Peluang Partai
Menengah
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center dan
Fellow Paramadina Graduate School of Political Communication
|
KOMPAS,
01 Desember 2012
Fakta mengejutkan terungkap dari hasil
survei nasional terbaru sebuah lembaga riset dan konsultasi politik.
Melalui survei bertajuk ”Kecenderungan Swing Voter Pemilih Partai
Menjelang Pemilu 2014” oleh Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut terungkap bahwa hanya 15
persen pemilih Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai
politik. Sedangkan 85 persen pemilih merasa tidak memiliki kedekatan dengan
partai. Mereka lazim disebut massa mengambang (floating mass).
Hasil survei itu mengindikasikan kian lemahnya
hubungan antara pemilih dan partai. Para pemilih belum melekatkan diri
terhadap partai tertentu. Dengan mudah mereka dapat berpindah-pindah pilihan
dari satu partai ke partai lain.
Tingkat partisipasi pemilih (voters turn out) yang terus mengalami
penurunan juga menjadi indikasi dari belum mengakarnya partai di dalam
masyarakat. Pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 93,3 persen, pada
Pemilu 2004 menurun menjadi 84,9 persen, dan pada Pemilu 2009 tingkat
partisipasi kembali merosot menjadi 70,99 persen.
Peningkatan jumlah massa mengambang di
Indonesia saat ini tentu merupakan kabar buruk bagi agenda penguatan
institusionalisasi partai. Pakar ilmu politik Scott Mainwaring mengatakan, di
dalam sistem yang telah terinstitusionalisasi dengan baik partai memiliki
akar kuat di masyarakat. Ada ikatan ideologi yang kuat mengikat antara
pemilih dan partai. Ikatan ini kemudian menumbuhkan loyalitas di hati pemilih
sehingga partai mengakar kuat. Jadi, ikatan kuat antara pemilih dan partai
merupakan salah satu aspek penting institusionalisasi partai politik
(Mainwaring, 1996: 7-8).
Sulit dimungkiri bahwa peningkatan jumlah
massa mengambang di Indonesia dewasa ini merupakan gambaran akumulasi rasa
kecewa publik terhadap kinerja partai-partai. Jika sebuah partai melakukan
kesalahan fatal, partai bersangkutan akan segera ditinggalkan. Hal itu kini
dialami partai-partai besar, terutama Partai Demokrat. Kasus dugaan korupsi
proyek Hambalang dan Wisma Atlet dilihat publik sebagai kesalahan paling
fatal Partai Demokrat.
Peluang Partai Menengah
Peningkatan jumlah massa mengambang dan
penurunan kepercayaan publik terhadap partai-partai besar sesungguhnya dapat
dimanfaatkan partai-partai menengah, seperti PAN, PKB, PPP, PKS, Partai
Gerindra, dan Partai Hanura, untuk memperbesar dukungan suara.
Diperlukan upaya serius sejak dini dari
partai-partai menengah untuk memaksimalkan potensi suara massa mengambang
agar dapat membuahkan keuntungan elektoral pada Pemilu 2014. Salah satu cara
yang dapat ditempuh oleh partai-partai menengah adalah melakukan (kembali)
positioning politik.
Di dunia marketing, positioning
didefinisikan sebagai seluruh aktivitas yang bertujuan untuk menanamkan kesan
di benak para konsumen agar mereka dapat melakukan diferensiasi antara satu
produk dan produk lain. Produk yang dihasilkan akan direkam dalam bentuk
citra (image) yang terdapat pada sistem kognitif para konsumen (Firmanzah,
2007: 157).
Jika konsep ini diadopsi ke dalam konteks
persaingan politik, partai/kandidat—sebagai sebuah produk politik—dituntut
mampu untuk menanamkan citra politik tertentu secara kuat di dalam benak
pemilih. Untuk itu, ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan
dengan produk-produk politik lain. Keseragaman hanya akan menyulitkan pemilih
untuk melakukan identifikasi. Mereka akan merasa tidak ada perbedaan
signifikan antara satu produk politik dengan produk politik lain.
Permasalahan mendasar partai dalam
melakukan positioning politik adalah penciptaan gambaran konsisten yang
mengerucut pada satu tema tertentu. Tema itu bisa terkait program kerja
partai, isu politik, dan pemimpin partai. Setiap partai harus berusaha
menjadi dominan dan menguasai benak pemilih. Posisi kuat dalam benak pemilih
akan membuat partai bersangkutan selalu diingat dan dijadikan referensi utama
ketika mereka dihadapkan pada serangkaian pilihan politik (Firmanzah, 2007:
158-159).
Untuk itu, dalam melakukan positioning
politik harus turut diperhatikan pula konteks kondisi riil di masyarakat.
Apabila hal itu diabaikan, niscaya positioning politik yang dilakukan tidak
akan memperoleh respons menggembirakan dari masyarakat. Terkait hal itu,
mengingat penurunan kepercayaan publik terhadap partai-partai besar dipicu
oleh keterlibatan sejumlah elite partai bersangkutan dalam kasus-kasus
korupsi, merupakan sebuah pilihan strategis bila kemudian partai-partai
menengah memosisikan diri mereka sebagai partai antikorupsi.
Jika partai-partai menengah berani dan
konsisten mengambil positioning politik ini, pemilih akan melihat mereka
sebagai antitesis dari partai-partai besar yang cenderung korup. Ketika suatu
masalah korupsi mencuat otomatis masyarakat akan menjadikan partai-partai
menengah sebagai bagian dari pemecahan masalah. Bahkan, bukan tidak mungkin
potensi suara massa mengambang akan dapat dikonversi menjadi keuntungan
elektoral pada Pemilu 2014.
Konsistensi
Perlu diingat positioning politik tidak
dapat dibangun secara instan dalam jangka pendek. Menanamkan citra positif di
dalam benak pemilih membutuhkan konsistensi jangka panjang. Hal ini karena
masyarakat perlu melakukan proses pembelajaran guna dapat memahami posisi
ideologis partai-partai. Karena itu, partai-partai menengah harus mulai
melakukan positioning politik sejak dini.
Namun, realitas politik hari ini belum
menunjukkan adanya langkah-langkah konkret dari partai-partai menengah untuk
melakukan hal itu. Alih-alih menjadi antitesis dari partai-partai besar yang
cenderung korup, partai-partai menengah ini justru mulai tertular virus
korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri mengenai izin
tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi pada kurun 2004-2012
menunjukkan partai-partai menengah itu juga tidak luput dari jeratan kasus
korupsi. Tercatat politisi asal PPP berjumlah 40 orang (9,28 persen), PAN 23
orang (5,34 persen), PKB 16 orang (3,71 persen), dan PKS 10 orang (2,32
persen).
Sementara itu, data Kemendagri mengenai
izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota mencatat
politisi asal PPP berjumlah 39 orang (7,08 persen), PKB 30 orang (5,59
persen), PAN 28 orang (5,22 persen), Partai Hanura 28 orang (5,22 persen),
PKS 27 orang (5,03 persen), dan Gerindra 19 orang (3,54 persen).
Data di atas menunjukkan belum ada usaha
sungguh-sungguh dan konsistensi dari partai-partai di Indonesia untuk
menghindarkan diri dari jeratan korupsi. Padahal, kesediaan pemilih untuk
mengikatkan diri pada satu partai tertentu akan terjadi apabila partai
bersangkutan terbukti mampu menjaga konsistensi perjuangan, termasuk dalam
pemberantasan korupsi. Ketidakmampuan menjaga konsistensi akan membuat pemilih
berpikir seribu kali untuk mengikatkan diri pada partai tersebut. Inilah
sebab utama peningkatan jumlah massa mengambang di Indonesia dewasa ini.
Kegagalan partai melakukan itu akan terekam di dalam memori kolektif publik.
Lebih dari itu, reputasi yang telah memburuk akan sulit untuk dipulihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar