Efek
Pilkada Jakarta
Imam Shamsi Ali ; Presiden
Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 14 Mei 2017
Pagi kemarin saya mendapat telpon dari
Robert Silverman, Director of Muslim-Jewish relations at AJC (American Jewsih
Comittee). Mr. Silverman menyampaikan agar saya baiknya istirahat saja dari
posisi saya sebagai anggota Muslim-Jewish Council yang dibentuk oleh AJC
beberapa bulan lalu.
Posisi saya sebagai anggota di
Muslim-Jewish Council AJC ini hanya satu dari sekian banyak keanggotaan saya
di berbagai organisasi lintas agama di Amerika Serikat. Saya juga adalah
penasehat pada the Tanenbaum Center, Federation for Middle East Peace, Clergy
International, dan seabrek organisasi lintas agama lainnya. Sehingga
sejujurnya posisi saya pada berbagai organisasi itu tidak lebih sebagai
simbol perakilan saja. Toh saya sendiri terkadang tidak terlalu paham kenapa
saya diminta duduk dalam berbagai organisasi itu.
Sebagai mantan diplomat, Mr. Silverman
menyampaikan pesannya dengan bahasa diplomasi. Dan dalam posisi saya yang
juga berdekatan dengan tugas-tugas diplomasi paham betul apa yang dimaksud.
Yaitu meminta saya untuk mundur dari posisi saya sebagai anggota di council
itu.
Saya tidak terkejut apalagi bersedih dengan
permintaan itu. Saya hanya menyayangkan dua hal: satu, meminta saya mundur
karena tuduhan anti non Muslim, yang didasarkan kepada tulisan-tulisan saya
di media sosial. Termasuk di dalamnya tentang hiruk pikuk proses demokrasi
dan pilkada Jakarta baru-baru ini.
Tapi yang kedua, dan ini yang saya sayangkan,
menurutnya ada tulisan saya yang pernah saya tulis di tahun 2015 dianggap
anti Yahudi. Saya terkejut dengan tuduhan itu. Karena sejak saya memulai
dialog saya dengan komunitas Yahudi, prioritas kerja-kerja interfaith saya
adalah membangun komunikasi dan kerjasama dengan komunitas ini. Jadi rasanya
dengan tuduhan itu upaya-upaya saya itu sia-sia.
Saya sebenarnya mendesak Mr. Silverman
untuk menunjukkan kepada saya tulisan-tulisan yang dianggap "anti
minoritas", khususnya anti Yahudi. Tapi jawaban yang saya dapatkan hanya
"there are many on your facebook". Saya semakin bingun karena semua
tulisan saya itu tidak pernah menyerang golongan, baik agama maupun ras.
Bahkan di tulisan terakhir saya menegaskan bahwa jika ada di kalangan umat
Islam melakukan protes karena agama dan ras orang lain, saya akan berada di
garis terdepan untuk mengingatkan dan menentangnya.
Mungkin yang paling membingunkan saya
adalah realita paradoks ini. Saya bangga hidup di Amerika karena banyak hal.
Salah satunya adalah bahwa di negara ini semua orang punya hak untuk
menyampaikan opini dan bebas mengekspresikan opini mereka di masyarakat. Tapi
di sini saya menemukan organisasi yang meminta saya mundur karena opini
pribadi. Toh di saat saya menyampaikan sebuah opini itu di masa lalu, itu
adalah opini pribadi yang tidak mewakili institusi.
Dan mungkin yang sedikit mengganggu adalah
ketika Mr. Silverman mengambil kesimpulan tanpa pernah melakukan klarifikasi
dengan saya sendiri. Oleh karena tulisan-tulisan saya semuanya berbahasa
Indonesia, maka saya yakin ada orang-orang Indonesia (entah siapa) yang
memberikan terjemahan dan/atau interpretasi terhadap tulisan itu. Mungkin di
sinilah terjadi kesalah pahaman, baik disengaja ataupun tidak disengaja.
Seharusnya Mr. Silverman ketika menemukan atau
mendapatkan informasi mengenai tulisan yang menimbulkan pertanyaan,
disampaikan ke saya dan diminta penjelasan atau klarifikasi. Saya yakin ini
adalah sikap yang elegan, sekaligus fair kepada saya sebagai penulis.
Sayangnya kesimpulan itu diambil secara sepihak tanpa klarifikasi ke saya
sebagai penulis.
Satu hal yang pasti adalah bahwa hal ini
mesti terjadi karena efek tulisan-tulisan saya tentang pilkada dan Ahok.
Walaupun dengan sangat jelas dan tegas saya sampaikan bahwa saya memiliki
pilihan bukan karena anti kepada agama dan/atau ras tertentu. Tapi murni
karena "ijtihad" atau opini pribadi berdasarkan ukuran-ukuran
tertentu. Tapi itu sudah berlalu. Yang ingin saya katakan adalah betapa
dampak pilkada DKI kali ini menembus batas benua. Hiruk pikuk pilkada Jakarta
juga menjadi hiruk pikuk berbagai kalangan di Amerika, bahkan di Eropa.
Yang menggelitik juga adalah betapa
toleransi tidak malu-malu untuk sekedar diukur dengan ukuran keperbihakan
kepada kandidat tertentu. Jika anda tidak memihak kepada kandidat itu maka
toleransi anda dipertanyakan. Anda tidak luwes, tidak tahu bergaul, ekstrim
atau mendukung kaum radikal, bahkan boleh jadi anda dituduh radikal. Ukuran
tolerasi bagi saya seperti ini adalah lucu dan menggelikan.
Dialog
dengan komunitas Yahudi
Dari sekian banyak kelompok dialog
Muslim-Yahudi saat ini, barangkali tidaklah berlebihan jika saya katakan
hampir semua itu merupakan perpanjangan dari inisiasi yang kami mulai di
penghujung tahun 2005 yang lalu. Di tahun itulah kami memulai mengadakan
dialog antara komunitas Muslim dan Yahudi dengan diselenggarakannya pertemuan
tingkat tinggi para Imam dan Rabi se Amerika Utara.
Sejak pertemuan itu gelombang dialog
membesar dan dilakukan tidak saja di Amerika Utara. Tapi merambah juga ke
negara-negara Eropa. Tiga tahun lalu bahkan program "Twinning"
(pertemuan Yahudi-Muslim) yang kita mulai dari New York di tahun 2007
menjalar hingga ke Australia, New Zealand dan Afrika Selatan. Bahkan untuk
pertama kalinya tahun 2015 lalu, juga di Tunisia diadakan dialog resmi Muslim
dan Yahudi.
Sejujurnya saya katakan hasil pertama dari
dialog itu adalah saya sendiri. Melalui dalog itu saya melakukan transformasi
diri dari seseorang yang penuh ketakutan dan kecurigaan, kepada kepribadian
yang mencoba membangun pandangan positif kepada masyarakat Yahudi. Dan dengan
dialog itu pula saya menjadi saksi betapa banyak teman-teman Yahudi, bahkan
dari kalangan pemimpinnya berubah pandangan terhadap komunitas Muslim.
Singkatnya saya merasakan perubahan
positif, baik di kalangan komunitas Muslim maupun Yahudi karena dialog yang
kita lakukan. Tentu tanpa mengingkari adanya perbedaan-perbedaan yang masih
mengganggu hubungan kedua komunitas, khususnya dalam masalah konflik
Palestina dan Israel.
Sungguh memang tidak mudah menjalani dialog
ini. Apalagi sensitifitas hubungan kedua komunitas ini kerap kali terbangun
oleh hiruk pikuk dan tensi konflik Timur Tengah. Sehingga terus terang saja,
saya menghadapi tantangan dari dua arah.
Di satu sisi harus diakui teman-teman
Yahudi tidak begitu mudah percaya dengan i'tikad baik saya. Karena
bagaimanapun juga memang ada interpretasi teks-teks agama yang cenderung
melihat jika komunitas yahudi adalah musuh abadi umat Islam. Tentu juga
karena faktor media yang lebih sering menyesatkan.
Di sisi lain, betapa seringkali saya
mendengarkan jika di luar sana, masih ada saudara-saudara seiman saya yang
curiga jika saya ini tidak peduli dengan ajaran Islam. Saya dianggap terlalu
kompromise, bahkan liberal dalam memahami teks-teks agama khususnya yang berkenaan
dengan komunita Yahudi. Barangkali salah satu contoh terdepan adalah ketika
saya harus meninggalkan Islamic Cultural Center of New York. Saya melakukan
itu karena Ketua Dewan Pengurusnya, Dubes Kuwait untuk PBB, menyatajan bahwa
membangun hubungan dengan Yahudi adalah pengkhianatan.
Perlu saya jelaskan bahwa hanya ada satu di
benak saya sehingga saya memiliki keberanian dan motivasi dalam menghadapi
dan merintangi berbagai aral dan rintangan itu: rekonsiliasi dan perdamaian
lewat dialog dan kerjasama.
Dan itu telah kita buktikan pada
tingkatan-tingkatan tertentu. Mungkin salah satu kerja fenomenal yang kami
lakukan di jalan dialog ini adalah menulis buku bersama teman dan partner
saya dalam dialog, Rabbi Marc Schneier, dengan judul: Anak-Anak Ibrahim.
Rasanya saya tidak perlu menceritakan
segala hal yang telah kita lakukan, dan apa saja hasil positif yang telah
kedua komunitas ini dapatkan. Hanya saja dengan sikap dan respon dari AJC
melalui direktur hubungan Muslim-Yahudinya itu sangat saya sayangkan.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa
ini tidak akan mengurangi komitmen saya untuk terus membangun komunikasi dan
dialog dengan komunitas Yahudi, demi terwujudnya dunia yang lebih aman dan
damai.
Terus terang, saya diminta untuk duduk di
council itu hanya lewat percakapan antara saya dan Mr. Silverman ketika saya
menjadi pembicara di sebuah acara di salah satu synagogue di kota New York.
Saya pun menerima permintaan itu karena saya merasa memang penting kedua
komunitas ini membangun komunikasi untuk mengurangi kesalah pahaman yang luar
biasa itu.
Artinya duduk di council ini sama sekali
tidak disengaja dan bukan prioritas. Sehingga selama council berdiri saya
baru ikut dua kali pertemuan. Sekali di Washington DC dan sekali lagi di kota
New York. Itupun pertemuan yang membosankan, dan saya tidak pernah sama
sekali menyampaikan pendapat apapun dalam pertemuan itu. Karena merasa
pertemuan itu hanya seremonial dan basa basi.
Oleh karenanya saya menyampaikan terima
kasih atas kehormatan dan kesempatan yang telah diberikan kepada saya sebagai
anggota Muslim-Jewish Council di AJC. Tapi di sisi lain saya sangat terusik
dengan sikap Mr. Silverman yang tidak fair dalam menyikapi berbagai opini
yang telah saya sampaikan melalui tulisan-tulisan saya terdahulu.
Akhirnya saya kembali tersadarkan betapa
dahsyatnya efek pilkada Jakarta ini. Sampai-sampai sebuah organisasi tua dan
besar di Amerika ikut terusik karena pilihan sikap yang saya ambil dalam
pilkada lalu. Saya hanya kembali curiga, jangan-jangan kata toleransi itu
sudah dipasok dari sananya sebagai dukungan kepada pihak "tertentu"
saja. Dan bukan untuk yang lain. Untuk dianggap toleran anda harus mendukung
kelompok tertentu. Jika tidak, maka bersiap-siaplah dituduh intoleran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar