Selasa, 17 April 2012

Konvensi vs Survei Capres


Konvensi vs Survei Capres
Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI  
SUMBER : SINDO, 17 April 2012



Benar, memang, dalam UUD 1945 Pasal 6A disebutkan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol.

Walhasil, menurut konstitusi hanya parpollah yang berhak mengusulkan capres dan cawapres dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Di luar parpol, demikianlah ketentuan dalam konstitusi kita, tidak ada pintu selain parpol untuk pengajuan capres dan cawapres.

Selanjutnya,Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Pasal 10 ayat (1) menegaskan bahwa ”Partai-partai politik dalam penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden harus dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.”

Walhasil, meski partai-partai politik memiliki otonomi dalam proses penentuan capres sesuai dengan mekanisme internal masing-masing partai, proses dan mekanisme itu sendiri tetaplah harus dilakukan secara demokratis dan terbuka. Parpol memang akhirnya diberi hak eksklusif untuk mengajukan capres. Syaratnya adalah parpol-parpol harus demokratis dan membuka diri.

Sayangnya hal ini tidak pernah terjadi. Parpol-parpol belum bersedia membuka akses yang luas bagi calon perseorangan untuk ikut dalam proses penentuan calon dalam dan atau melalui parpol. Partai Golkar adalah satu-satunya parpol yang pernah melaksanakan prinsip demokrasi dan keterbukaan ini melalui mekanisme konvensi calon presiden pada tahun 2004 untuk pertama kalinya—dan sekaligus yang terakhir kalinya— dalam sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia.

PascakepemimpinanAkbar Tandjung, konvensi tidak pernah diselenggarakan. Kepemimpinan Partai Golkar 2004–2009 menolak secara kategoris penyelenggaraan konvensi capres.Demikian juga halnya kepemimpinan Partai Golkar 2009–2015 juga kurang antusias dengan konvensi. Sementara parpol-parpol yang lain tidak pernah ada satu pun yang melaksanakannya.

Ironisnya dan sekaligus anehnya, para pengamat dan masyarakat politik Indonesia mendesakkan penyelenggaraan konvensi capres hanya kepada Partai Golkar semata.Tak mengherankan jika Partai Golkar kemudian juga tidak bersemangat untuk merespons desakan tersebut. Desakan hanya kepada Golkar adalah tidak adil dan sulit untuk dimengerti. Pasalnya,keharusan demokrasi dan keterbukaan adalah kewajiban bagi semua parpol.

Konvensi: Tidak Cukup Demokratis

Konvensi yang diselenggarakan Partai Golkar tahun 2004 memang menimbulkan antusiasme politik yang sangat besar.Tapi dalam perspektif kepentingan Golkar sendiri terbukti gagal: capres hasil konvensi Partai Golkar gagal terpilih sebagai presiden dalam Pemilihan Umum Presiden 2004. Bahkan hanya berhasil menduduki posisi nomor tiga setelah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla dan Megawati Sukarnoputri- Hasyim Muzadi.

Dalam konteks ini,argumen bagi para pendukung konvensi menjadi sangat lemah. Konvensi hanyalah ibarat kepakan burung merak yang hanya berhasil mengundang decak kekaguman internal dan eksternal,tetapi tidak produktif bagi kemenangan Partai Golkar sendiri. Mekanisme konvensi yang pernah digelar oleh Partai Golkar tahun 2004 memang bagus, tetapi sejatinya tidak melibatkan partisipasi rakyat secara luas dan karena itu jujur saja secara ideal tidakterlalu demokratis.

Pasalnya yang terlibat dalam konvensi capres Partai Golkar tersebut adalah dan hanyalah kalangan internal Golkar sendiri, yaitu para pemilik suara yang terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar,Depan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar, DPD II Partai Golkar,dan organisasi- organisasi yang mendirikan dan didirikan Partai Golkar.

Walhasil, sebenarnya tidak terlalu terbuka dan demokratis dalam pengertian melibatkan suara publik yang lebih luas melintasi kepengurusan Partai Golkar sendiri. Memang konvensi capres dilakukan secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh hampir semua media televisi nasional, bahkan beberapa media asing.Tapi pemilik suara adalah dan hanyalah para pengurus partai semata. Dalam konteks dan perspektif ini,argumen penolakan konvensi capres cukup kuat dan masuk akal.

Survei: Lebih Terbuka dan Demokratis

Dalam kaitan ini, sebagai partai yang mengklaim dirinya partai pembaharuan dan pembangunan serta partai gagasan (the party of ideas), Golkar harus mencari mekanisme baru dalam penentuan capres Partai Golkar. Pilihan mekanisme survei saya rasa adalah pilihan baru yang lebih prospektif. Untuk apa melakukan konvensi capres kalau toh ternyata tidak cukup terbuka dan demokratis sebagaimana yang diisyaratkan Pasal 6A UUD 1945 dan tidak cukup mengakomodasi UU No 42 Tahun 2008?

Apalagi secara praktis konvensi kemudian ternyata tidak mengantarkan kemenangan Partai Golkar dalam pilpres. Maka dari itu mekanisme survei adalah alternatif baru yang jauh lebih terbuka dan demokratis. Pasalnya, survei melibatkan publik yang jauh lebih luas dan representatif berdasarkan sampling sehingga justru lebih memenuhi aspek keterbukaan dan demokrasi. Survei adalah mekanisme yang paling logis dan realistis bagi Partai Golkar untuk dilakukan dalam rangka menjaring dan menyeleksi capresnya.

Tinggal kini persoalannya adalah survei yang seperti apa yang perlu dilakukan? Survei adalah mekanisme jajak pendapat untuk mengukur popularitas dan elektabilitas seorang capres.Tentu, hasil survei bukan jaminan bahwa seorang capres akan terpilih dalam pemilu.Tapi hasil survei setidaknya memberikan gambaran yang mendekati kenyataan realitas preferensi politik publik pada suatu waktu.

Survei sebagai alat ukur akan popularitas dan elektabilitas seorang calon adalah instrumen yang cukup andal untuk mengetahui tingkat elektabilitas seorang capres dan sangat meyakinkan.Mekanisme survei lebih terbuka dan demokratis dibandingkan mekanisme konvensi seperti yang dilakukan Partai Golkar pada 2004.

Ala kulli hal, desakan untuk melaksanakan konvensi tidak memiliki alasan yang cukup kuat. Survei justru lebih bisa diandalkan! Tentu saja, survei yang benar-benar dilakukan secara akademis dengan metodologi yang sempurna oleh lembaga-lembaga survei yang kredibel dan mempunyai reputasi meyakinkan. Manis, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar