Sabtu, 01 Desember 2012

Menjaga Pembaruan Melintas Abad


Menjaga Pembaruan Melintas Abad
Syamsul Arifin ; Guru besar UMM, Pengurus Majelis
Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah 
JAWA POS, 01 Desember 2012


MENYAMBUT milad akbar seabad Muhammadiyah, temu ilmiah bertajuk                    International Research Conference on Muhammadiyah (ICRM) diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sejak 29 November sampai 2 Desember 2012 besok. Jika dibanding kegiatan yang dilaksanakan secara serentak pada 18 November lalu, misalnya di Gelora Bung Karno, konferensi internasional ini jauh dari gebyar seremoni. 

Di tengah euforia melintas ke abad kedua, Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai permasalahan internal dan eksternal yang berpotensi mengganggu dinamika. Karena itu, paparan peneliti Muhammadiyah, baik dari luar Muhammadiyah (outsider) maupun kalangan dalam sendiri (insider), perlu dijadikan sumber rujukan mutakhir untuk evaluasi abad pertama. 

Melalui kerangka Muhammadiyah studies (menurut istilah Ahmad Najib Burhani), Muhammadiyah telah memperoleh apresiasi, kritik, serta harapan dari sejumlah peneliti. Tiga jenis sikap keilmuan itu terartikulasikan secara objektif dalam konferensi. Peneliti Muhammadiyah dari Jepang yang sekaligus ketua pengarah konferensi, Mitsuo Nakamura, mengapresiasi Muhammadiyah sebagai gerakan berbasis keagamaan (Islam) namun kemanfaatannya dirasakan komunitas lintas agama (komunitas di luar Islam). 

Penulis buku The Crescent Arises over the Banyan Tree (ISEAS, Singapore, 2012) itu menyebutkan, dengan daya tahan yang dimiliki, Muhammadiyah memiliki banyak kesempatan mengembangbiakkan berbagai unit amal usaha seperti pendidikan, kesehatan, serta filantropi. Tapi, peningkatan statistik pada sisi amal usaha juga disertai bersemainya benih-benih permasalahan. Muhammadiyah terkesan mengalami stagnasi jika dibanding gerakan keagamaan yang lebih baru.

Selain itu, Mitsuo Nakamura galau terhadap polaritas pemikiran di kalangan Muhammadiyah, terutama antara kubu Salafi yang cenderung konservatif vis-à-vis kubu moderat dan liberal. Muhammadiyah memang tidak tahan dari infiltrasi ideologi lain. Dengan mengangkat isu infiltrasi, Mitsuo ingin mengungkap suatu fenomena penting bahwa dalam Muhammadiyah telah terjadi perubahan (change) identitas. 

Perubahan itulah yang dipotret Pradana Boy, kandidat doktor National University of Singapore, yang juga intelektual muda Muhammadiyah. Dalam makalahnya yang bertajuk Another Face of Puritan Islam: Muhammadiyah and Radicalism among Youth, dia menelisik keterkaitan antara Muhammadiyah dan kelompok Islam radikal. Boy mungkin bisa membuat banyak orang kaget karena mengatakan bahwa beberapa pelaku teror di Bali mengenyam pendidikan yang berafiliasi kepada Muhammadiyah. Secara spesifik, dia menyebut Amrozi dan Ali Imron sebagai contoh. Kakak beradik itu disebut bisa masuk jaringan gerakan Islam radikal karena pada diri mereka telah terbentuk paham radikal ketika mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. 

Temuan penelitian Pradana Boy, tampaknya, mengukuhkan pengamatan Mitsuo Nakamura dan M.C. Ricklefs dari Australian National University (ANU), Australia, yang juga narasumber konferensi. Ricklefs menemukan fenomena infiltrasi dari paham dan ideologi radikal, sehingga wajah Muhammadiyah juga memperlihatkan guratan radikalisme selain guratan dominan reformisme dan moderatisme.

Alhasil, jika merujuk pada Mitsuo Nakamura, Pradana Boy, dan M.C. Ricklefs, Muhammadiyah selama rentang waktu seabad pertama telah mengalami perubahan (change). Tapi, tidak semua narasumber senada dengan hasil pengamatan tiga pakar itu. Misalnya, narasumber lain seperti James Peacock (University of North Carolina, AS) dan Robin Bush (Asian Research Institute, NUS, Singapore). Peacock yang menulis makalah 1970 to 2010: Continuities and Change mengakui adanya perubahan pada Muhammadiyah. Namun, perubahan yang dilihat Peacock tidak berakibat pada terjadinya pergeseran secara radikal yang dapat menggerus watak Muhammadiyah sebagai representasi Islam moderat plus reformis. 

Perubahan yang terekam oleh Peacock justru kian memperkuat watak tersebut. James Peacock merekam aktivitas Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang terlibat secara aktif dalam berbagai forum interfaith dan inter-civilization dialogue yang berskala internasional. Bahkan, Din secara periodik menggelar World Peace Forum seperti yang dilaksanakan di Bogor beberapa hari lalu. Aktivitas yang ditampilkan Din jarang dilakukan tokoh puncak Muhammadiyah pada periode sebelumnya.

Jadi, bisa dikatakan, aktivitas Din merupakan perubahan yang tetap berkesinambungan (change and continuity) dengan watak Muhammadiyah. Dikatakan sebagai fenomena perubahan karena isu seputar dialog antar-iman dan peradaban jarang disebut serta diterjemahkan ke aktivitas yang riil. Sementara itu, aspek kesinambungannya (continuity), keterlibatan pada isu tersebut tidak lebih merupakan kelanjutan belaka watak moderat dan reformis Muhammadiyah yang menuntut bersikap inklusif terhadap kelompok lain yang bahkan berbeda agama sekalipun. 

Kenyataan itulah yang ingin dipertegas Robin Bush melalui paper yang berjudul A Snapshot of Muhammadiyah: Portrait of Social Change, Values and Identity. Menurut Robin, pada Muhammadiyah, sebagaimana terlihat pada perilaku pengikutnya, tetap melekat sikap kebajikan (virtues) seperti terbuka, demokratis, toleran terhadap perbedaan, serta mendukung aksi kesetaraan sosial (social equity). Dengan kebajikan itulah, banyak kalangan dari luar Muhammadiyah, bahkan yang berbeda agama, yang merasa nyaman dan aman berinteraksi dengan Muhammadiyah. 

Penelitian oleh Abdul Mu'thi dan Izza Rohman yang disajikan dalam konferensi membuktikan hal tersebut. Melalui penelitian yang mendalam di Kupang, Mu'thi dan Izza menemukan kategori baru dalam Muhammadiyah, yakni Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Kategori itu didasarkan pada fenomena banyaknya mahasiswa berlatar belakang Kristen yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Kupang. 

Memang, beragam cara pandang hasil kajian terhadap Muhammadiyah dibentangkan para narasumber dari luar negeri dan dalam negeri. Namun, suatu hal penting adalah melanjutkan apa yang disebut Christian Harijanto,                    narasumber dari Curtin University, Perth, Australia, dengan the reforms projects atau proyek pembaruan. Denyut pembaruan harus dijaga agar Muhammadiyah tetap eksis dan terus berdedikasi melayani umat dari berbagai kalangan. Tanpa reformasi, gerak Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua akan melambat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar