Kejujuran,
Kebijaksanaan, dan Keadilan
Ign Ridwan Widyadharma, Advokat, Dosen Etika Profesi Hukum S-1 Undip
dan Unika Soegijapranata, serta mata kuliah Bantuan Hukum dan Penyantunan
Terpidana S-2
Untag Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 17 April 2012
HUKUM tidak dapat
mengucilkan diri dari keadilan yang diharapkan. Fakta yang berkembang,
masyarakat merasakan bahwa keputusan hukum saat ini makin menjauh dari rasa
keadilan. Kita tentu masih ingat kasus nenek Minah asal Banyumas yang diganjar
hukuman 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan atas
tuduhan mencuri tiga biji kakao.
Menkumham (waktu itu) Patrialis Akbar berkomentar mestinya penegak hukum punya prinsip kemanusiaan, bukaN hanya menjalankan hukum secara positivistik. “Vonis itu sangat memalukan,” kata dia (detik.com, 20/11/09). Ironisnya kakao itu sebenarnya ditanam di atas lahannya, yang kemudian dikelola oleh PT Rumpun sari Antan sehingga sebenarnya nenek berusia 55 tahun itu tidak mencuri karena kakao itu tumbuh di atas lahan miliknya.
Demikian juga kasus pencurian sandal jepit oleh remaja berinisial AAL (15) di Palu. Dia dituduh mencuri sandal jepit Briptu Ahmad Rasdi Harahap, personel Polda Sulawesi Tengah. Dalam putusannya, hakim PN Palu menyebutkan sandal yang diperkarakan oleh polisi itu ternyata bukan miliknya. Namun tetap saja pengadilan memutus terdakwa bersalah, terbukti mengambil barang yang bukan miliknya (SM, 05/01/12)
Penadilan Negeri Palu memang tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, tetapi hakim tetap menyatakan AAL bersalah terbukti mencuri sehingga sang pengadil memberikan cap pencuri. Hukuman itulah yang kemudian dianggap oleh banyak pihak sebagai putusan yang tidak mengedapankan nurani dan menunjukkan keangkuhan hakim.
Makna Hukum
Kasus sandal jepit di Palu seharusnya ’’diperluas’’ supaya bisa mengartikan istilah ’’kepunyaan orang lain’’ sebagaimana disyaratkan Pasal 362 KUHP. Pendapat Prof Dr Gayus Lumbuun SH yang menyatakan kasus itu memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP karena mengambil benda bukan miliknya, mendapat reaksi keras dari pegiat perlindungan anak. Seandainya demikian, berarti pemulung cilik yang mengumpulkan botol plastik dari tempat sampah bisa dipidana karena barang yang diambilnya bukan miliknya.
Perlu menguji pendapat itu guna memperjelas makna hukum perihal ’’milik orang lain’’ mengingat KUHP tidak secara jelas memberi arahan mengenai pengertian itu. Dalam konteks ini, penegak hukum wajib menerapkan kebijaksanaan dalam hukum demi keadilan.
Prof Koo Tjay Sing pernah berpendapat ada benda-benda bergerak yang belum pernah dimiliki seseorang, misalnya ikan dalam laut atau binatang buruan yang dalam literatur hukum disebut res nullius. Tetapi, kata guru besar Hukum Perdata Undip itu, ikan yang dipiara di kolam, atau binatang buruan yang dipelihara di taman, seandainya kolam atau taman itu luas sekali, ikan dan binatang buruan itu milik orang yang memeliharanya.
Ada pula benda yang sejatinya milik seseorang tetapi kemudian menjadi tidak ada pemiliknya karena orang itu telah melepaskan haknya atas benda-benda tersebut. Contohnya, benda, yang biasanya sudah tidak berharga lagi, yang dilemparkan orang dari mobil, semisal keranjang atau botol minuman. Benda-benda itu dinamakan res derelictae.
Menkumham (waktu itu) Patrialis Akbar berkomentar mestinya penegak hukum punya prinsip kemanusiaan, bukaN hanya menjalankan hukum secara positivistik. “Vonis itu sangat memalukan,” kata dia (detik.com, 20/11/09). Ironisnya kakao itu sebenarnya ditanam di atas lahannya, yang kemudian dikelola oleh PT Rumpun sari Antan sehingga sebenarnya nenek berusia 55 tahun itu tidak mencuri karena kakao itu tumbuh di atas lahan miliknya.
Demikian juga kasus pencurian sandal jepit oleh remaja berinisial AAL (15) di Palu. Dia dituduh mencuri sandal jepit Briptu Ahmad Rasdi Harahap, personel Polda Sulawesi Tengah. Dalam putusannya, hakim PN Palu menyebutkan sandal yang diperkarakan oleh polisi itu ternyata bukan miliknya. Namun tetap saja pengadilan memutus terdakwa bersalah, terbukti mengambil barang yang bukan miliknya (SM, 05/01/12)
Penadilan Negeri Palu memang tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, tetapi hakim tetap menyatakan AAL bersalah terbukti mencuri sehingga sang pengadil memberikan cap pencuri. Hukuman itulah yang kemudian dianggap oleh banyak pihak sebagai putusan yang tidak mengedapankan nurani dan menunjukkan keangkuhan hakim.
Makna Hukum
Kasus sandal jepit di Palu seharusnya ’’diperluas’’ supaya bisa mengartikan istilah ’’kepunyaan orang lain’’ sebagaimana disyaratkan Pasal 362 KUHP. Pendapat Prof Dr Gayus Lumbuun SH yang menyatakan kasus itu memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP karena mengambil benda bukan miliknya, mendapat reaksi keras dari pegiat perlindungan anak. Seandainya demikian, berarti pemulung cilik yang mengumpulkan botol plastik dari tempat sampah bisa dipidana karena barang yang diambilnya bukan miliknya.
Perlu menguji pendapat itu guna memperjelas makna hukum perihal ’’milik orang lain’’ mengingat KUHP tidak secara jelas memberi arahan mengenai pengertian itu. Dalam konteks ini, penegak hukum wajib menerapkan kebijaksanaan dalam hukum demi keadilan.
Prof Koo Tjay Sing pernah berpendapat ada benda-benda bergerak yang belum pernah dimiliki seseorang, misalnya ikan dalam laut atau binatang buruan yang dalam literatur hukum disebut res nullius. Tetapi, kata guru besar Hukum Perdata Undip itu, ikan yang dipiara di kolam, atau binatang buruan yang dipelihara di taman, seandainya kolam atau taman itu luas sekali, ikan dan binatang buruan itu milik orang yang memeliharanya.
Ada pula benda yang sejatinya milik seseorang tetapi kemudian menjadi tidak ada pemiliknya karena orang itu telah melepaskan haknya atas benda-benda tersebut. Contohnya, benda, yang biasanya sudah tidak berharga lagi, yang dilemparkan orang dari mobil, semisal keranjang atau botol minuman. Benda-benda itu dinamakan res derelictae.
Ragam pendapat itu
seharusnya bisa mengarahkan kita pada sikap dan pandangan kejujuran. Hal itu
mengingat kejujuran dalam hukum punya peran sangat penting, yang oleh Wiryono
Prasediko didefinisikan secara tekstual ’’memperhatikan
suatu kebijaksanaan yang sedapat mungkin memuaskan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat’’ (1960:47). Semuanya dapat tercapai jika kejujuran
berperan untuk mewujudkan rasa keadilan sehingga praktik penerapan suatu aturan
hukum wajib mendasarkan pada kejujuran guna memuaskan rasa keadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar