Tantangan
Anies-Sandi Pasca 'El Clasico' Pilgub DKI
Otjih Sewandarijatun ; Alumnus
Universitas Udayana, Bali;
Peneliti di Center of Risk
Strategic Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta
|
DETIKNEWS, 28 April 2017
Hajatan
panjang yang melelahkan telah kita tunaikan sebagai warga negara yang baik
dengan melaksanakan rangkaian Pilkada serentak 2017 yang berlangsung di 101
daerah dengan perincian 7 Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten. Termasuk,
Pilgub DKI Jakarta yang menampilkan duel "el-clasico" antara
Ahok-Djarot vs Anies-Sandi telah berakhir, dan menurut versi quick count
dimenangkan oleh Anies-Sandiaga di kisaran 55,18%.
Banyak
kalangan memprediksi bahwa putaran kedua el-clasico akan berjalan alot,
bahkan kemenangan pun akan diraih dengan split-decision. Namun, faktanya
kemenangan Anies-Sandi diraih dengan unimous-decision atau kemenangan mutlak,
setidaknya menurut versi beberapa lembaga survei ternama dan kredibel.
Lingkaran Survei Indonesia menyebutkan pasangan Anies-Sandi mendapatkan
55,41%, sedangkan Ahok-Djarot 44,59%.
Polmark
melalui exit poll-nya menyebutkan paslon Anies-Sandi yang diusung Partai
Gerindra dan PKS serta didukung Perindo mendapatkan 56,33%, mengalahkan
Ahok-Djarot yang diusung PDIP, Nasdem, Partai Golkar, PPP baik kubu Jan Faridz
maupun Rommahurmuziy serta PKB dengan 43,67%.
Banyak
kalangan juga menilai Pilgub DKI Jakarta putaran kedua akan diwarnai
kerusuhan dengan mengacu pada informasi yang tersebar di berbagai media
sosial. Termasuk, adanya mobilisasi massa dari kalangan parpol yaitu PDIP dan
Gerindra, ataupun mobilisasi massa dari kalangan ormas seperti Banser dan GP
Ansor yang mem-back up Ahok-Djarot, dan Laskar Pembela Islam-FPI, GNPF-MUI,
Aliansi Pergerakan Islam (API) dan lain-lain yang berada di belakang Anies-Sandi.
Namun,
alhamdullilah ternyata pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua
berlangsung dengan aman dan lancar, sehingga kembali warga Jakarta pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mendapatkan deviden politik
yaitu pujian internasional terkait semakin matangnya perkembangan demokrasi
di Indonesia. Hal ini juga karena ada 25 KPU dari berbagai negara turut
memantau pelaksanaan hajatan demokrasi di Jakarta tersebut.
Masyarakat
Indonesia pada umumnya dan Jakarta khususnya juga disuguhkan dengan positive
news frame lainnya, antara lain Anies-Sandi tidak jumawa dengan kemenangan
mereka bahkan mengaku akan merangkul Ahok-Djarot. Di sisi lain, Ahok-Djarot
juga langsung menggelar jumpa pers mengakui kekalahan mereka dengan jiwa
ksatria. Bahkan, Ahok memberikan personal guarantee bahwa pendukungnya tidak
akan berbuat chaos. Ahok pun sudah bertemu dengan Anies di Balai Kota (20/4).
Fenomena atau
fakta indah tersebut jelas akan menjadi bunga rampai yang menjadi catatan
sejarah dan pembelajaran demokrasi bagi generasi muda kita, sehingga alangkah
konyolnya jika dirusak dengan beredarnya sejumlah informasi hoax yang
bertebaran di medsos.
Tantangan Anies-Sandi
Diakui atau
tidak, pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta yang menghasilkan head to head
Ahok-Djarot dengan Anies-Sandi sempat memanaskan situasi dan kondisi tidak
hanya di level daerah, namun juga di level nasional. Bahkan ironisnya
"percekcokan" karena perbedaan pilihan politik di Pilgub DKI
Jakarta konon sempat merambah ke ranah privat yaitu keluarga atau rumah
tangga.
Pertarungan
yang seru di Pilgub DKI Jakarta juga "dipanaskan" dengan adanya
serangkaian sidang penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok yang juga memicu terjadinya aksi unjuk rasa 4 November 2016, 2
Desember 2016, 31 Maret 2017 termasuk "unju rasa rutin setiap
Selasa" yang dilakukan oleh kelompok massa pro dan anti Ahok.
Rangkaian
tersebut juga dinilai berbagai kalangan telah menimbulkan segregrasi sosial
atau keretakan dan ketegangan di antara masyarakat. Atau, ekstremnya telah
terjadi pengkotak-kotakan dalam masyarakat alias muncul kubu Ahok dan kubu
anti Ahok, yang sempat mencemaskan apakah kerusuhan SARA akan mewarnai Pilgub
DKI Jakarta. Untunglah, ternyata semua kekhawatiran itu tidaklah terbukti.
Masyarakat
kita jelas semakin dewasa dalam membaca arah dan aras perkembangan politik.
Masyarakat kita juga tidak terpengaruh dengan provokasi kelompok intoleran
ataupun kelompok pembuat onar. Masyarakat juga cerdik dalam menyikapi
maraknya money politics, dan akhirnya masyarakat mampu menjaga keamanan
lingkungannya selama Pilkada serentak 2017. Inilah deviden politik yang tidak
terkira harganya dan menjadi bukti kesuksesan dan kelancaran Pilkada serentak
2017.
Tantangan bagi
Anies-Sandi adalah melakukan rekonsiliasi untuk mengeratkan kembali jalinan
kasih di antara masyarakat Jakarta agar kembali harmonis. Setelah itu,
tantangan berikutnya adalah bagaimana Anies-Sandi bisa menggunakan
kekuasaannya untuk menyejahterakan masyarakat Jakarta, terutama mereka yang
masih terbelakang.
Tugas itu
tidak ringan sebab kenyataan historis menunjukkan kebenaran premis
Montesquieu yang menyatakan, kekuasaan itu mengandung keserakahan. Setiap
penguasa cenderung untuk senantiasa memperbesar kekuasaan sampai pada
kekuasaan tanpa batas. Dan, kekuasaan tanpa batas akan menimbulkan
kesewenang-wenangan.
Tantangan
berikutnya adalah bagaimana Anies-Sandi tetap menjaga marwah demokrasi
berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan liberal apalagi berdasarkan sistem
khilafah yang saat ini sedang diperjuangkan secara taqiyah atau rahasia oleh
ideologi bermahzab transnasional di Indonesia.
Anies-Sandi
harus menjauhkan pemerintahannya dari praktik-praktik demokrasi liberal,
sebab mengacu pada Susan Mendus (2007) dalam Impartiality in Moral and
Political Philosophy, demokrasi liberal hanya menjadi cara sekelompok politik
dominan mendapatkan kekuasaan negara melalui pemilu. Selanjutnya kekuasaan
dioperasikan berdasar pada kepentingan para elit tanpa pelibatan rakyat.
Kekuasan yang berasal dari rakyat tersebut tidak dikembalikan dalam bentuk
keadilan hukum, perlindungan keamanan, dan keterlibatan merumuskan dan
melaksanakan kebijakan pembangunan.
Last but not least, Anies-Sandi tidak boleh menisbikan
pentingnya pengawasan dan kritik terhadap jalannya pemerintahan, sebab
pengawasan dan kritik merupakan keharusan dalam tatanan demokrasi sebagai
wujud akuntabilitas publik. Tidak ada demokrasi tanpa akuntabilitas, dan
tidak ada akuntabilitas tanpa pengawasan dan kritik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar