Senin, 23 April 2012

Makin Tersisihnya Pendidikan Karakter


Makin Tersisihnya Pendidikan Karakter
Hadi Priyanto, Penulis Buku Kartini Pembaharu Peradaban, Kabag Humas Setda Jepara
SUMBER : SUARA MERDEKA, 23 April 2012



"Perlu kembali memikirkan, mengusahakan sungguh-sungguh agar Kartini ditempatkan sebagai teladan bagi anak kita"

BERTANYALAH kepada wanita di seputar Anda, atau kalau wanita bertanyalah kepada diri sendiri. Apa yang akan Anda katakan ketika diminta menjelaskan tentang RA Kartini. Saya yakin Anda akan mengatakan, ia pahlawan emansipasi, lahir di Jepara, 21 April 1879, anak seorang bupati, pernah dipingit, menikah dengan bupati Rembang, punya seorang anak, dan meninggal dalam usia muda. Selebihnya Anda ragu, atau bahkan tidak tahu

Padahal yang dilakukan Kartini demikian luar biasa. Ia bukan hanya berjuang membebaskan  perempuan bumiputra dari belenggu adat yang berabad-abad mengikat kaki dan tangannya melainkan juga persamaan hak, dan itu sebuah pintu besar untuk membangun peradaban bangsa bumiputra, utamanya wanita.

Agar pintu besar itu bisa terbuka, Kartini mengajukan konsep pendidikan yang dituangkan dalam nota bertajuk ’’Berilah Orang Djawa Pendidikan’’. Nota itu dikirim ke Pemerintah Belanda melalui Menteri Seberang Lautan Mr AWF Idenburg yang sedang menyusun undang-undang baru kolonial. Nota itu menjawab pertanyaan tertulis Mr J Slingenberg, staf khusus Idenburg.

Pada bagian awal, Kartini menegaskan pentingnya konsep pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada kecerdasan otak tapi sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti. Kecerdasan pikiran yang tinggi belum merupakan jaminan mutlak untuk keluhuran budi. Bahkan tanpa pembentukan budi pekerti, pengajaran yang baik tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan.

Siapakah yang menurut Kartini paling bertanggung jawab membentuk budi pekerti luhur? Di samping sekolah, menurut dia, alam sendirilah yang  menunjuk perempuan untuk melaksanakan kewajiban besar itu. Di pangkuan ibu, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, dan berbicara. ’’Tangan ibulah yang pertama melekatkan benih kebaikan dan kejahatan dalam diri manusia,’’ tulisnya dalam nota itu.

 Makin Tersisih


Gagasan, pokok pikiran, dan konsep pendidikan Kartini kini makin tersisih oleh gemerlap teknologi. Termasuk saat kita memperingati kelahirannya yang ke-133, tahun ini. Terasa  ada kegersangan dan pendangkalan makna yang hanya memberikan ruang bagi kegembiraan seremonial yang kurang berarti.

Adapun usaha menumbuhkan anak-anak ideologis Kartini yang memiliki budi pekerti dan akhlak luhur makin jauh panggang dari api. Jalur pendidikan yang menjadi salah satu pemegang peran utama dalam upaya pewarisan juga tak bisa banyak berbuat. Alasannya, beban kurikulum yang sangat berat membuat guru IPS dan PPKn hanya sempat mengajarkan bahwa RA Katini adalah pahlawan emansipasi dan seterusnya. Kartini belum ditempatkan sebagai teladan dan anutan.

Pendidikan budi pekerti yang sekarang dikenal sebagai pendidikan karakter tidak diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri namun terintegrasi pada semua mata pelajaran, yang efektivitasnya bisa saja dipertanyakan. Selain itu, materi diberikan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan penciptaan budaya di sekolah, dengan menempatkan guru di garda depan sebagai teladan. Ironisnya, tidak semua guru mampu menjadi teladan bagi anak didiknya.

Aktivis organisasi wanita juga sibuk dengan berbagai kegiatan menikmati buah manis perjuangan RA Kartini. Ironisnya yang diingat hanya tiap tanggal 21 April ia harus mengenakan kebaya, upacara,  atau bakti sosial. Adapun upaya melakukan upaya pewarisan yang lebih esensial  dengan memperkaya khasanah pustaka, dialog, dan seminar tentang nilai-nilai kejuangan Kartini menjadi  barang yang makin langka.

Mungkin perlu kembali memikirkan, bagaimana mengusahakan secara sungguh-sungguh agar RA Kartini ditempatkan sebagai teladan bagi anak-anak kita. Bukan semata karena ia memperoleh  anugerah sebagai  pahlawan emansipasi melainkan yang lebih penting adalah memahami mengapa ia mendapatkan anugerah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar