Rabu, 18 April 2012

Menjaga Hutan ASEAN


Menjaga Hutan ASEAN
Dinna Wisnu, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SUMBER : SINDO, 18 April 2012



Penebangan hutan secara sembarangan, pengalihan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata guna wilayah, keterlibatan mafia serta ketidakberdayaan negara ketika berhadapan dengan perusahaan besar yang ingin memperluas lahan usaha adalah “lagu lama”.

Jika ditilik ke belakang, bahkan sejak awal 1980-an telah diidentifikasi kadar keseriusan problem ini.Tidak hanya Indonesia yang berteriak soal ini. Negara tetangga di ASEAN yang terbilang kaya akan hutan seperti Filipina dan Malaysia juga menghadapi masalah serupa. Baru-baru ini Malaysia dipusingkan dengan laporan penebangan hutan di kawasan Sarawak meningkat pesat.

Tingkat penebangan hutan di Sarawak 3,5 kali lebih pesat dibandingkan di seluruh negara Asia.Kepulauan Filipina dulu semuanya merupakan hutan dan hutannya sekarang cuma tersisa 35%. Jadi, skala hilangnya hutan dan fungsi-fungsi penunjang lingkungan hidup sangat memprihatinkan. Di Amerika Latin dan Afrika pun penggundulan hutan merupakan masalah serius.

Menurut illegal-logging.info, di Nigeria dan Ghana hanya tersisa 10% hutan dan di Honduras tinggal separuh. Harus disadari hilangnya hutan ini terjadi bersamaan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara-negara ini. Dengan membuka hutan,diharapkan ada lahan pekerjaan yang tersedia bagi penduduk setempat, ada masyarakat dan pebisnis yang mengecap untung, adapemerintahdaerahyangmenerima retribusi dari perdagangan dan pengolahan hasil hutan, adapabrik-pabrikpengolahan hasil hutan yang terbentuk sehingga terciptalah pembangunan.

Yang tidak diperhitungkan adalah skala keuntungan yang jauh lebih besar jika pengelolaan hutan tadi tidak dilaporkankepadanegaradanjika hasil-hasil hutan tadi diselundupkan. Dalam penelitian yang saya lakukan bersama rekan- rekan Universitas Indonesia( 2010),adaoknummiliterdan dinas kehutanan yang diuntungkan juga dari bisnis hitam ini. Yang dihadapi di sini adalah masalah multidimensional. Pertama, pengelolaan hutan yang salah.

Kedua, lemahnya penegakan hukum.Ketiga,menggiurkannya bisnis hitam di bidang ini. Keempat, terjadinya kejahatan lintas batas negara dan yang secara khusus ingin saya bahas kali ini adalah lemahnya skema kerja sama antarnegara, khususnya di ASEAN, untuk mengatasi masalah itu. Pada 13 Agustus 1981 di Jakarta, pernah terbentuk konsensus antarnegara ASEAN (di tataran menteri ekonomi) untuk membuat kebijakan kehutanan bersama se-ASEAN.

Beberapa di antaranya disepakati adanya upaya bersama menjaga sumber daya hutan, melakukan reboisasi, serta mengembangkan program, strategi, dan rencana penggunaan lahan hutan yang ramah lingkungan, tetapi punya nilai sosial ekonomi yang tinggi. Pada 1993, ada kesepakatan di tingkat menteri untuk memadukan pengelolaan pangan, pertanian,dan kehutanan demi menjaga pasokan pangan di kawasan ini, mendukung perdagangan intra-ASEAN, mendorong pengembangan dan transfer teknologi,

mengembangkan komunitas desa, melibatkan sektor swasta dan investor, mengelola sumber daya alam, serta memperkuat kerja sama ASEAN dalam mengatasi masalah regional. Hal ini ditegaskan lagi dalam pertemuan tingkat tinggi di Kuala Lumpur pada 15 Desember 1997. Dari sana,terbentuklah Rencana Aksi Strategis untuk kerja sama ASEANdibidangpangan,pertanian, dankehutanan(1999–2004 dan 2005–2010).Waktu itu dibentuklah kelompok kerja yang memantau kegiatan di ASEAN, bahkan terbentuk pula ASEAN Australia Development Cooperation Programme.

Tiap Rencana Aksi selalu didukung rekomendasi dan kesepakatan ulang antarmenteri. Pada 6 Oktober 2011, muncul pernyataan pers dari temu menteri ASEAN tentang pengelolaan hutan dan pertanian yang terpadu di ASEAN. Ironisnya, sampai sekarang pun, meskipun sudah didukung perjanjian yang demikian banyaknya, negara-negara ASEAN belum bisa keluar dari kemelut problem hutan yang begitu pelik.

Berikut ini kenyataan yang luput dari penanganan di ASEAN. Pertama, pemberantasan dan pembatasan pembalakan hutan menyangkut wewenang internal tiap negara ASEAN; bahkan dalam banyak kasus menyangkut wewenang pemerintah daerah.Dengan prinsip nonintervensi, ASEAN sulit bergerak menegakkan komitmen itu, apalagi hal ini terkait pembersihan sistem dari oknum busuk.

Kedua, skema-skema ASEAN masih terbatas pada inisiatif mengembangkan sistem kerja bersama untuk mengelola hutan.Tidak ada upaya membahas pengembangan bisnis bersama dari produk-produk hasil hutan. Padahal, sudah bukan rahasia lagi bahwa penebangan hutan adalah bisnis yang paling cepat mendatangkan untung dengan investasi yang sangat minim. Apalagi setelah menebang hutan, lahannya masih bisa dipakai untuk mendatangkan untung lain yang relatif cepat, yakni jika ditanami kelapa sawit.

Kita tidak mungkin menahan naluri kapitalisme dengan imbauan moral. Sadarilah bahwa pembukaan hutan tidak menjamin lapangan kerja yang layak.Diplomasi di sektor ini sebaiknya tidak terpaku pada pengelolaan kawasan hutan, tapi juga mengangkat pengembangan bisnis dari hasil-hasil hutan. Harus ada upaya bersama untuk membangun sentrasentra usaha dan unit bisnis yang meningkatkan nilai tambah produk hutan.

Misalnya dengan membangun pabrik kertas, pabrik mebel,pabrik sabun, pabrik kosmetik dan produkproduk turunan sawit lainnya, yang punya standar tinggi di ASEAN, ditopang lembaga penelitian yang mempekerjakan peneliti dari berbagai negara di ASEAN dan dikelola seperti model franchise di kawasan ASEAN. Kita harus mulai lebih berani berpikir bahwa ASEAN memang satu.

Asal ada pembagian tugas tentang keahliankeahlian yang menopang usaha bersama tersebut,semua negara di ASEAN pasti puas. Ketiga, penangananhutanini tidak bisa hanya melibatkan satu atau dua saja. Semua menteri yang relevan harus diundang untuk terlibat. Bahkan, perlu dipikirkan mekanisme dialog antarpemerintah daerah di ASEAN. Kenyataannya, dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi, ada pemilik wewenang yang cenderung membangkang.

Maka, ajaklah mereka dan berilah ruang supaya dalam perjalanan pengharmonisan kebijakan tidak menjadi penghambat. Contoh konkretnya adalah ketika berbicara tentang konsep perdagangan karbon dan green economy. Sampai sekarang pemerintah daerah menganggap kedua hal tersebut isapan jempol belaka dan mereka tak punya bahan untuk menghadapi penduduk yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan bagus bila pembalakan diberantas dan perusahaan atau oknum pemerintah yang nakal ditindak tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar