Kamis, 05 April 2012

Harga BBM dan Ambivalensi Oposisi


Harga BBM dan Ambivalensi Oposisi
Abdul Hakim MS, Direktur Riset Developing Countries Studies Center (DCSC)
Indonesia, Jakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 05 April 2012



Sejatinya, kenaikan harga BBM memang sesuatu yang tak terelakkan. Ketegangan antara Iran dan AS di Selat Hormuz telah menjadi pemicu utama meroketnya harga minyak dunia. Akibat pertikaian kedua negara, harga minyak global sampai menembus 120 dolar AS per barel. Bahkan salah satu pejabat senior perminyakan Kuwait, Ali al-Hajeri, menyatakan, jika ketegangan Iran-AS tak berhenti dalam waktu dekat, harga minyak diprediksi bakal merangkak hingga 160 dolar AS per barel.

Seiring dengan lompatan harga minyak dunia tersebut, pemerintah menjadi kelimpungan mengencangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2012. Itu dikarenakan, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2012 hanya sebesar 90 dolar AS per barel. Untuk mempersempit gap yang ada, pilihan rasional satu-satunya adalah dengan menaikkan harga BBM.

Adanya gap yang curam antara ICP dan harga minyak dunia sebenarnya sudah terjadi setahun lalu. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp 165.2 triliun pada APBN tahun 2011. Padahal, alokasi dana untuk subsidi BBM pada tahun tersebut hanya sebesar Rp 129.7 triliun. Sementara pada APBN tahun 2012, pemerintah rencananya hanya akan memberikan anggaran dana untuk subsidi BBM sebesar Rp 123,6 triliun. Namun lagi-lagi, karena harga minyak dunia tak kunjung mengempis, pemerintah diperkirakan akan mengeluarkan dana hingga Rp 178,7 triliun.

Celakanya, subsidi yang sangat besar itu ternyata tak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat miskin. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ternyata hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang mengenyamnya hanya sekitar 4 persen saja.

Merujuk kondisi di atas, tidak mengherankan apabila kemudian Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai partai oposisi, mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Saran ini ia kemukakan pada Januari 2012 lalu kala harga minyak dunia belum menyentuh level 120 dolar AS per barel. Menurut putri Bung Karno ini, konflik yang tak kunjung mereda antara AS-Iran di Selat Hormuz, akan terus menjadikan ketidakpastian harga minyak global. (tempo.co, Selasa, 12 Januari 2012)

Pengalaman sebagai presiden yang juga pernah dengan terpaksa menaikkan harga BBM karena lilitan masalah APBN, menyebabkan Megawati memahami betul apa yang sedang dihadapi oleh Presiden SBY. Dorongan agar pemerintah menaikkan harga BBM adalah solusi realistis untuk keluar dari jeratan devisit anggaran.

Menariknya, apa yang diingini Megawati tiga bulan lalu berubah ketika pemerintah betul-betul akan menaikkan harga BBM. PDI Perjuangan malah menolak keras dengan berbagai cara, mulai dari lewat pernyataan keras di media massa hingga pemajangan spanduk di jalanan. PDI Perjuangan seolah ingin menegaskan bahwa partainya adalah pendukung wong cilik.

Yang lebih menarik lagi, upaya penolakan tersebut tak cukup dengan jalur resmi, yakni melalui DPR yang memiliki akses langsung untuk membahas rencana kenaikan ini dengan pemerintah. Partai moncong putih ini juga berupaya menggunakan 'parlemen jalanan' melalui pemasangan spanduk bertuliskan penentangan terhadap kenaikan harga BBM.

Memang, kenaikan harga BBM ini merupakan isu seksi yang bisa menuai simpati publik. Akan tetapi, hal itu seyogianya tak kemudian membuat sikap berubah-ubah. Kala PDI Perjuangan telah menentukan sikap mendukung kenaikan, jangan kemudian berubah hanya karena ingin menuai simpati rakyat.

Politisasi BBM

Ambivalensi PDI Perjuangan dalam menyikapi kenaikan harga BBM ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, apakah PDI Perjuangan hanya menjadikannya sebagai ajang untuk politik pencitraan? Apakah PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai opisisi, menggunakan isu kenaikan BBM agar bisa berbeda dengan pemerintah? Ataukah, sikap mendua ini untuk kepentingan penegasan kembali bahwa mereka adalah partainya wong cilik?

Jika pertanyaan-pertanyaan itu benar, maka sikap penolakan yang dilakukan PDI Perjuangan tak lebih hanya sebagai wujud politisasi. Sikap ambivalensi bisa ditafsirkan bahwa elite PDI Perjuangan hanya menjadikan isu-isu kesulitan hidup rakyat sehari-hari untuk memenuhi hasrat politik jangka pendek mereka.

Dalam situasi seperti ini, tentu publik dituntut untuk lebih cermat dalam memilah-milah mana elite politik yang benar-benar berjuang demi rakyat dan mana elite politik yang berjuang untuk kepentingan politik mereka sendiri. Sudah saatnya, publik mengetahui bahwa sikap resisten terhadap pemerintah bukanlah ukuran valid guna menilai bahwa elite politik bersangkutan berjuang bagi kepentingan masyarakat luas. Apalagi, sikap resisten tersebut tak disertai perilaku konsisten, seperti yang terjadi di PDI Perjuangan.

Idealnya, dalam menyikapi kenaikan harga BBM, hendaklah partai politik bersikap ajek. Jika telah memandang kenaikan harga BBM sebagai sebuah keniscayaan, janganlah kemudian menelan ludah sendiri. Sudah tak zamannya lagi politik kita disertai dengan sikap 'pagi tempe sore kedelai', karena hanya menguatkan dugaan adanya politisasi semata.

Oleh karena itu, ada baiknya para politisi mulai belajar bersikap elegan. Sudah waktunya partai politik memunculkan diri sebagai wadah yang memiliki karakter. Sikap ambivalen hanya akan menghambat perkembangan demokrasi kita yang sudah mulai mapan.

1 komentar:

  1. Ya, kenaikan harga bbm sdh jadi kooditas politik Senayan. Sayangnya media televisi nasional juga sudah dimiliki oleh mereka yang mempunyai afiliasi politik dan rame2 mempolitisasi untuk kepentingan 2014.

    BalasHapus