat, beliau pernah berujar bahwa dirinya bisa lebih enjoy dan lebih survive, merasa kembali hidup, zonder (tanpa) perempuan muda di sisinya.

Hubungan antara dunia pejabat publik dan perempuan muda yang cantik pasti punya risiko politik. Dapat dikatakan masyarakat menuntut dunia pejabat, selain dilarang korupsi, harus menjadi teladan yang dekat dengan idealitas dan totalitas. 

Dalam tataran tertentu, mereka boleh memiliki harta, mobil yang banyak, tapi tak boleh memiliki istri banyak. Menurut budaya politik kejawen, orang Jawa yang satria dilarang takluk oleh tiga ta, yaitu harta, takhta, dan wanita. Kalau analogi tiga ta itu direnungi, sesungguhnya itu bisa menjadi petuah. Agar para satria, elite politik, bapak bupati, bapak wali kota, bapak gubernur, dan bapak menteri berhati-hati dalam puncak karir masing-masing. Jangan merendahkan kaum perempuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar