Politikus
Tanpa Idealisme
Ali Rif’an ; Peneliti
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda |
SUARA
KARYA, 19 Desember 2012
Salah satu fenomena
mengkhawatirkan yang menimpa jagat politik Tanah Air saat ini adalah semakin
hilangnya politikus idealis. Data yang dirilis Sekretaris Kabinet Dipo Alam,
beberapa waktu lalu barangkali bisa dijadikan buktinya. Dipo menyebutkan,
dalam kurun Oktober 2004 hingga September 2012, terdapat 176 pejabat negara
tersandung korupsi.
Mereka rata-rata dari partai
politik (parpol), yakni dari Partai Golkar 64 orang (36,36 persen), PDIP 32
orang (18,18 persen), Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), PPP 17 orang
(9,65 persen), PKB 9 orang (5,11 persen), PAN 7 orang (3,97 persen), dan PKS
4 orang (2,27 persen).
Itulah, banyak orang menganggap
parpol saat ini telah mengidap penyakit 'amnesia'. Parpol telah lupa dengan
fungsi dan tujuan pembentukannya. Sebab, salah satu fungsi dibentuknya partai
politik - meminjam istilah begawan politik Miriam Budiardjo (2000) - adalah
sebagai sarana rekruitmen politik (political recruitment).
Kualitas politikus amat ditentukan
oleh kualitas parpol. Parpol merupakan 'ruang' di mana para politikus itu
ditempa dan digembleng. Ibarat bengkel, parpol berfungsi membenahi
kader-kader yang masih 'bengkok' supaya lurus garis ideologi dan
perjuangannya.
Parpol memiliki
posisi sangat penting dalam era demokrasi seperti sekarang. Schattscheider
(1942) bahkan menyebutnya sebagai political parties created democracy karena
partai politiklah sebetulnya yang menentukan ke mana arah demokrasi itu
berlabuh. Tapi, ketika parpol - sebagai bengkel kader sekaligus penentu arah
demokrasi - juga mengalami 'kerusakan' karena tidak lagi mampu menjalankan
fungsinya, maka 'malapetaka' akan segera menimpa dunia politik.
Alih-alih
menjadi sarana bagi kesejahteraan rakyat, parpol justru akan menjadi
'bencana' bagi rakyat. Inilah yang kemudian menyebabkan politikus
tuna-idealisme semakin tumbuh-subur di negeri ini karena parpol sudah
kehilangan tajinya.
Tidak Siap
Sebenarnya,
selain karena kegagalan parpol, penyebab dari tumbuh-suburnya politikus
tuna-idealisme adalah masalah ketidaksiapan. Ungkapan Anies Baswedan (2010)
bahwa syarat penting seorang pejabat publik harus sudah 'selesai dengan
dirinya' agaknya menemui relevansinya di sini.
Artinya, seseorang ketika hendak
menjadi pejabat publik harus sudah selesai dari sisi finansial dan aspek
intelektual. Dari segi finansial, ia tidak lagi memikirkan berapa gaji yang
akan didapat dari posisi jabatannya itu karena ia sudah berkecukupan.
Sementara dari segi intelektual
(pengalaman), ia bukanlah gelas kosong. Ia memiliki track record yang cukup sehingga secara mental memang sudah siap,
tidak lagi gagap. Sebab, kehadiran pemimpin itu dituntut untuk mampu
menyirami, bukan malah ingin disirami. Ibarat ember, ia telah terisi air
penuh dan karena penuh, ia ingin memberikan air itu kepada orang lain yang
membutuhkan.
Secara lebih
ekstrim, Plato (427-347) bahkan memandang posisi seorang pemimpin
(politikus-idealis) seyogianya terdiri dari golongan 'manusia kepala'. Plato
pernah membagi manusia dalam tiga golongan. Pertama, golongan 'manusia
kepala', yakni terdiri dari para filsuf, pemikir, cendekiawan atau
orang-orang bijak.
Kedua, golongan
'manusia dada' yang terdiri dari orang-orang teknokrat, militer, polisi,
jaksa, ataupun hakim. Ketiga, golongan 'manusia perut', yakni terdiri dari
para pebisnis, konglomerat, pedagang, selebriti, dan orang-orang yang selalu
berpikir untung rugi.
Dalam pandangan
Plato, golongan 'manusia kepala' adalah mereka yang mengganggap bahwa
kebahagiaan tertingggi adalah ketika bisa menciptakan sesuatu (penemuan) dan
bermanfaat bagi orang banyak. Ia mempunyai idealime yang terus diperjuangkan.
Ia tidak lagi memikirkan untung rugi ataupun jabatan sebagai pemuas
kebahagiaan.
Jabatan baginya
tak lebih hanya sekadar sarana untuk melakukan suatu perubahan bagi orang
banyak. Dalam dunia politik, golongan 'manusia kepala' ini bisa disematkan
kepada para politikus-negarawan.
Meminjam istilah Ahmad Syafii
Maarif (2009), politikus-negarawan adalah sosok pemimpin yang bersedia larut
untuk membela kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan
negara secara keseluruhan, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan lain
yang lebih kecil. Politikus-negarawan lebih mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa daripada ego kelompok, partai, maupun ego pribadi.
Politikus-negarawan bukan 'manusia perut' yang menjadikan fulusiologi sebagai
pandangan sekaligus tujuan hidupnya. Ia juga bukan 'manusia dada' yang
memiliki faham kursiologi sebagai sesuatu yang terus diperjuangkan.
Politikus-negarawan
adalah mereka yang selalu menghadirkan keteladanan, keteguhan, pemikiran,
watak dan sikap yang membuat mereka dihargai di masyarakat.
Dalam konteks kekinian dan
kedisinian, politikus-negarawan adalah mereka yang selalu berpikir tentang
bagaimana Indonesia ke depan, bukan bagaimana pemilihan umum ke depan. Mereka
orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani bangsa.
Sebut saja, sosok seperti
Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Malaka. Mereka merupakan
tipe politikus-negarawan yang bukan saja rela berkorban demi kepentingan
bangsa dan negara, tetapi juga mencurahkan segala pikirannya untuk kemajuan
bangsa. Mereka adalah golongan 'manusia kepala' yang - tentu saja - tidak
tuna-idealisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar