Beda Djuanda,
SBY, dan Cicip
M Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA;
Dewan Pembina Kesatuan
Nelayan Tradisional (KNTI)
|
SINAR
HARAPAN, 19 Desember 2012
Meski
minim mendapat perhatian, penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara layak
digunakan sebagai momentum reflektif politik kelautan dan perikanan nasional.
Bermula dari Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957,
Indonesia secara sepihak mengumumkan kepada dunia internasional bahwa
Kepulauan Indonesia tidak dapat dipisahkan oleh laut. Harapannya ke depan,
laut tidak hanya menjadi ruang juang, tapi sekaligus sebagai ruang hidup
bangsa.
Pada 10 Desember 1982, melalui pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), dunia pun
mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karena itu, sesuai Pasal 49
Ayat 2 UNCLOS 1982, Indonesia sewajarnya berdaulat untuk ruang udara di atas
perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan
yang terkandung di dalamnya.
Ironinya, setelah 55 tahun pasca-dikumandangkannya
Deklarasi Djuanda, kedaulatan kita di laut justru semakin tidak terasa.
Beda SBY
Mari kita tengok di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal-kapal ikan berbendera Indonesia jamak menggunakan nakhoda dan pekerja
asing. Bahkan, di antara mereka, ada yang mempekerjakan hingga 99 persen Anak
Buah Kapal (ABK) asing dan hanya 1 persen ABK Indonesia. Karenanya, Indonesia
terus merugi.
Setiap hari, ratusan palkah ikan yang ditangkap dari
Perairan Natuna bebas didaratkan di Thailand maupun negara tetangga lain.
Dengan begitu, kekayaan sumber daya perikanan nasional gagal dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengatasi hal tersebut, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melalui Instruksi Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan
terhadap Nelayan telah memberi perintah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif Cicip Sutardjo; yakni untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan
ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal,
Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak
(destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Anehnya, dengan sepengetahuan Menteri Cicip pula, di
antara kapal-kapal yang melakukan tindak pidana perikanan, dibebaskan. Merasa
mendapat perlindungan dari pejabat negara, kejahatan perikanan ini pun
"menular dan menjamur" di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia (WPP).
Di hilir, investasi perikanan melonjak hingga 230
persen pada kurun tiga tahun terakhir. Sebanyak 99 persen di antaranya
merupakan Penanaman Modal Asing.
Sayangnya untuk periode yang sama, industri pengolahan
ikan hanya mampu menyediakan kurang dari 250.000 tenaga kerja. Di antara
faktor penyebabnya adalah ekspor perikanan masih berupa produk non-olahan,
menggunakan bahan baku impor, dan praktik transhipment.
Inilah industrialisasi perikanan ala Presiden SBY dan
Menteri Cicip. Berseberangan dengan semangat Deklarasi Djuanda. Tidak justru
menguatkan kedaulatan kita di laut dengan memaksimalkan modalitas sumber daya
manusia dan sumber daya alam nasional. Sebaliknya, dengan mudah dan murah
menyerahkan kedaulatan pengelolaan laut kita kepada asing dengan kedok
Industrialisasi Perikanan.
Mengembalikan Kejayaan
Tepat di Hari Nusantara, 13 Desember lalu, Serikat
Nelayan Teluk Palu menyelenggarakan Kongres V dengan tema "Melindungi
Laut dengan Konsolidasi Nelayan".
Dijelaskan, tema tersebut menjangkar pada pengalaman
empirik keluarga nelayan; yakni setelah eksis satu dekade terakhir, nelayan
yang tergabung dalam SNTP justru merasakan, peran pemerintah semakin tidak
maksimal dalam melindungi sumber daya laut untuk (sebesar-besar)
kesejahteraan nelayan maupun rakyat pada umumnya.
Ini ditandai dengan pembiaran penggunaan alat tangkap
merusak, perluasan konversi (baca: reklamasi) ekosistem pesisir untuk kawasan
perhotelan, perniagaan, dan permukiman mewah; maupun belakangan dengan
maraknya kegiatan pertambangan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.
Olehnya, wujud kecintaan terhadap Tanah Air (termasuk
keluarga) harus dioperasionalkan dalam memperkuat organisasi nelayan. Secara
sadar, langkah ini dimaksudkan untuk melengkapi upaya negara dalam membatasi
atau bahkan menghentikan perluasan perampasan sumber daya kelautan dan
perikanan (Ocean-grabbing) di Indonesia.
Sektor kelautan dan perikanan sepatutnya menjadi solusi
berdaulat nan membanggakan. Menjembatani kesejahteraan bagi rakyat, dengan
menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan pekerjaan, bahkan
tempat tumbuh-kembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan khas Indonesia.
Bukan sebaliknya, menyuburkan kepentingan asing! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar