Kamu
Ketahuan...
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 10 Juni 2017
Andai kata baru kali ini DPR bersikap keras terhadap KPK,
kita barangkali mudah percaya dengan niat baik DPR. Mungkin sedikit saja yang
meragukan motif Panitia Angket DPR terhadap KPK benar-benar sebagai alat
kontrol legislatif. Namun, publik paham bagaimana hubungan DPR dan KPK selama
ini. Jadi, kita tak mudah teperdaya. Sulit untuk mengatakan tidak ada gerakan
pelemahan KPK di DPR. Soalnya, sejak DPR periode 2009-2014, agenda pelemahan
KPK terdengar santer. Paling kentara adalah wacana revisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), wacana
revisi UU KPK itu diembuskan sejak tujuh tahun lalu. Setelah Komisi Hukum DPR
mewacanakan revisi UU KPK pada Oktober 2010, lalu dilanjut dengan pengajuan
usulan Rancangan UU (RUU) KPK pada awal 2011. Bahkan, revisi UU KPK itu masuk
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun itu juga di
antara target legislasi 70 RUU.
Dalam perkara wacana revisi UU KPK ini, DPR dan publik
selalu bersimpang jalan. DPR ngotot ingin merevisi UU KPK. Sebaliknya, publik
ogah, tidak mau UU itu diubah. Begitulah hubungan rakyat dan wakilnya. Begitu
isu revisi mencuat, publik bereaksi keras.
Bayangkan, beberapa hal krusial yang menjadi senjata
pamungkas KPK dalam menjerat koruptor hendak direvisi. Misalnya, wewenang
penyadapan, kewenangan penyitaan dan penggeledahan, surat perintah
penghentian penyidikan (SP3), kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntut,
laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Bayangkan kalau wewenang
penyadapan ditiadakan, KPK pasti tidak bertaji. Barangkali tak ada koruptor
yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
Awal Februari 2012, beredar naskah revisi UU KPK, diduga
berasal dari Badan Legislasi. Ada poin-poin hilang, yakni wewenang penuntutan
hilang, penyadapan harus izin ketua pengadilan, pembentukan dewan pengawas,
penanganan kasus korupsi di atas Rp 5 miliar.
Saat itu ada tujuh fraksi (Demokrat, Golkar, PAN, PKB,
PPP, Gerindra, dan Hanura) setuju revisi UU, tetapi mentah tak berkelanjutan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan revisi UU belum tepat saatnya.
SBY mendukung KPK. Pada Oktober 2012, SBY menyatakan lebih baik meningkatkan
upaya pemberantasan korupsi ketimbang menguras energi hanya untuk melakukan
revisi. Seminggu setelah pernyataan SBY itu, Panitia Kerja (Panja) Revisi UU
KPK pun menghentikan pembahasan revisi UU tersebut. Semua fraksi pun menolak
revisi.
Pada 2014, DPR periode 2009-2014 boleh berganti, tetapi
isu revisi UU KPK tetap langgeng. Rupanya DPR militan soal ini. Agenda revisi
UU KPK pun diwariskan kepada DPR periode 2014-2019. Empat bulan setelah
Presiden Joko Widodo dilantik, isu revisi UU KPK muncul lagi. Tercantum Surat
Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Program
Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2015 yang diteken Ketua DPR Setya
Novanto.
Jokowi kemudian membatalkan rencana pemerintah membahas
revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015 pada 19 Juni 2015. ”Presiden tegaskan
tidak ada niatan untuk melakukan revisi tentang UU KPK. Itu masuk dalam
inisiatif DPR. Karena masuk inisiatif DPR, pemerintah enggak bisa
ngapa-ngapain,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno kala itu.
Wacana revisi UU KPK ini simpang siur. DPR menuding
pemerintah yang berinisiatif lewat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Karena itu, DPR sepakat revisi UU itu dimasukkan ke dalam Prolegnas prioritas
2015. Kini, DPR pun membentuk Panitia Angket DPR terhadap KPK. Tujuh fraksi
(PDI-P, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, Nasdem, Hanura) mengirimkan wakilnya.
Mungkin ini pukulan balik. Sebab, DPR tampaknya lembaga
paling sering diobok-obok KPK. Kasus-kasus besar korupsi hampir selalu
berhulu di DPR. Paling aktual adalah megakorupsi KTP elektronik (KTP-el).
Pada 2016, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan, anggota DPR dan DPRD yang
diciduk KPK sebanyak 119 orang.
Nah, dalam kasus KTP-el, Agun Gunanjar Sudarsa (Golkar)
yang kini Ketua Panitia Angket DPR terhadap KPK pernah disebut dalam dakwaan
kasus korupsi KTP-el untuk terdakwa Irman dan Sugiharto. Agun membantah akan
terjadi konflik kepentingan, tetapi ini sebetulnya seperti sengaja saling
dihadapkan (vis-a-vis).
Sejumlah anggota panitia angket pernah disebut penyidik
KPK di persidangan menekan Miryam S Haryani (Hanura), tersangka keterangan
palsu kasus KTP-el. Jadi, motifnya bisa terbacalah. Jangan-jangan ini
persoalan ”adu cepat”. Daripada terjaring KPK, lebih baik gertak duluan.
Boleh jadi banyak anggota DPR dilanda ketakutan. ”Kekuasaan itu tidak korup. Justru ketakutan yang korup, ketakutan
akan kehilangan kekuasaan,” ujar penerima hadiah Nobel Sastra 1962, John
Steinbeck (1902-1968).
Kalau begitu, benarkah revisi UU akan memperkuat KPK
seperti omongan para anggota DPR? Jadi, teringat (meminjam) lirik lagu
”Ketahuan” Matta Band yang ngehit beberapa tahun lalu: ”Dari awal aku tak pernah percaya kata-katamu... Oo kamu
ketahuan....” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar