Rabu, 18 April 2012

Stroke dalam Pendidikan Kita


Stroke dalam Pendidikan Kita
Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan; Menetap di Semarang
SUMBER : KOMPAS, 18 April 2012



Sekolah Dasar Angkasa Halim IX, Jakarta Timur, akhirnya menarik lembar kerja siswa Ceria untuk kelas II SD yang berisi cerita tentang ”istri simpanan”. Pihak sekolah mengaku kecolongan. Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa materi pelajaran yang beredar itu tidak bisa dikontrol oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena diselenggarakan oleh satuan pendidikan masing-masing.

Pihak-pihak terkait telah cuci tangan, tetapi cerita ini baru dimulai. Bilamana pendidikan di Indonesia dianggap sebagai satu sistem yang beroperasi optimal, perlu ditanyakan: manakah unsur yang mengalami malafungsi? Jika malafungsi ini tidak dicermati, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana prospek pendidikan Indonesia ke depan?

Falsifikasi Praktik Pendidikan

Kasus lembar kerja siswa (LKS) Ceria yang berisi cerita ”istri simpanan” itu sebetulnya hanya contoh dari cermin retak sistem pendidikan yang selama ini berjalan di Indonesia. Tulisan ini memperlihatkan cermin retak itu melalui pemikiran induktif untuk sampai pada esensi sehingga argumentasinya tidak disebut mengada-ada.

Secara induktif, istilah ”istri simpanan” itu hanya ditulis sekali dalam karangan yang panjangnya sekitar 75 kata tersebut. Karangan itu berbentuk cerita di bawah judul ”Bang Maman dari Kali Pasir”, dalam rangka penyampaian materi tentang Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) di halaman 30.

Cerita diawali niat Bang Maman menikahkan anaknya, Ijah, dengan Salim. Pertimbangannya, Salim memperoleh warisan yang besar berupa tanah luas dari sang bapak bernama Darto. Setelah menikah, Salim tertipu oleh Kusen. Modusnya adalah menjual semua tanah dan membawa lari uang hasil jualan. Akhirnya Salim tidak memiliki apa-apa.

Melihat Salim jatuh miskin, Bang Maman menyuruh Ijah agar bercerai. Ijah tidak mau. Karena itu, Bang Maman memiliki ide. Dia menyuruh Patme mengaku sebagai istri simpanan, kemudian mendatangi Ijah. Setelah pertengkaran terjadi, akhirnya Ijah dan Salim bercerai.

Secara teknis, alur cerita ini tak mencerminkan tahapan-tahapan yang bisa dipahami anak umur delapan tahun. Pembabakan dalam cerita itu sederhana, tetapi sarat konflik. Bukti lain, pertimbangan warisan dalam perjodohan adalah perwujudan dari visi orangtua tentang kekayaan pada masa datang. Sementara itu, bagi anak akan mengalami kesulitan untuk menilai kekayaan itu dari sebidang tanah.

Tema yang diangkat tidak mencerminkan pemikiran perseptif anak-anak. Psikologi perkembangan Jean Piaget memetakan tahap kognitif anak umur 7-8 tahun sebagai peralihan dari logika praoperasional menuju operasional konkret. Misalnya, anak mulai mampu menyusun kategori benda-benda, mengurutkan, dan menghitung secara sederhana. Secara sosial, anak masih berpikir secara egosentris sehingga belum mampu melakukan empati terhadap orang lain.

Relevansi teori terhadap kasus itu, anak mungkin bisa memahami pernikahan, tetapi sulit memahami tujuan dasar perkawinan. Anak juga sulit memahami sebab-musabab perceraian secara pasti, apalagi ketika disodorkan kasus rumit.

Satu-satunya ciri budaya lokal Jakarta adalah sebutan ”Bang” dalam Bang Maman dan lokasi Kali Pasir. Unsur lain, seperti perceraian, nama, dan kejahatan yang dilakukan bisa terjadi di mana saja.

Bercermin dari analisis di atas, betapa pengarang kurang mampu melihat tahapan-tahapan psikologis anak dan gagal menyuguhkan cerita yang memadai. Narasi untuk anak yang berisi pesan tertentu sesungguhnya memiliki karakter yang berbeda. Maksudnya, cerita-cerita berat bukannya tidak bisa diungkapkan dalam cerita, melainkan itu perlu teknik penceritaan yang sepadan dengan perkembangan psikologis pembaca.

Kompetensi yang Terawasi

Di sinilah pentingnya fungsi pembaca ahli dalam pemeriksaan materi. Dengan begitu, pengarang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Namun, dalam banyak praktik, para ahli yang dinilai kompeten di tengah-tengah masyarakat tidak bekerja memeriksa, tetapi memberikan komentar di halaman belakang. Komentar itu disertai foto, gelar akademik, dan imbauan untuk memiliki buku tersebut. Kompetensi dalam pendidikan diwujudkan sebagai pemanis, pembungkus, atau sekadar pamer otoritas untuk menakut-nakuti.

Fakta di atas menunjukkan, sistem pendidikan nasional yang sudah ada selama ini tak memiliki mekanisme yang memadai untuk melakukan pengawasan hingga titik koma materi pelajaran. Jika dirunut secara legal formal, pemerintah tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ini.

Secara jelas, UUD 1945, khususnya Pasal 31 dan Pasal 32, membebankan kualitas penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah. Tentang sistem penyelenggaraan nasional ini telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Rinciannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut diterangkan tentang garis-garis pokok penyusunan kurikulum. Hal itu diperjelas lagi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 saat merinci standar kurikulum di Indonesia. Salah satu bunyi kurikulum kewarganegaraan dan kepribadian adalah mengutamakan ”hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, kesetaraan jender, demokrasi, dan tanggung jawab sosial” (Sumber: BSNP, 2006).

Mekanisme perundang-undangan itu memperlihatkan urutan-urutan isi kurikulum, tetapi mengabaikan pengawasan terhadap proses penyusunan materi. Satu-satunya pengawasan yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan garis-garis besar pengajaran. Pengawasan itu selesai di luar pagar sekolah karena sekolahan dilindungi oleh mekanisme Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Mekanisme itu memberikan wewenang terhadap satuan pendidikan yang mengadakan materi sesuai sumber daya lokal.

Melihat uraian di atas, tidak sulit untuk menyatakan bahwa pengawasan pendidikan di Indonesia selama ini cukuplah diterjemahkan dalam bentuk pemenuhan administratif. Materi-materi pelajaran disusun berdasarkan proyek dan tujuannya adalah laku di sekolah.

Ketika UU membebankan pemerintah agar bertanggung jawab pada angka dan aksara yang dibaca siswa, pada saat yang sama pemerintah gagal menjangkau peredaran materi pelajaran di sekolah. Pemerintah seperti menderita stroke ketika harus bergerak di lapangan. Idealisme pendidikan Indonesia hanya hidup di UU, tetapi mati di gerbang sekolah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar