Presiden
tak Bisa Burbarkan Ormas
tanpa
Keputusan Pengadilan
Yusril Ihza Mahendra ; Ketua
Umum Partai Bulan Bintang
|
REPUBLIKA, 18 Mei 2017
Profesor Jimly Asshiddiqy kemarin menyarankan agar
Presiden membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila melalui
Keputusan Presiden (Keppres) dengan tetap memberikan peluang bagi ormas
tersebut untuk melakukan perlawanan melalui pengadilan. Kalau pengadilan
memenangkan presiden, maka ormas tersebut bubar selamanya. Namun, jika
presiden dikalahkan pengadilan, ormas tersebut dapat dihidupkan kembali.
Bersamaan dengan Profesor Jimly, Presiden Joko Widodo usai
bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi berbagai media, mengatakan akan
'menggebuk' ormas yang bertentangan dengan Empat Pilar Kebangsaan, yakni
Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan RI dan Bhineka Tunggal Ika. Penggebukan
itu, menurut beliau, akan dilakukan tanpa pandang bulu, termasuk kepada
gerakan komunis, jika sekiranya PKI, yang dulunya adalah partai politik,
bukan ormas, akan dihidupkan kembali.
Pembubaran ormas seperti disarankan Prof Jimly itu
menyimpang jauh dari norma hukum positif yang kini berlaku, yakni UU No 17
Tahun 2013 yang di dalamnya mengatur prosedur pembubaran ormas. Ormas yang
sudah disahkan sebagai badan hukum, tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh
pemerintah, melainkan setelah ada izin/persetujuan pengadilan. Ini
semata-mata dilakukan untuk mencegah presiden bertindak sewenang-wenang
membubarkan ormas yang mungkin saja berseberangan dengan dirinya.
Dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut UUD
45, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa
landasan hukum yang jelas. Karena itu, kita wajib mencegah dibukakannya pintu
bagi presiden untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum, kecuali ada situasi
sangat genting yang memaksa presiden untuk mengambil langkah revolusioner
dalam keadaan yang tidak normal untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Membubarkan ormas dengan cara 'menggebuk' jika hal itu
diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku, akan membawa
implikasi politik yang luas, karena sumpah jabatan presiden mengatakan akan
berlaku adil serta memegang teguh undang-undang dasar, undang-undang dan
segala peraturannya dengan selurus-lurusnya. Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan
bisa membuka peluang bagi pemakzulan.
Kalau presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih
dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan, secara
diam-diam kita telah membuka pintu untuk presiden bertindak sewenang-wenang.
Kalau kedudukan presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu, lambat
laut presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte
lembaga lain, termasuk pengadilan.
Ingat saja ketika Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Ketika
Masyumi melawan ke pengadilan melalui Mohamad Roem, pengadilan mengatakan
tidak berwenang mengadili perkara itu, karena membubarkan partai adalah
'beleid' atau kebijakan eksekutif yang tidak dapat dinilai oleh badan
yudikatif.
Kalau presiden bisa membubarkan ormas melalui Keppres,
maka sebagai sebuah penetapan (beschikking) kewenangan mengadili keputusannya
ada di Pengadilan Tata Usaha Negara. Di era Presiden Joko Widodo ini alangkah
banyaknya putusan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan politik yang sudah
berkekuatan hukum tetap yang tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah, bahkan
yang paling depan tidak mau melaksanakannya adalah Menteri Hukum dan HAM.
Keinginan agar negara kita ini benar-benar menjadi negara
hukum yang demokratis adalah keinginan sejak lama, yang diperkuat kembali
menjelang Reformasi 1998. Kalau kita membuka peluang kembali bagi
kesewenang-wenangan, maka demokrasi dan konstitusi pun akan kembali terkubur.
Di atas kuburan itu berdiri tegaklah seonggok batu nisan, yakni batu nisan
kediktatoran. Ini yang harus kita cegah agar tidak terulang kembali di negeri
ini.
Menyadari pemerintah tidak mudah membubarkan ormas, maka
Jaksa Agung menyarankan agar presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang. Maksudnya kiranya jelas, Perppu bukan diterbitkan
untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi untuk mengubah
UU No 17 Tahun 2003 agar memberi kewenangan kepada presiden membubarkan ormas
tanpa perlu meminta persetujuan pengadilan, persis yang disarankan Prof
Jimly.
Saya makin prihatin saja menyaksikan perjalanan bangsa dan
negara kita lebih dua tahun terakhir ini. Arah penegakan hukum makin hari
makin tidak jelas. Terlalu banyak pertimbangan di luar hukum yang dijadikan
dasar untuk menegakkan hukum, sehingga tebang pilih penegakan hukum yang dulu
banyak dikritik di era pemerintahan Presiden SBY, kini malah dipraktikkan
secara makin meluas. Ujung dari semua ini adalah makin meluasnya rasa
ketidak-adilan di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya ini dijadikan sebagai
lampu kuning bagi Pemerintah Presiden Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar