Tagihan
Kebudayaan Kasus Munir
Usman Hamid ; Direktur
Change.org
|
KOMPAS,
08 Desember 2012
Hari ini, 8 Desember, adalah hari kelahiran
Munir. Akan tetapi, perayaan ulang tahun Munir yang diperingati dua hari
berturut-turut di Kota Batu, Jawa Timur, pada 2-3 Desember lalu, benar-benar
terasa istimewa.
Perayaan khidmat, haru,
dan jenaka mengisi alun-alun Kota Batu yang dikelilingi pemandangan indah:
gunung, langit cerah, tanaman hijau asri, dan udara sejuk. Pantas saja Munir
amat membanggakan Kota Batu, tempat ia lahir dan dibesarkan, serta hendak
menghabiskan masa tuanya di Kota Batu.
Minggu pagi, peringatan
dimulai dengan kegiatan ziarah ke makam Munir. Menyanyikan lagu kebangsaan
”Indonesia Raya”, menaikkan bendera Merah Putih, dan menurunkan bendera hitam
pertanda duka. Ziarah ini ditutup dengan doa oleh putra Munir, Soultan Alief
Allende. Alief bermunajat, ”Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada para pembunuh
Abah Munir untuk sadar dan mau mengakui perbuatannya.”
Dalam orasi budayanya,
Goenawan Mohamad mengatakan, jika Munir masih ada, barangkali ia sudah meraih
Nobel Perdamaian dunia. Budayawan lainnya melukis spontan, menyemprot
kaus-kaus peserta dengan wajah Munir. Djaduk Ferianto tampil dalam
pertunjukan musik yang mengkritik sikap negara yang tak menuntaskan kasus
Munir.
Sketsa Munir yang diwarnai
ribuan pelajar sekolah dasar se- Kota Batu telah terpampang di sudut-sudut
kota. Pembaca puisi kenamaan Sitok Srengenge menciptakan puisi mengenang
Munir, cinta dan keadilan yang diperjuangkannya.
Duta
Universal
Semua yang pernah bekerja
bersama Munir pasti terkesan. Ia sangat aktif, cepat geraknya, tajam
analisisnya, tak pernah bosan membantu orang-orang yang butuh pertolongannya,
tak kenal lelah, apalagi takut. Pemimpin besar NU, KH Abdurrahman Wahid,
pernah berkata, ”Saya belajar banyak
dari Munir. Kerjanya Munir itu, ya, menolong orang.” Sementara pemimpin
besar Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menulis: ”Munir itu duta universal Islam.”
Dalam kesaksian itu Munir
menjadi sosok manusia biasa, sama seperti kita. Kelebihannya adalah menjadi
humanis sekaligus berjiwa resi karena satunya kata dan tindakan. Profetik!
Ungkapan Gus Dur dan Buya
Maarif membuat saya berpikir, mungkin ini yang membuat SBY dalam kapasitasnya
sebagai presiden menyatakan penyelesaian kasus Munir adalah ”the test of our history”, ujian
sejarah bangsa ini! Nah, apakah dalam ujian ini Bapak Presiden sudah lulus?
Saya terpukau oleh
keterlibatan para budayawan yang diprakarsai pelukis Kota Batu, Koeboe
Sarawan, dan budayawan Butet Kartaredjasa. Begitu pula dengan kehadiran Djoko
Pekik, Nasirun, Ong Harry Wahyu, Alit Ambhara, serta seniman, perupa, dan
budayawan lain yang datang jauh-jauh dari Yogyakarta, Jakarta, hingga
Bandung.
Sebuah momen berharga
untuk memaknai Munir lewat ungkapan-ungkapan seni dan kebudayaan. Itu
terlihat dari gambar- gambar yang telah diwarnai oleh pelajar-pelajar SD
se-Kota Batu.
Munir itu sosok yang
menyukai seni, lukis ataupun musik. Saya beberapa kali melihat Munir
mengoleksi lukisan, termasuk diajaknya membeli karya teman senimannya. Saya
tanya, berapa harganya, Cak? ”Terserah
saja, berapa yang kita pikir pantas menilainya.”
Munir bayar tanpa menawar.
Nominalnya besar. Waktu itu saya masih berstatus relawan, batal membeli
lukisan yang begitu saya sukai karena khawatir jika dinilai tidak menghargai
karya lukis. Setelah akhirnya dapat gaji pun, belum bisa membeli lukisan
dengan harga yang pantas.
Mengapa Munir suka seni?
Hidup Munir sendiri penuh karisma etik dan karakter estetik. Tajam, lugu,
lugas, dan jenaka. Seperti karya seni, hidup Munir berwarna-warni. Ia
menyukai seni bukan sekadar medium ekspresi atau kesenangan diri akan sesuatu
yang indah. Munir percaya, seni itu menyimpan energi besar yang dapat
mencerahkan, membebaskan, bahkan melahirkan perubahan sosial.
Dalam membela orang-orang
hilang, Munir terinspirasi sekali perjuangan Amerika Latin. Di sana, banyak
bukti sejarah tentang peran seni dan budaya dalam perubahan sosial atau
revolusi di dunia. Dari kota Buenos Aires di Argentina, Caracas di Venezuela,
seperti di Paris, Perancis, atau kota Kairo, Mesir, di musim semi Arab.
Mungkin ke depan, dari prakarsa Kota Batu saat ini akan lahir satu revolusi.
Tak harus fisik, tetapi yang utama mengubah cara pandang, revolusi epistemik.
Perubahan, kata Munir, tak cukup dengan menjatuhkan diktator, tetapi mengubah
cara pandang hidup kita sebagai bangsa.
Seperti seni, Munir
menghargai beragam pandangan berbeda. Seperti Munir, seni tak hendak
bermaksud memberikan jawaban pasti. Di sini, ia menjadi suatu cara mengajukan
pertanyaan, yang disebut oleh Butet sebagai gerakan ”debt collector cultural”, menagih utang kasus Munir dengan cara
berbudaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar