Menghina
Rakyat
Sri Palupi ; Ketua Institute for Ecosoc Rights
|
KOMPAS,
01 Desember 2012
Terhadap tuduhan Ketua Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD terkait mafia narkoba yang merambah Istana, Menteri Sekretaris
Negara Sudi Silalahi menegaskan, pihak Istana sangat keberatan dan merasa
terhina.
Rasa terhina yang dipersoalkan Sudi
Silalahi ini membuat saya berpikir, pihak Istana benar-benar keterlaluan.
Mereka hanya peduli pada citranya sendiri.
Ketika rakyat direndahkan, dilecehkan,
dijual murah, ditembaki, diculik, dan diambil organ tubuhnya, serta diperkosa
berulang kali oleh pihak-pihak di luar negeri, pihak Istana tidak merasa
terhina. Sampai sekarang mereka tetap bungkam.
Rupanya derita dan penghinaan rakyat oleh
pihak-pihak di negara lain bukan prioritas Istana. Berulang kali pihak Istana
menegaskan bahwa presiden tidak harus turun tangan untuk semua persoalan.
Alasannya, sudah ada menteri yang mengurusi. Sementara itu, saya mencatat,
presiden lebih banyak turun tangan untuk hal-hal yang menyangkut pujian,
penghargaan, seremoni, dan berbagai urusan yang mendukung pencitraan Istana.
Kalaupun presiden turun tangan atas
persoalan rakyat, itu terjadi karena tekanan massa. Jangankan merasa terhina
terhadap penghinaan yang diderita rakyat, pihak Istana bahkan secara
sistematis menghina rakyat dengan berbagai kebijakan dan kebungkamannya.
Tenaga Kerja Indonesia
Masyarakat marah dengan berbagai kasus
penganiayaan, penembakan brutal, dan pemerkosaan yang terus mendera tenaga
kerja Indonesia (TKI). Namun, pihak Istana tetap bungkam. Sudah lama rakyat
dijual murah bahkan diobral. Kita bisa temukan iklan jual murah TKI di
koran-koran Singapura. TKI yang dikembalikan majikan kepada agen, dijual dan
dipajang di pusat belanja. Bahkan, di kawasan Geylang, Singapura, para gadis
remaja Indonesia dijual di pinggir jalan sebagai pekerja seks.
Terasa kesiangan ketika pemerintah baru
bereaksi setelah iklan ”TKI on sale”
diangkat Migrant Care. Terhadap
jual murah TKI, pihak Istana juga bungkam. Mereka sibuk dengan pesta
pemberian gelar kesatria bagi sang presiden.
TKI diakui sebagai penyumbang devisa dan
pemberi solusi atas masalah pengangguran. Balasannya bukan subsidi,
kemudahan, dan perlindungan optimal yang diterima TKI, melainkan tambahan
masalah. Bibir pemerintah mengecam iklan ”TKI
on sale”, tetapi pada saat yang sama tangannya jual murah TKI lewat
perusahaan jasa TKI.
Betapa tidak. Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengeluarkan aturan tentang kartu tanda kerja luar
negeri (KTKLN) yang wajib dimiliki TKI. Pencetakan kartu dibiayai dari APBN.
Anehnya, untuk mendapatkan KTKLN, TKI dipaksa menggunakan jasa komersial
PJTKI yang mewajibkan TKI membayar sedikitnya Rp 2 juta.
Kalau tidak, mereka tidak akan mendapatkan
KTKLN dan tidak bisa berangkat sebab ada surat edaran BNP2TKI kepada
perusahaan maskapai internasional untuk mencekal TKI yang tidak ber-KTKLN.
Akibatnya, banyak calon TKI yang bekerja
dengan kontrak mandiri tanpa melalui PJTKI digagalkan keberangkatannya oleh
pihak maskapai penerbangan. TKI dirugikan atas tiket pesawat yang dibatalkan
dan kehilangan kesempatan kerja dengan gaji jauh lebih tinggi dibandingkan
bila bekerja melalui PJTKI.
Sekadar contoh, Triyawati, calon TKI
mandiri ke Singapura. Penerbangannya digagalkan AirAsia. Faridah Aini, calon
TKI mandiri ke Dubai, penerbangannya digagalkan Garuda Indonesia. Nasib yang
sama dialami Feri dan Nana, TKI Hongkong yang lagi cuti.
Masyarakat Adat
Penghinaan tak hanya diderita TKI. Petani dan
masyarakat adat tak kurang menderita. Di Papua, misalnya, tanah rakyat yang
diambil untuk perkebunan sawit hanya diganti rugi 0,65 dollar AS per hektar.
Kekayaan Papua disedot, sementara hak-hak dasar rakyat Papua, seperti
pendidikan dan kesehatan, ditelantarkan. Daerah terkaya, tetapi masyarakatnya
paling miskin.
Rakyat dibodohi dan dipermalukan. Sekadar
contoh, seorang warga masyarakat adat asal Katingan, Kalimantan Tengah, 5
hektar tanahnya dirampas perusahaan sawit dan dipaksa menerima ganti rugi Rp
1,5 juta.
Merasa diperlakukan tak adil, ia mengadu
kepada polisi dan pemerintah. Tidak ada respons, ia nekat mendatangi pihak
perusahaan sawit. Dengan sinis perusahaan memintanya membawa surat kelakuan
baik dari kepolisian dan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Artinya,
mempertanyakan ketidakadilan identik dengan kejahatan dan ketidakwarasan.
Dengan meningkatnya investasi di sektor
perkebunan dan pertambangan, penghinaan dan kekerasan terhadap petani dan
masyarakat adat atas nama otoritas negara semakin keterlaluan.
Bayangkan, Freeport yang telah
menghancurkan bumi dan rakyat Papua masih juga diberi izin dan difasilitasi
untuk mengeksploitasi Kalteng. Anda tidak akan temukan nama Freeport di sana
sebab untuk mengelabui rakyat, Freeport sembunyikan diri dengan baju
perusahaan lokal.
Rakyat tak diakui eksistensinya. Hutan dan
lahan diberikan kepada korporasi seolah-olah wilayah itu tak berpenghuni. Di
Kalimantan Timur, misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat luas
konsesi untuk korporasi pertambangan, sawit, dan lainnya mencapai 21,7 juta
hektar. Sementara itu, luas Kalimantan Timur sendiri hanya 19,88 juta hektar.
Di Kalimantan Selatan dan Kalteng kondisinya tak jauh beda.
Penghinaan sistematis terhadap rakyat
terlihat dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2010. Tak kurang dari
56 persen aset nasional yang mayoritas berupa tanah dikuasai hanya oleh 0,2
persen penduduk.
Pemerintah telah memberikan sedikitnya 42
juta hektar hutan kepada perusahaan HPH, HTI, dan perkebunan. Sementara itu,
Jatam mencatat 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa
pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan
batubara.
Sementara itu, lahan yang dimiliki petani
kian menyempit. Data BPS menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003, jumlah
petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Selama 2011
jumlah petani berkurang 3,1 juta.
Penghinaan rakyat secara terang-terangan
dilakukan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia menyatakan lahan kritis yang
luasnya 20.000 hektar akan diberikan kepada rakyat untuk dikelola dan
dipinjamkan selama 60 tahun.
Keterlaluan, hutan dan tanah produktif
diserahkan kepada korporasi dan setelah kritis baru diberikan kepada rakyat.
Keuntungan dinikmati korporasi, sedangkan limbah, sampah, dan bencananya
dibebankan kepada rakyat.
Akhir kata, boleh saja pihak Istana diguyur
penghargaan dan dipuja-puji setinggi langit oleh pihak asing, tetapi apalah
artinya itu bagi Indonesia kalau rakyat dan bangsanya terus dihina dan tak
ada harganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar