Persekusi
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 11 Juni 2017
KETIKA
kata ini mulai muncul di media massa, saya agak kaget kenapa persekusi
dikaitkan dengan gebuk-menggebuk. Bukankah mereka hanya tendang-menendang?
Saya mengira persekusi itu nama sebuah klub bola khas Indonesia, semacam
Persikota, Persekabo, Persebaya, dan Persipura.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang baru sudah mencantumkan kata persekusi. Di kamus
versi online, kata persekusi berarti: "pemburuan sewenang-wenang
terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau
ditumpas". Betapa kata itu diberi arti menakutkan, dipakai
"pemburuan" untuk orang. Bukan hewan saja yang bisa diburu, orang
atau manusia juga. Pantaslah kata yang pas dipakai untuk melawan persekusi
lebih keras lagi, semisal digebuk. Kalau dibiarkan, bangsa ini jadi barbar.
Wah, makin menakutkan istilah itu.
Bisakah
persekusi kita lawan dengan perilaku yang lebih sopan? Melawan di sini dalam
pengertian mencegah jangan sampai persekusi itu ada. Caranya, mari menulis
yang sopan di media sosial. Jangan menghina, memfitnah, atau melecehkan orang
lain, entah itu ulama atau pedagang bakso. Kalaupun ulama atau pedagang bakso
itu dulunya juga pernah menghina, ya, cukup penghinaan itu diproses hukum
saja, atau dibalas sesekali. Jangan keterusan membalas berhari-hari dan
berbulan-bulan, itu namanya dendam kesumat. Dendam apalagi pakai kesumat tak
akan ada habisnya. Sekarang menghina orang, suatu kali pasti jadi orang yang
dihina. Sekarang memfitnah, lain kali akan difitnah. Ini hukum alam di bumi
yang bulat, beda kalau bumi itu datar.
Kalau
ada orang yang masih terus main hina dan sebar fitnah, laporkan saja ke
polisi. Nah, polisi harus cepat pula tanggap. Kalau setiap pelanggaran yang
terjadi setelah dilaporkan cepat ditangani aparat hukum, syukurlah nafsu
melakukan persekusi bisa padam. Persekusi itu bisa terjadi karena masyarakat
tak puas atas cara aparat hukum menangani pengaduan. Kalau hukum macet, main
hakim sendiri (tapi dengan banyak orang) bisa jadi alternatif. Sebab, adanya
sikap skeptis terhadap penegakan hukum.
Bisakah
kita memutus mata rantai menghina dan memfitnah orang meski dengan alasan
pelampiasan dendam? ("Dulu mereka lebih kasar lo, biar kapok.")
Mari dicoba dengan mengamalkan ajaran agama bahwa memberi (dan meminta) maaf
adalah perilaku yang mulia. Lalu mulailah menulis dengan nada sopan di media
sosial. Tentu tak perlu lagi diajari bagaimana menulis sopan itu karena
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan panduannya lewat fatwa. Kurang
apa lagi para ulama itu mengayomi umatnya.
Poin
yang diharamkan dalam fatwa MUI saat menulis di media sosial begitu rinci.
Diharamkan melakukan ghibah (penyampaian informasi spesifik kepada suatu
pihak yang tidak disukai); fitnah; namimah (adu domba); penyebaran permusuhan
atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan; penyebaran hoax; serta
menyebarkan pornografi, kemaksiatan, dan masih banyak lainnya. Jika merujuk
kenyataan bahwa bangsa ini mayoritas muslim, seharusnya negeri ini bisa
tenteram dan damai. Urusan menulis di media sosial saja MUI mau membikinkan
fatwanya.
Sudah
barang tentu persekusi itu tetap dicegah dan pelakunya harus digebuk supaya
bangsa ini tidak menjadi barbar. Korban persekusi bisa trauma, apalagi jika
masih belum dewasa. Namun memadamkan persekusi dengan mematikan akarnya pasti
lebih bagus karena bibitnya tak akan tumbuh. Yang dibutuhkan adalah niat baik
dan menahan diri. Bulan Ramadan penuh berkah ini adalah momentumnya. Selamat
berpuasa sahabat muslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar