Membenahi
Kurikulum di Sekolah Kita
Agus Wibowo ; Penulis buku dan magister pendidikan UNY
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Desember 2012
UPAYA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud)
mengubah kurikulum pendidikan nasional baru-baru ini patut diapresiasi
positif. Rupanya, Kemendikbud mulai menyadari bahwa kurikulum pendidikan kita
sarat masalah. Benar jika dikatakan aneka kebijakan memperbaiki kurikulum
sudah dilakukan, tetapi kesannya sekadar tambal sulam. Karena sarat masalah,
tidak mengherankan jika proses pendidikan dan kualitas lulusan juga tak
jarang bermasalah. Bahkan, terjadinya krisis kepemimpinan, korupsi, tindakan
amoral, tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, degredasi karakter, dan
sebagainya, menurut sebagian besar ahli pendidikan, diduga akibat kegagalan
kurikulum itu.
Selama ini, para pemangku kebijakan pendidikan sering
mengabaikan kurikulum. Mereka sering menganggap kurikulum sebagai sesuatu
yang tidak penting dalam institusi pendidikan. Di tingkat pusat, sering
terjadi para penyusun kurikulum diambil bukan dari ahlinya. Karena aspek
politis, seorang lulusan pertanian, kehutanan, atau peternakan, misalnya,
diangkat menjadi tim pembuat kurikulum nasional. Sementara mereka yang ahli
kurikulum, lulusan dari jurusan pendidikan, justru disingkirkan.
Kepala dinas
tata kota dan permakaman diangkat menjadi kepala dinas pendidikan!
Kurikulum dalam arti sempit, menurut Suharsimi Arikunto
(2008), berupa jadwal pelajaran dan semua pelajaran, baik teori maupun
praktik yang ditentukan kepada anak didik selama mereka mengikuti proses
pendidikan tertentu. Dalam arti luas, kurikulum adalah semua pengalaman yang
diberikan sekolah kepada anak didik selama mengikuti pendidikan. Begitu
pentingnya kurikulum, sampai-sampai Leurie Brady (1993) mengibaratkannya
sebagai jantung pendidikan.
Kurikulum yang dirancang berdasarkan kajian filosofis yang
mendalam, kemudian diaplikasikan dengan manajemen yang efektif, kata Brady,
akan menghasilkan pendidikan yang efektif dan berkualitas pula. Sebaliknya,
jika kurikulum disusun tanpa kajian filosofis, tidak menyentuh akar
permasalahan, tanpa strategi manajemen yang efektif, dan hanya mengafirmasi
kepentingan golongan, kelompok, dan ideologi tertentu akan menghasilkan
proses pendidikan yang amburadul. Pendidikan dengan kurikulum demikian tidak
jarang menghasilkan output penyebab masalah (problem makers).
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apa saja kesalahan
fundamental dalam kurikulum pendidikan kita? Bagaimana strategi jitu
memperbaiki--bukan hanya tambal sulam--kurikulum kita agar gayut dengan
dinamika perubahan zaman dan output-nya tidak menjadi penyebab masalah? Minim
kompetensi?
Menurut Husaini Usman (2012), keterampilan dasar di
sekolah kita saat ini berupa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), atau read, write, arithmetics (3Rs), belum cukup menjadi bekal anak
didik menghadapi aneka tantangan zaman. Benar ketika bangsa ini tengah
beranjak keluar dari era penjajahan, keterampilan itu amat dibutuhkan
-lebih-lebih di negara-negara berkembang. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman dan dinamika keindonesiaan, beberapa keterampilan dasar yang diajarkan
itu dirasa belum cukup.
Oleh karena itu, Husaini Usman, dengan mengutip buku
Bernie Trilling and Charles Fadel, 21
Century Skill: Learning for Life in Our Times (2009), menyarankan
kurikulum sekolah yang ideal yaitu sesuai konteks bangsa ini. Sebuah
kurikulum yang diharapkan mampu menjadi solusi persoalan pendidikan serta
problem krusial bangsa ini. Seperti apa kurikulum sekolah ideal di masa depan
itu?
Pertama, kurikulum harus mengajari anak untuk berpikir
kritis dan mampu menyelesaikan masalah. Pengetahuan diawali dengan adanya
rasa keingintahuan anak didik. Anak didik tidak menerima begitu saja semua
informasi, tetapi juga mengkritisi.
Selanjutnya anak didik diberi kesempatan untuk berdebat
dan berdiskusi secara ilmiah. Perlu diperhatikan bahwa diskusi yang dilakukan
bukan model debat kusir, bukan debat yang merendahkan fisik seseorang sebagai
ciptaan Tuhan, bukan pula debat yang menyerang pribadi seseorang. Agar anak
didik tidak mudah putus asa, mereka perlu dibekali cara menyelesaikan
masalah.
Kedua, kurikulum harus mengajari anak didik untuk kreatif
dan inovatif. Kreatif adalah menemukan sesuatu yang benar-benar baru.
Contohnya, pembelajaran aktif, lagu-lagu baru, lukisan-lukisan baru, dan
tulisan-tulisan baru. Inovasi adalah memodifikasi sesuatu yang sudah ada.
Misalnya, Kijang Kapsul menjadi Kijang Innova, atau pembelajaran aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Belajar dari bangsa Jepang, di
sana maju karena sumber daya manusianya kreatif dan inovatif walaupun sumber
daya alamnya minus, bahkan tergolong miskin.
Bagaimana cara merangsang agar anak didik menjadi kreatif
dan inovatif? Tentu saja guru dituntut memberikan pelajaran kepada anak didik
dengan sedemikian rupa agar mereka reaktif dan inovatif. Motivasi anak didik
agar selalu berpikir keluar dari kebiasaan berpikir umum.
Ketiga, kurikulum harus mengajarkan anak untuk bekerja
sama, kerja tim, dan kepemimpinan. Abad ke-21 ini memerlukan manusia-manusia
yang mampu bekerja sama, memiliki keteram pilan sosial, juga peduli sosial
dan lingkungan.
Dalam kerja tim, menurut Deddy Supriadi & Fasli Jalal
(2002), dibutuhkan prinsip team work
atau together (kebersamaan), empathy (peka terhadap perasaan orang
lain), assist (membantu orang
lain), maturity (kedewasaan), willingness (kemauan), organization (teratur), respect (hormat atau sopan santun),
dan ET kind (berbaik hati). Sebagai
praktik nyata, guru hendaknya mencontohkan bagaimana bekerja sama yang baik
dengan orang lain.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain agar
orang lain mampu mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan secara efektif
dan efisien. Setiap manusia, termasuk anak didik, adalah pemimpin, minimal
memimpin dirinya sendiri. Guru dalam hal ini hendaknya memberikan contoh
kepemimpinan yang efektif dengan ciri-ciri minimal: jujur, berani, tablig,
amanah, cerdas, kompeten, komitmen, visioner, dan pemberi ilham (inspiratif).
Keempat, kurikulum harus memberikan pemahaman mengenai
keragaman kebudayaan. Indonesia merupakan negara dengan beragam kebudayaan.
Misalnya, budaya Batak berbeda dengan budaya Jawa, berbeda dengan budaya
Sunda, Bugis, dan Minang. Guru harus mendidik siswa untuk memiliki kesadaran,
menghormati, menghargai, dan mencintai keberagaman budaya tersebut.
Kelima, kurikulum harus mengajari anak didik keterampilan
berkomunikasi, menyerap informasi, dan melek media. Komunikasi disebut
efektif jika pesan atau pertanyaan yang disampaikan secara lisan, tulis, dan
bahasa tubuh diterima oleh penerima pesan sesuai dengan harapan pemberi
pesan.
Informasi adalah kekuasaan. Siapa yang paling banyak
informasi, ia akan berkuasa dan akan memenangi persaingan. Singapura,
misalnya, merupakan negara yang kaya informasi sehingga ia unggul di bidang
bisnis.
Keenam, kurikulum mengajari anak didik akan komputerisasi
dan melek teknologi komunikasi dan informasi (information and technology communication/ICT). Barang siapa tidak
bisa menggunakan komputer dan gagap ICT dapat dipastikan akan ketinggalan
jaman.
Namun, anak didik perlu diingatkan agar dalam
mempergunakan ICT tidak semua informasi bisa diakses. Anak didik juga harus
memiliki filter dalam diri agar mampu menyaring informasi secara tepat.
Ketujuh, kurikulum hendaknya membina karier dan
menumbuhkan rasa percaya diri anak didik. Karier anak didik hendaknya
disiapkan sejak dini. Sejak awal, anak didik diminta para guru untuk
menyebutkan keinginan karier yang akan mereka raih kelak. Tanyakan kepada anak
didik, kelak mereka mau jadi apa?
Setelah mengetahui cita-cita anak didik kelak, para guru harus terus
memotivasi anak didiknya untuk terus belajar dan berusaha sekuat tenaga
mengejar impiannya tersebut. Kemudian guru berkewajiban mendidik, mengajar,
melatih, membimbing, menilai, dan mengevaluasi anak didik tersebut sesuai
dengan minat bakat, dan perkembangan usianya.
Sekali lagi, kurikulum ideal di sekolah masa depan,
sebagaimana telah diuraikan, diharapkan menjawab persoalan pendidikan dan
kebangsaan.
Tentu saja kurikulum itu tidak bisa terwujud tanpa ada kerja sama yang tersinergi antarkomponen pendidikan di sekolah; kepala sekolah, pengawas sekolah, guru, anak didik, tenaga kependidikan, tenaga administrasi dan tata usaha, komite sekolah, dan masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar