Selasa, 17 April 2012

Gagalnya Penyederhanaan Parpol


Gagalnya Penyederhanaan Parpol
Jeffrie Geovanie, Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem)
SUMBER : SINDO, 17 April 2012



Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (12/4/2012) antara lain menyetujui Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD untuk disahkan pemerintah.

Perubahan yang paling banyak menyulut perdebatan dan menyita perhatian publik adalah ketentuan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang akhirnya disepakati 3,5% dan berlaku secara nasional. Naik 1% dibandingkan ketentuan sebelumnya.

Sementara ketentuan-ketentuan lain yang juga krusial pada umumnya seperti yang diterapkan pada Pemilu 2009 di antaranya sistem proporsional terbuka, alokasi jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan untuk DPR sebanyak 3-10 kursi dan DPRD 3-12 kursi, serta metode penghitungan suara atau konversi suara menjadi kursi dengan sistem kuota murni (hare quote).

Banyak kalangan menilai, UU Pemilu yang baru ini masih jauh dari sempurna dan kurang aspiratif karena PT ditetapkan secara nasional akan meniscayakan hilangnya ribuan atau bahkan jutaan suara pemilih, juga gagal menjadi alat yang efektif untuk menyederhanakan partai politik.

Keniscayaan Penyederhanaan Parpol

Setelah proses transisi yang sudah terjadi sejak Mei 1998, hal yang harus dilakukan adalah proses pelembagaan politik. Semua lembaga politik harus diorientasikan untuk mendukung penguatan pelembagaan demokratisasi. Di antara lembaga-lembaga politik yang paling memiliki peran strategis adalah partai politik (parpol).

Parpol yang secara kelembagaan berwenang mengajukan nama-nama kandidat yang hendak menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga demokrasi. Parpol bahkan berhak mengajukan kader-kadernya duduk di lembaga legislatif (DPR), eksekutif (presiden-wakil presiden, kepala daerahwakil kepala daerah), dan yudikatif (sebagian hakim konstitusi).

Karena peranannya yang sangat strategis itu,kehidupan kepartaian harus ditata agar selaras dengan semangat pelembagaan demokratisasi.Penataan yang dimaksud bukan untuk membatasi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ketentuan konstitusi, melainkan untuk menerapkan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi parpol agar bisa mengikuti pemilu.

Penerapan syaratsyarat itu antara lain untuk membatasi jumlah parpol. Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah parpol yang berhak mengikuti pemilu masih terlalu banyak. Karena banyak parpol yang harus dipilih, selain membingungkan, pilihan rakyat juga menjadi terpencar- pencar ke dalam banyak parpol sehingga tak ada satu pun yang berhasil mendapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50%).

Karena banyak partai yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPR, lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan tingkat multipolaritas yang tinggi. Padahal pemerintahan kita menganut sistem presidensial yang artinya kepala pemerintahan berada di tangan presiden yang meniscayakan presiden mampu meredam, atau setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan DPR agar pemerintahan bisa berjalan efektif.

Sejatinya, untuk mengefektifkan jalan pemerintahan, Presiden diberi sejumlah hak prerogatif sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.Tetapi setelah dilakukan amendemen konstitusi, ada beberapa hak prerogatif yang hanya bisa ditempuh dengan pertimbangan atau persetujuan DPR. Untuk mengangkat dan memberhentikan menteri yang secara mutlak menjadi kewenangan Presiden pun pada faktanya banyak menteri yang harus diangkat atau diberhentikan dengan persetujuan pimpinan parpol.

Karena multipolarisasi kekuatan parpol di DPR, dalam menjalankan pemerintahan Presiden harus berkoalisi dengan sejumlah parpol untuk memenuhi kebutuhan suara mayoritas. Tetapi, meskipun koalisi sudah dibangun, pada praktiknya masih ada parpol anggota koalisi yang tidak patuh dan menghambat laju pemerintahan.

Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang paling realistis adalah menaikkan PT untuk menyederhanakan (memperkecil) jumlah parpol dan—yang lebih penting— untuk membuka peluang lahirnya parpol peraih suara mayoritas yang mendukung Presiden. Dengan demikian, Presiden tidak perlu lagi tersandera dalam koalisi.

Implikasi Kegagalan

Dengan menetapkan PT 3,5%,upaya untuk menyederhanakan parpol tidak terpenuhi. Pengalaman tiga pemilu (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan, masih cukup banyak parpol yang meraih suara di atas 3,5%. Apa implikasi dari kegagalan penyederhanaan parpol ini? Pertama, jelas pasca-Pemilu 2014 lembaga legislatif masih akan tetap dipenuhi para politikus yang berasal dari beragam parpol.

Artinya akan tetap terjadi multipolarisasi yang sarat perdebatan (tanpa ujung) dalam setiap pembahasan RUU atau tugas-tugas lainnya. Kedua,Presiden akan tetap tersandera oleh kekuatan-kekuatan parpol yang ada di lembaga legislatif. Presiden akan “dipaksa” untuk tetap membangun koalisi yang dalam praktiknya sarat dengan tawarmenawar politik yang cenderung mengabaikan etika dan kesantunan dalam berpolitik.

Ketiga, konsolidasi internal parpol juga akan terhambat dengan penetapan PT yang rendah karena peluang untuk berdirinya parpol-parpol baru yang memungkinkan ikut pemilu tetap terbuka lebar. Berbeda misalnya jika PT ditetapkan 5-10%, siapa pun yang akan mendirikan parpol baru (terutama yang disebabkan karena kecewa terhadap partai-partai yang ada) akan berpikir seribu kali. Dengan tidak mudahnya mendirikan parpol baru (untuk ikut pemilu), sumber daya para politisi akan terfokus pada upaya-upaya untuk memperbaiki parpol yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar