Minggu, 09 Desember 2012

Cyberdemocracy dari DKI


Cyberdemocracy dari DKI
Gun Gun Heryanto ;   Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
KOMPAS, 08 Desember 2012


Salah satu topik hangat di jejaring sosial yang ramai dibicarakan dan mengundang polemik masyarakat adalah aksi Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang mengunggah rapat-rapatnya dengan jajaran birokrat Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta ke YouTube.

Video rapat Basuki dengan Dinas Pekerjaan Umum misalnya, sudah dilihat lebih dari 1,2 juta netizen. Hingga tulisan ini dibuat (25/11/2012), video itu disukai 14.610 netizen, sedangkan yang tak suka hanya 213. Ada juga video rapat Basuki dengan Dinas Perhubungan, silaturahim dengan jajaran PNS, dan sejumlah rapat dengan pejabat teras di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Benarkah ini penanda dimulainya Jakarta baru yang transparan? Demokrasi yang mulai adaptif dengan pemanfaatan dunia siber sebagai saluran informasi sekaligus terobosan mengubah wajah kekuasaan.

Birokrasi Partisipatoris

Pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki terpilih dari sebuah pilkada yang demokratis. Ekspektasi publik luar biasa tinggi sehingga banyak pihak menanti cara-cara yang tak biasa dalam menakhodai Pemprov DKI yang lama menjadi birokrasi elitis.

Salah satu kelemahan elementer dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih adalah soal akses informasi untuk publik. Misalnya soal anggaran: mulai dari perencanaan, distribusi dan alokasi, hingga evaluasi pelaksanaannya.

Ketertutupan informasi merupakan pintu masuk kleptokrasi. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Istilah kleptokrasi sendiri dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi sambil memegang jabatan publik.

Kleptokrasi menjadi mapan, bahkan memberi imunitas bagi para pelakunya karena ditopang oleh rezim tertutupan informasi. Birokrasi elitis menjadi benteng pertahanan kokoh para koruptor yang bersembunyi di balik sejumlah aturan dan protokoler yang menjauh dari partisipasi publik. Singkatnya, kebijakan publik yang lahir dari sistem oligarki benar-benar menjadi cara jitu para koruptor untuk bancakan uang rakyat setiap saat.

Jokowi-Basuki tentu sangat sadar bahwa modal sosial yang sekaligus menjadi modal politik mereka hingga mampu menjadi pemimpin DKI adalah kepercayaan publik. Wajar jika tantangan paling nyata bagi mereka saat ini adalah mengelola harapan publik dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang mereka miliki untuk menunaikan janji-janji kampanye secara bertahap.

Politik sangat berkaitan dengan persepsi publik sehingga Jokowi-Basuki harus pandai mengelola persepsi publik tentang mereka. Tentu bukan pencitraan yang artifisial, melainkan realisasi program kerja jangka pendek, menengah, dan panjang yang bisa dirasakan kehadiran dan kemanfaatannya untuk warga Jakarta. Birokrasi tak lagi elitis melainkan partisipatoris.

Media Sosial

Satu terobosan di fase awal kepemimpinan Jokowi-Basuki adalah pemanfaatan media sosial dalam mendekonstruksi birokrasi elitis. Warga dengan mudah mengakses informasi rapat-rapat Jokowi-Basuki via YouTube.

Tindakan ini awalnya tentu membuat beberapa pihak tidak nyaman. Suatu hal lumrah karena setiap cara dan pendekatan baru pasti membawa ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Ada tiga hal yang patut diapresiasi dari tindakan Pemprov DKI menyebar video rapat-rapat mereka ke media sosial.

Pertama, media sosial menjadi pilihan tepat di tengah keterbatasan ruang media arus utama seperti TV, radio, koran, dan majalah. Kita sangat paham media arus utama punya logika pasar sendiri sehingga tak mungkin memublikasikan seluruh kegiatan birokrasi secara rinci. Selain faktor ekonomi politik, media arus utama juga sangat mempertimbangkan hierarki pengaruh yang lazim ada pada mereka.

Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam Mediating The Message (1996) mencatat, level-level pengaruh tersebut dimulai dari level individual seperti latar belakang dan kepentingan jurnalis; rutinitas media; organisasional seperti kepentingan pemilik; ekstra media seperti negara, pengiklan, dan kelompok penekan; serta level ideologi yang kerap menjadi faktor makro yang berpengaruh pada isi media.

Dengan memanfaatkan YouTube durasi panjang, rapat-rapat Jokowi-Basuki dengan jajaran birokrat Pemprov DKI bisa dinikmati oleh warga, bukan hanya di DKI, tetapi juga di Indonesia dan luar negeri. Hal ini relevan dengan karakteristik dunia siber yang interaktif, multimedia, dan tak terbatas. Peluang ini ditangkap secara cerdas oleh Jokowi- Basuki untuk memberi akses informasi untuk publik.

Kedua, menjadi bagian dari literasi politik untuk warga. Berbagi informasi perihal kinerja birokrasi melalui media yang familiar dengan warga memenuhi salah satu unsur pengarusutamaan literasi politik. Catherine Macrae dalam Political Literacy Resource Pack (2006) menggarisbawahi bahwa literasi politik merupakan bauran kompleks dari praktik sosial yang memungkinkan orang menjadi warga negara yang aktif dan efektif. Warga dilengkapi pengetahuan, keterampilan, dan kesempatan bersikap dalam kaitannya dengan politik lokal, nasional, bahkan internasional.

Di Jakarta, penyebaran informasi lewat media sosial sudah tepat karena banyak warga yang adaptif dengan komunikasi berbasis web 2.0 ini. Selain sebagai konsumen informasi, netizen juga kerap menjadi produsen gagasan yang disebar ke komunitas virtual mereka. Terlebih saat ini kita juga dimudahkan oleh dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), dan Graphical Worlds.

Proses berbagi informasi berjalan cepat karena dari YouTube, misalnya, informasi bisa diteruskan ke situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Fenomena inilah yang kerap disebut sebagai generasi ketiga komunikasi politik setelah era retorika politik dan media arus utama.

Ketiga, transparansi Jokowi- Basuki melalui media sosial ini merupakan peran birokrasi dalam mewujudkan cyberdemocracy. Internet, termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat jadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif.

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Tentu warga juga harus kritis, terutama menyangkut konsistensi mereka dalam hal transparansi. Jangan sampai gebrakan ini hanya memalingkan perhatian publik di awal masa jabatan mereka atau sekadar menjadi skenario pencitraan yang sifatnya dangkal. Kita harus memberi waktu yang cukup untuk menguji kesungguhan mereka, sambil memperkuat simpul-simpul warga yang lebih berdaya secara bersama-sama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar