Jumat, 19 Mei 2017

Kembalikan Kesepakatan Bangsa

Kembalikan Kesepakatan Bangsa
Franz Magnis-Suseno  ;   Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
                                                          KOMPAS, 19 Mei 2017


                                                           
Tujuh bulan terakhir membuat bangsa Indonesia stres. Tekad bangsa bersatu dan saling menerima berada di bawah tekanan berat.

Yang mengkhawatirkan bukan hanya suara-suara yang memang menakutkan, yang menyangkal kesamaan konstitusional segenap warga bangsa, tanpa membedakan suku, etnik, ataupun agama yang bersangkutan, melainkan bahwa komunikasi antarbangsa dalam bulan-bulan terakhir, karena terfokus pada ”perkara Ahok”, sepertinya merosot kembali ke identitas primordial masing-masing.

Tekad bersama Sumpah Pemuda, yaitu bahwa ”kita semua sama-sama orang Indonesia” (”satu tanah”, ”satu bangsa”, dengan ”satu bahasa persatuan”) tergeser oleh sikap ”kami harus membela diri terhadap mereka”. ”Kita semua” terganti oleh ”kami berhadapan dengan mereka”. Judul tulisan dalam salah satu media Ibu Kota bahwa ”umat (kami) tertekan, terpuruk, dan tertuduh” mengungkapkan dengan tepat apa yang terjadi.

Bahwa di beberapa daerah terdengar nada-nada pembalasan hanya menggarisbawahi keseriusan situasi. Apa kita mau menjadi seperti Pakistan?

Pada 9 Mei Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama secara mengejutkan dihukum dua tahun penjara dan, tambahan menyakitkan, secara kasar diperintah langsung masuk penjara. Putusan itu di satu pihak menimbulkan kegembiraan kemenangan, tetapi di lain pihak meninggalkan perasaan tersinggung secara mendalam, sesudah bulan-bulan penuh caci-maki bermuara dalam suatu putusan yang bahkan melampaui dakwaan jaksa.

Tidak segelap itu

Namun, apakah kita mau berhenti di sini? Yang satu gembira merayakan kemenangannya, yang satunya tenggelam dalam ketersinggungan? Sebenarnya situasi tidak segelap itu. Tidak semua yang pada tanggal 19 April menolak periode kedua kegubernuran Ahok merupakan orang yang ”primordialistik”, ”fanatik”, ”garis keras”.Sementara mereka yang sekarang menunjukkan solidaritas dengan Ahok berasal dari semua komunitas religius di Indonesia.

Yang mereka suarakan bukan suatu pembalikan, apalagi pembalasan, melainkan agar kita semua, semua (!) kembali ke kesepakatan bersama dan memperbarui kesediaan yang menjadi dasar bangsa Indonesia yang begitu majemuk: kesediaan untuk saling menerima.

Maka kita semua yang tidak mau menyerahkan negara tercinta kita kepada mereka yang memang mau menggantikannya dengan sesuatu yang lain sama sekali (contoh-contoh bisa ditemukan di Timur Tengah) tidak boleh membiarkan bangsa tenggelam dalam ketersinggungan masing-masing. Kita harus membarui tekad untuk bersama mengamankan dan menyukseskan Indonesia kita.

Itu mempunyai tiga implikasi. Yang pertama, betapapun kita barangkali tidak puas, kita harus menerima keputusan hakim tanggal 9 Mei lalu. Indonesia adalah negara hukum. Dan meskipun sistem yudisial kita bobrok, itulah Indonesia kita. Sebaiknya unjuk solidaritas kita tidak berfokus pada Pak Ahok saja—beliau sendiri pasti setuju— melainkan pada persatuan, pluralisme, Pancasila, dan tekad untuk saling menerima dalam perbedaan.

Kedua, amat perlu primordialisme yang begitu vokal di bulan-bulan terakhir jangan dibalas dengan reaksi primordialistik sendiri. Tekad untuk mempertahankan Pancasila jangan kita izinkan mengikuti garis identitas agama. Segala protes dan unjuk penolakan primordialisme perlu dibawa bersama oleh seluruh unsur pluralis dan Pancasilais. Dari Sabang sampai Merauke. Segenap sindiran yang bernada ”jangan-jangan sampai kami memisahkan diri” harus kita haramkan. Kemurnian penolakan kepicikan, intoleransi, dan primordialisme membuktikan diri dalam kebersamaan lintas umat, daerah, dan etnik.

Ketiga, penolakan terhadap kepicikan agama dan kebencian yang begitu mencolok di bulan-bulan terakhir jangan dialamatkan kepada para pemenang pemilihan gubernur DKI 19 April lalu. Pemilihan itu berlangsung secara demokratis dan kita tentu menerima hasilnya. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno merupakan pemenang yang sah.

Sebagai demokrat kita menerima hasil pemilihan itu juga kalau kita berbeda harapannya. Maka pasangan Anies-Sandiaga bukan hanya tidak dimusuhi, melainkan didukung supaya dapat menjalankan job mereka yang berat dengan sebaik-baiknya. Dan jangan mereka yang memilih berbeda dari kita, kita anggap musuh.

Kita justru harus mendukung dan memajukan demokrasi Indonesia kalau mau menghindari nasib seperti yang dialami Pakistan. Dengan demikian, kita juga memperluas ruang gerak gubernur dan wakil untuk menolak tekanan dari beberapa pihak ekstrem yang barangkali mau memiliki mereka.

Maka sudah waktunya mereka yang masih sakit hati dengan penjatuhan vonis terhadap Ahok 9 Mei dan apa yang mendahuluinya untuk melihat ke depan, untuk bersama semua kekuatan bersemangat kebangsaan mengamankan dan membuat berhasil NKRI yang berdasarkan Pancasila yang mengagumkan itu. Semangat kebangsaan, Pancasila, keterbukaan, dan NKRI masih dapat kita andalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar