Jumat, 07 Desember 2012

Pro Kontra Upah Minimum


Pro Kontra Upah Minimum
Jahen Fachrul Rezki ;  Mahasiswa Master Bidang Ekonomi di University of York, Inggris, Peraih Beasiswa Unggulan Dikti 2012
SINAR HARAPAN, 05 Desember 2012


Gubernur DKI Jakarta akhirnya menaikkan upah minimum provinsi (UMP) menjadi Rp 2,2 juta. Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak.
Pihak yang merasa diuntungkan tentunya para pekerja dan serikat buruh yang terus menuntut kenaikan upah. Di sisi lain, para pengusaha menilai kebijakan ini sangat memberatkan mereka karena biaya (cost) yang harus mereka keluarkan untuk gaji pegawai menjadi lebih besar.

Para akademikus ikut terbelah dalam menilai kebijakan ini, ada yang setuju, namun lebih banyak yang menyuarakan kritikan terhadap kebijakan ini. Pihak yang setuju dengan kenaikan upah minimum menganggap bahwa dengan dilakukannya kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan standar hidup kelompok masyarakat miskin, serta meningkatkan standar hidup secara keseluruhan.

Di sisi lain, kenaikan upah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pekerja dan juga menuntut mereka mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Kelompok yang kontra dengan kebijakan ini juga memiliki alasan logis.
Dengan adanya kebijakan menaikkan upah minimum, pihak yang akan sangat dirugikan adalah usaha kecil yang tidak mampu membayar pekerjanya lebih tinggi. Kenaikan upah juga diperkirakan akan meningkatkan harga sebagai imbas dari naiknya upah dan biaya produksi produsen.

Isu upah minimum telah menjadi perdebatan secara global. Sejak diperkenalkan pertama kali pada 1894 di Selandia Baru, pro kontra tentang perlunya menaikkan upah minimum terus bergejolak.

Terakhir majalah The Economist edisi 24 November 2012 memuat satu artikel mengenai kebijakan ini. Menariknya, dalam artikel tersebut diangkat beberapa temuan yang menunjukkan bahwa ternyata pelaksanaan kebijakan upah minimum secara moderat bisa memberikan manfaat.

Salah satu penelitian yang menemukan manfaat dari kebijakan upah minimum adalah studi yang dilakukan David Card dan Alan Krueger (1994). Mereka mencoba melihat dampak kenaikan upah minimum terhadap restoran fast food di New Jersey dan Pennsylvania, Amerika Serikat.

Hasilnya adalah setelah dilakukannya kebijakan kenaikan upah minimum, ternyata terjadi kenaikan jumlah pekerja, berbeda dengan teori ekonomi yang menyatakan sebaliknya.

Temuan ini dikritik berbagai pihak, salah satunya peraih Nobel Ekonomi tahun 1992, Gary Becker. Studi terbaru yang dilakukan Newmarket al (2012) juga senada dengan Becker.

Dalam kajian ini, mereka menemukan bahwa ternyata kenaikan terhadap upah minimum memberikan dampak yang sangat buruk bagi tingkat pengangguran. Temuan ini membantah studi yang dilakukan Card dan Krueger sebelumnya.

Kerangka Ekonomi

Dari sisi ekonomi, temuan Card dan Krueger sangat berbeda dengan teori ekonomi yang selama ini terjadi. Kenaikan upah minimum menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pekerja (supply of labour). Kondisi ini karena naiknya upah minimum menjadi insentif bagi para pekerja untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja (labour market).

Di sisi lain, kenaikan upah menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan biaya yang harus mereka keluarkan. Akibatnya, perusahaan harus mengurangi jumlah pekerja (demand for labour) yang akan dipekerjakan untuk menghindari kemungkinan rugi akibat biaya yang semakin membengkak.

Karena jumlah pekerja yang tersedia lebih besar daripada kemampuan perusahaan untuk mempekerjakan pegawai, timbullah kelebihan jumlah pekerja (excess supply of labour) dan mereka ini yang masuk ke dalam kelompok pengangguran (unemployment). Inilah yang melandasi kenapa banyak akademikus menentang kebijakan kenaikan upah.

Tidak hanya itu, dari sisi pekerjanya sendiri, kebijakan kenaikan upah minimum tentunya akan sangat merugikan pekerja yang memiliki kualifikasi yang sangat rendah (unskilled labour) karena perusahaan hanya akan menerima pekerja dengan kualifikasi yang tinggi (skilled labour) sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Realitas inilah yang menjadi ketakutan banyak pihak sebagai imbas dari kenaikan upah minimum di DKI Jakarta.

Keputusan yang dibuat gubernur tidak hanya meningkatkan kemungkinan bertambahnya tingkat pengangguran, tapi di sisi lain kebijakan ini akan menjadi pintu masuk bagi masyarakat di daerah untuk mencoba peruntungan datang ke Jakarta dan tentunya menambah jumlah penduduk Ibu Kota yang harus diurus oleh pemerintah.

Belajar dari Inggris

Kebijakan upah minimum yang dilakukan Inggris bisa menjadi contoh yang baik jika ingin tetap melakukan kebijakan upah minimum. Kebijakan yang diterapkan melakukan pendekatan yang berbeda, baik bagi pekerja senior maupun pekerja usia muda. Pemuda mendapatkan upah minimum yang lebih rendah dibandingkan yang diperoleh pekerja senior.

Perbedaan ini akan berubah tiap tahun sehingga pada akhirnya para pekerja usia muda memiliki upah minimum yang sama dengan pekerja senior. Pada saat ini, dampak dari kebijakan upah minimum terhadap pengangguran tidak terlalu besar atau tidak ada.

Dampak yang paling mencolok dari kebijakan ini adalah penyebaran upah. Kebijakan ini sepertinya mampu meningkatkan pendapatan secara menyeluruh dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Kesenjangan upah di Inggris telah menurun drastis semenjak 1990-an.

Pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini adalah perempuan yang pendapatannya tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Pihak lain yang diuntungkan melalui kebijakan ini adalah para pekerja yang selama ini memperoleh pendapatan sangat rendah.

Sekarang tugas pembuat kebijakan adalah memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan efek negatif bagi pasar tenaga kerja. Ini menjadi sangat penting mengingat saat ini pasar tenaga kerja kita sangatlah besar dengan jumlah pemuda yang semakin besar dan harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar