Kamis, 20 Desember 2012

Politikus Tanpa Idealisme


Politikus Tanpa Idealisme
Ali Rif’an ;  Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda
SUARA KARYA, 19 Desember 2012
  

Salah satu fenomena mengkhawatirkan yang menimpa jagat politik Tanah Air saat ini adalah semakin hilangnya politikus idealis. Data yang dirilis Sekretaris Kabinet Dipo Alam, beberapa waktu lalu barangkali bisa dijadikan buktinya. Dipo menyebutkan, dalam kurun Oktober 2004 hingga September 2012, terdapat 176 pejabat negara tersandung korupsi.
Mereka rata-rata dari partai politik (parpol), yakni dari Partai Golkar 64 orang (36,36 persen), PDIP 32 orang (18,18 persen), Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), PPP 17 orang (9,65 persen), PKB 9 orang (5,11 persen), PAN 7 orang (3,97 persen), dan PKS 4 orang (2,27 persen).
Itulah, banyak orang menganggap parpol saat ini telah mengidap penyakit 'amnesia'. Parpol telah lupa dengan fungsi dan tujuan pembentukannya. Sebab, salah satu fungsi dibentuknya partai politik - meminjam istilah begawan politik Miriam Budiardjo (2000) - adalah sebagai sarana rekruitmen politik (political recruitment).
Kualitas politikus amat ditentukan oleh kualitas parpol. Parpol merupakan 'ruang' di mana para politikus itu ditempa dan digembleng. Ibarat bengkel, parpol berfungsi membenahi kader-kader yang masih 'bengkok' supaya lurus garis ideologi dan perjuangannya.
Parpol memiliki posisi sangat penting dalam era demokrasi seperti sekarang. Schattscheider (1942) bahkan menyebutnya sebagai political parties created democracy karena partai politiklah sebetulnya yang menentukan ke mana arah demokrasi itu berlabuh. Tapi, ketika parpol - sebagai bengkel kader sekaligus penentu arah demokrasi - juga mengalami 'kerusakan' karena tidak lagi mampu menjalankan fungsinya, maka 'malapetaka' akan segera menimpa dunia politik.
Alih-alih menjadi sarana bagi kesejahteraan rakyat, parpol justru akan menjadi 'bencana' bagi rakyat. Inilah yang kemudian menyebabkan politikus tuna-idealisme semakin tumbuh-subur di negeri ini karena parpol sudah kehilangan tajinya.
Tidak Siap
Sebenarnya, selain karena kegagalan parpol, penyebab dari tumbuh-suburnya politikus tuna-idealisme adalah masalah ketidaksiapan. Ungkapan Anies Baswedan (2010) bahwa syarat penting seorang pejabat publik harus sudah 'selesai dengan dirinya' agaknya menemui relevansinya di sini.
Artinya, seseorang ketika hendak menjadi pejabat publik harus sudah selesai dari sisi finansial dan aspek intelektual. Dari segi finansial, ia tidak lagi memikirkan berapa gaji yang akan didapat dari posisi jabatannya itu karena ia sudah berkecukupan.
Sementara dari segi intelektual (pengalaman), ia bukanlah gelas kosong. Ia memiliki track record yang cukup sehingga secara mental memang sudah siap, tidak lagi gagap. Sebab, kehadiran pemimpin itu dituntut untuk mampu menyirami, bukan malah ingin disirami. Ibarat ember, ia telah terisi air penuh dan karena penuh, ia ingin memberikan air itu kepada orang lain yang membutuhkan.
Secara lebih ekstrim, Plato (427-347) bahkan memandang posisi seorang pemimpin (politikus-idealis) seyogianya terdiri dari golongan 'manusia kepala'. Plato pernah membagi manusia dalam tiga golongan. Pertama, golongan 'manusia kepala', yakni terdiri dari para filsuf, pemikir, cendekiawan atau orang-orang bijak.
Kedua, golongan 'manusia dada' yang terdiri dari orang-orang teknokrat, militer, polisi, jaksa, ataupun hakim. Ketiga, golongan 'manusia perut', yakni terdiri dari para pebisnis, konglomerat, pedagang, selebriti, dan orang-orang yang selalu berpikir untung rugi.
Dalam pandangan Plato, golongan 'manusia kepala' adalah mereka yang mengganggap bahwa kebahagiaan tertingggi adalah ketika bisa menciptakan sesuatu (penemuan) dan bermanfaat bagi orang banyak. Ia mempunyai idealime yang terus diperjuangkan. Ia tidak lagi memikirkan untung rugi ataupun jabatan sebagai pemuas kebahagiaan.
Jabatan baginya tak lebih hanya sekadar sarana untuk melakukan suatu perubahan bagi orang banyak. Dalam dunia politik, golongan 'manusia kepala' ini bisa disematkan kepada para politikus-negarawan.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif (2009), politikus-negarawan adalah sosok pemimpin yang bersedia larut untuk membela kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan lain yang lebih kecil. Politikus-negarawan lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa daripada ego kelompok, partai, maupun ego pribadi. Politikus-negarawan bukan 'manusia perut' yang menjadikan fulusiologi sebagai pandangan sekaligus tujuan hidupnya. Ia juga bukan 'manusia dada' yang memiliki faham kursiologi sebagai sesuatu yang terus diperjuangkan.
Politikus-negarawan adalah mereka yang selalu menghadirkan keteladanan, keteguhan, pemikiran, watak dan sikap yang membuat mereka dihargai di masyarakat.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, politikus-negarawan adalah mereka yang selalu berpikir tentang bagaimana Indonesia ke depan, bukan bagaimana pemilihan umum ke depan. Mereka orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani bangsa.
Sebut saja, sosok seperti Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Malaka. Mereka merupakan tipe politikus-negarawan yang bukan saja rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara, tetapi juga mencurahkan segala pikirannya untuk kemajuan bangsa. Mereka adalah golongan 'manusia kepala' yang - tentu saja - tidak tuna-idealisme. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar