Kamis, 20 Desember 2012

Beda Djuanda, SBY, dan Cicip


Beda Djuanda, SBY, dan Cicip
M Riza Damanik ;  Sekretaris Jenderal KIARA;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI)
SINAR HARAPAN, 19 Desember 2012



Meski minim mendapat perhatian, penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara layak digunakan sebagai momentum reflektif politik kelautan dan perikanan nasional.
Bermula dari Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia secara sepihak mengumumkan kepada dunia internasional bahwa Kepulauan Indonesia tidak dapat dipisahkan oleh laut. Harapannya ke depan, laut tidak hanya menjadi ruang juang, tapi sekaligus sebagai ruang hidup bangsa.

Pada 10 Desember 1982, melalui pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), dunia pun mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karena itu, sesuai Pasal 49 Ayat 2 UNCLOS 1982, Indonesia sewajarnya berdaulat untuk ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Ironinya, setelah 55 tahun pasca-dikumandangkannya Deklarasi Djuanda, kedaulatan kita di laut justru semakin tidak terasa.

Beda SBY

Mari kita tengok di Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Kapal-kapal ikan berbendera Indonesia jamak menggunakan nakhoda dan pekerja asing. Bahkan, di antara mereka, ada yang mempekerjakan hingga 99 persen Anak Buah Kapal (ABK) asing dan hanya 1 persen ABK Indonesia. Karenanya, Indonesia terus merugi.
Setiap hari, ratusan palkah ikan yang ditangkap dari Perairan Natuna bebas didaratkan di Thailand maupun negara tetangga lain. Dengan begitu, kekayaan sumber daya perikanan nasional gagal dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengatasi hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan terhadap Nelayan telah memberi perintah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo; yakni untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

Anehnya, dengan sepengetahuan Menteri Cicip pula, di antara kapal-kapal yang melakukan tindak pidana perikanan, dibebaskan. Merasa mendapat perlindungan dari pejabat negara, kejahatan perikanan ini pun "menular dan menjamur" di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPP).

Di hilir, investasi perikanan melonjak hingga 230 persen pada kurun tiga tahun terakhir. Sebanyak 99 persen di antaranya merupakan Penanaman Modal Asing.
Sayangnya untuk periode yang sama, industri pengolahan ikan hanya mampu menyediakan kurang dari 250.000 tenaga kerja. Di antara faktor penyebabnya adalah ekspor perikanan masih berupa produk non-olahan, menggunakan bahan baku impor, dan praktik transhipment.

Inilah industrialisasi perikanan ala Presiden SBY dan Menteri Cicip. Berseberangan dengan semangat Deklarasi Djuanda. Tidak justru menguatkan kedaulatan kita di laut dengan memaksimalkan modalitas sumber daya manusia dan sumber daya alam nasional. Sebaliknya, dengan mudah dan murah menyerahkan kedaulatan pengelolaan laut kita kepada asing dengan kedok Industrialisasi Perikanan.

Mengembalikan Kejayaan

Tepat di Hari Nusantara, 13 Desember lalu, Serikat Nelayan Teluk Palu menyelenggarakan Kongres V dengan tema "Melindungi Laut dengan Konsolidasi Nelayan".

Dijelaskan, tema tersebut menjangkar pada pengalaman empirik keluarga nelayan; yakni setelah eksis satu dekade terakhir, nelayan yang tergabung dalam SNTP justru merasakan, peran pemerintah semakin tidak maksimal dalam melindungi sumber daya laut untuk (sebesar-besar) kesejahteraan nelayan maupun rakyat pada umumnya.

Ini ditandai dengan pembiaran penggunaan alat tangkap merusak, perluasan konversi (baca: reklamasi) ekosistem pesisir untuk kawasan perhotelan, perniagaan, dan permukiman mewah; maupun belakangan dengan maraknya kegiatan pertambangan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.

Olehnya, wujud kecintaan terhadap Tanah Air (termasuk keluarga) harus dioperasionalkan dalam memperkuat organisasi nelayan. Secara sadar, langkah ini dimaksudkan untuk melengkapi upaya negara dalam membatasi atau bahkan menghentikan perluasan perampasan sumber daya kelautan dan perikanan (Ocean-grabbing) di Indonesia.

Sektor kelautan dan perikanan sepatutnya menjadi solusi berdaulat nan membanggakan. Menjembatani kesejahteraan bagi rakyat, dengan menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan pekerjaan, bahkan tempat tumbuh-kembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan khas Indonesia. Bukan sebaliknya, menyuburkan kepentingan asing! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar