Membumikan
Pancasila
Dadang Solihin ; Rektor Universitas Darma Persada
|
REPUBLIKA, 01 Juni 2017
Kabar tak sedap menyergap publik pada penghujung pekan
ini. Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada
pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(PDTT) serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan masih
banyaknya 'para tikus' yang menggerogoti kesejahteraan bangsa di negeri ini.
Jauh hari sebelumnya, kita dibuat mengelus dada saat mendengar kasus
megakorupsi e-KTP telah melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara.
Tidak hanya kabar seputar korupsi saja yang mengoyak rasa
kebangsaan anak negeri. Belum lama ini, kita juga mendengar kabar persoalan
ancaman disintegrasi sebagai buntut dari kegaduhan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) DKI Jakarta. Jelas terdengar adanya keinginan atau ancaman dari
sekelompok pihak di Papua dan Minahasa yang menyatakan diri ingin berpisah
setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinyatakan bersalah atas perkara
penistaan agama.
Sejalan dengan kegaduhan pilkada DKI tersebut, opini
bangsa dibuat pula terbelah ke dalam dua kutub yang saling berhadap-hadapan.
Lantas sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air, kita dibenturkan dengan
munculnya dikotomi terhadap makna Kebnekaan, anti-NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) serta radikalisme. Bahkan terjadinya ledakan bom bunuh
diri di Kampung Melayu pada pertengahan pekan kemarin menjadi tanda bahwa
gerakan radikalisme masih menjadi ancaman serius buat Indonesia.
Sesungguhnya, beragam persoalan yang telah muncul itu tak
boleh dianggap remeh. Pemerintah sudah saatnya bersikap tegas namun tetap
mengayomi. Pernyataan 'gebuk' yang disampaikan secara lisan oleh Presiden
Joko Widodo (Jokowi) telah mengindikasikan keinginan pemerintah untuk
bersikap tegas dalam mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan yang sekarang
bermunculan.
Namun perlu diingat juga, pada masa keterbukaan seperti
sekarang, mengejawantahkan kata 'gebuk' dari Presiden Jokowi itu tentunya tak
bisa diartikan dengan membenarkan lahirnya tindakan-tindakan represif ala
Orde Baru. Sebaliknya, kata 'gebuk' itu seharusnya bisa dimaknai sebagai
bentuk refleksi diri kebangsaan. Bukankah persoalan korupsi, ancaman
disintegrasi, dan radikalisme itu bisa diatasi jika seluruh anak negeri ini
bersepakat untuk menanamkan ulang nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila
yang dijadikan sebagai common platform
dalam kehidupan bernegara?
Di sinilah tantangan besarnya. Pendekatan yang sekarang
ini dimunculkan untuk merevitalisasi Pancasila dengan kondisi kekiniaan
ternyata masih sebatas sebagai jargon-jargon politik yang tak membumi.
Padahal Bung Karno dalam pidato politiknya pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945
secara jelas menyebutkan Indonesia didirikan atas sebuah dasar Kebangsaan,
mulai dari ujung Aceh sampai Irian. Bung Karno juga menegaskan bahwa negara
Indonesia bukanlah satu negara untuk satu orang atau satu golongan namun
Indonesia didirikan semua buat semua yang direpresentasikan melalui
permusyawaratan. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan di dalam Indonesia
merdeka itu tak boleh ada kemiskinan serta menegaskan bahwa Indonesia berdiri
atas dasar prinsip Ketuhanan.
Gagasan-gagasan Bung Karno itulah yang sepatutnya kita
renungkan kembali untuk menjawab beragam persoalan masa kini. Semangat
kebangsaan yang disampaikan Bung Karno itu merupakan solusi terhadap persoalan
ancaman disintegrasi bangsa. Kemudian, penegasan Bung Karno bahwa Indonesia
sebagai negara merdeka tak boleh ada yang miskin sesungguhnya menjadi
tantangan besar untuk memerangi korupsi yang sesungguhnya menjadi penyebab
masih lahirnya kemiskinan di negeri ini. Lalu prinsip ketuhanan itu sekaligus
juga menjadi jawaban terhadap masih bermunculannya pemahaman radikal.
Menghadirkan malu
Lantas darimana harus dimulai upaya untuk membumikan
nilai-nilai Pancasila yang agung tersebut? Meminjam pernyataan Plato bahwa
budi pekerti yang tinggi adalah rasa malu terhadap diri sendiri. Artinya,
menanamkan rasa malu untuk berbuat kesalahan menjadi hal paling utama untuk
menanamkan nilai-nilai yang termaktub di dalam Pancasila.
Untuk melihat keteladanan bersikap malu ini sebenarnya
kita bisa mencontoh pada masyarakat Jepang. Di Jepang menjadi sebuah aib
besar jika seorang pejabat negara melakukan praktek korupsi. Saat seorang
pejabat negara itu baru saja disebutkan namanya sebagai pihak terduga, maka
para pejabat publik itu langsung meletakkan jabatannya. Darimana sikap gentlement semacam itu tumbuh?
Jawabnya sederhana: mereka memiliki budaya malu yang sudah mengakar!
Lantas bagaimana dengan pejabat publik di negeri ini?
Budaya malu inilah yang sebenarnya masih belum mengakar di Indonesia.
Tentunya, untuk menumbuhkan budaya malu itu tak hanya terbatas pada pejabat
publik saja namun sudah seharusnya dilakukan juga oleh setiap
individu-individu yang ada di negeri ini.
Penulis percaya filosofi Plato yang menganjurkan rasa malu
terhadap diri sendiri itu bisa menjadi solusi ampuh untuk mengantarkan
Indonesia menjadi negara besar di kemudian hari. Untuk menumbuhkan budaya
malu itu, institusi pendidikan sebenarnya memiliki peran cukup penting dan
strategis.
Sebagai insititusi yang harusnya belum terkontaminasi oleh
pragmatisme kepentingan, lembaga pendidikan harusnya bisa mengelaborasikan ke
dalam proses pengajaran yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan
kontemporer. Artinya, proses pengajaran nilai itu bukan lagi bersifat text
book yang bersifat monologis. Proses penanaman nilai ini sepatutnya didorong
untuk melahirkan diskursus-diskursus kritis yang bersifat kekinian.
Setelah hadir di ruang-ruang pendidikan, budaya malu ini
harusnya di-support juga oleh para pemegang otoritas untuk berani
menghadirkan keteladanan bersikap malu layaknya para pemimpin di Jepang.
Budaya malu inilah yang harusnya digebuk lebih keras lagi oleh Jokowi karena
hal inilah yang paling fundamental untuk ditumbuhkan di Indonesia.
Rasanya, tak boleh ada kata impossible dan menyerah untuk
berani berbuat kebaikan. Penulis percaya, menanamkan budaya malu ini
sebenarnya menjadi salah satu cara membumikan Pancasila sebagai way of life sekaligus common platform
buat kehidupan berbangsa yang lebih baik di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar