Senin, 16 April 2012

Ancaman dari Virus BBM


Ancaman dari Virus BBM
Agus Suman, Guru Besar, Ekonom Universitas Brawijaya
SUMBER : JAWA POS, 16 April 2012


SETIDAKNYA ada tiga ancaman krisis yang berpotensi menghambat laju perekonomian nasional sepanjang 2012. Pertama, krisis global tak kunjung usai. Meskipun sudah berlangsung satu semester krisis yang dipicu kegagalan utang (debt fault) AS dan Eropa, dampak rembetannya masih dirasakan hingga kini. Langkah pemimpin Eropa dan dunia tak kunjung membuahkan hasil. Implikasinya, neraca perdagangan beberapa negara Asia defisit, termasuk Indonesia.

Kedua, krisis pangan (food) menjadi bahaya laten dunia, termasuk Asia. Melambungnya harga pangan dunia dan tingginya permintaan pangan nasional yang tidak dibarengi peningkatan produksi. Tingginya impor pangan, semakin menyusutnya lahan, dan banyaknya pemain spekulatif komoditas pangan turut merepotkan. Dan, kesejahteraan para pelakunya (welfare) mencapai titik kritis.

Petani masih menjadi kontributor terbesar kemiskinan nasional. Data BPS per Maret 2011 menyebut, 72 persen kemiskinan berasal dari masyarakat sektor pertanian. Sedih karena 57 persen warga bergantung pada sektor pertanian. Kedaulatan pangan terancam menjadi mimpi buruk; krisis pangan nasional mengetuk pintu.

Ketiga, energi (fuel), utamanya krisis minyak, mencapai titik nadir. Booming minyak 1970-an tinggal kenangan, kini kita importer. Akibatnya, bila harga minyak dunia naik, otomatis harga minyak domestik naik juga. Lagi pula, laju pemakaian minyak Indonesia sangat tinggi, mencapai delapan kali di negara penghasil minyak utama dunia, seperti Arab Saudi dan Libya.

Konkret, Konkret, Konkret

Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian nasional terombang-ambingkan oleh persoalan energi, khususnya masalah BBM. BBM merupakan musuh besar pemerintah berkuasa. Runtuhnya rezim Soeharto dipicu unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM. Kemudian, pemerintahan Gus Dur, Megawati, hingga SBY banyak dikecam gara-gara menaikkan harga BBM.

Bila dianalogikan, masalah BBM ini termasuk virus dalam perekonomian nasional yang bisa memunculkan penyakit-penyakit ekonomi dan sosial. Yakni, meningkatnya jumlah kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas; menurunnya pertumbuhan ekonomi; meningkatnya inflasi; menurunnya nilai ekspor; meningginya biaya hidup serta gulung tikarnya IKM/UKM.

Sudah banyak disebut langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk memberantas virus BBM tersebut. Tinggal dikonkretkan lebih cepat dan konsisten. Yakni, memperbaiki infrastruktur untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Yang tak bisa ditunda pula menyediakan transportasi masal publik yang aman, memadai, nyaman, dan murah bagi seluruh lapisan masyarakat. Konkretnya, penataan kebijakan sistem transportasi dan tata ruang kota, pembatasan dan pengetatan pemakaian kendaraan pribadi, menggandeng swasta dalam pembangunan transportasi publik, dan membangun kerja sama apik pusat dan daerah dalam penyediaan transportasi publik.

Yang perlu dihidupkan terus adalah mengembangkan energi terbarukan dari fosil minyak bumi menuju arah energi alternatif, seperti: gas bumi, batu bara, tenaga surya, tenaga air, energi angin, dan energi biomassa. Kita lemah karena tingginya laju pemakaian minyak yang tidak dibarengi pengembangan energi alternatif terbarukan. Merujuk data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu dan Minyak Gas Bumi (BP Migas), dalam 10 tahun belakangan realisasi produksi minyak dan kondensat turun 6 persen per tahun. Laju penurunan produksi minyak dalam lima tahun terakhir rata-rata 2 persen per tahun. Pada 2011, realisasi produksi minyak dan kondensat hanya 902.053 barel per hari (bph). Di antara produksi minyak mentah (lifting) 900 ribu bph, bagian negara hanya 600 ribu; jauh dari kebutuhan nasional minyak per hari yang mencapai 1,3 juta barrel.

Fakta Asing Kuasai Migas

Yang tak kalah strategis mengoptimalkan peran Pertamina sebagai motor produksi minyak nasional. Pertamina belum efisien dan optimal. Meski menguasai wilayah kerja terluas sebesar 38 ribu km2 (48 persen dari seluruh perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia), produksi per kilometer persegi Pertamina masih sangat rendah, hanya 0,89 bph. Kalah jauh dengan Chevron, wilayah kerja hanya 8.700 km2, produksinya 41,30 bph/km2. Begitu pula Total EP Indonesie, wilayah 3.121 km2, tetapi produksinya 28,64 bph/km2.

Argumen rendahnya laju pengurasan minyak mungkin menjadi penyebabnya selain masih tingginya biaya produksi minyak per barel Pertamina. Data 2010 menunjukkan, laju pengurasan minyak Pertamina hanya 4,46 persen, kalah jauh bila dibandingkan dengan Chevron 8,8 persen, Conoco Philips (Amerika) 55,1 persen, dan CNOOC (Tiongkok) 21,4 persen. Tak salah jika penguasaan Pertamina dalam eksplorasi minyak dan gas di Indonesia hanya 12 persen dan 5 persen. Sedangkan, penguasaan minyak dan gas perusahaan asing mencapai 70 persen dan 80 persen. Inilah tugas besar bagi Kementerian BUMN dan Pertamina untuk menjadikan Pertamina sebagai motor penggerak minyak nasional sejajar Petronas Malaysia dan Petrobas Brazil sekaligus menjadi "raja" minyak di negeri sendiri.

Terakhir, tak kalah pentingnya, pemerintah harus segera mengajukan revisi UU Migas No 22/2001 yang sangat liberal pro-asing. UU jelmaan UU kolonial Hindia Belanda, Indische Mijn Wet 1899, itu terbukti sangat merugikan Indonesia dan menguntungkan pihak asing. Imbasnya, sektor migas dari hilir-hulu dikuasai asing, cadangan minyak nasional semakin turun, dan terancamnya kedaulatan energi nasional. Oleh karena itu, pemerintah harus sigap, cepat, dan tanggap dalam memberantas virus BBM ini sehingga tidak semakin menyerang dan menularkan wabahnya terhadap ekonomi nasional. Masih bisa tangkas, kan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar