Meluruskan
Pemahaman soal "Disruption"
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM, 05 Mei 2017
Belakangan ini saya merasakan adanya pemahaman yang kurang
pas tentang disruption. Banyak yang menganggap disruption hanya berkaitan
dengan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini, atau lebih spesifiknya lagi
selalu soal taksi online.
Lalu, ada juga yang serba ngasal disruption. Beberapa
motivator misalnya, mengaitkan motivasi dengan disruption. Tapi, begitu kita
telusuri sedikit lebih jauh, isinya hanya "pertunjukan" hipnotis
atau paparan tentang sejarah hidupnya yang penuh lika-liku.
Kemudian ada juga yang menyamakan disruption dengan cara kerja
bisnis multilevel marketing (MLM) yang merugikan masyarakat. Pemahaman yang
kurang pas lainnya adalah menganggap disruption seakan-akan melulu bisnis
startup, dan hanya bermodalkan uang publik.
Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading, sehingga melihatnya
sebagai usaha brokerage. Bisnis percaloan. Jadi seakan-akan disruption melulu
soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan demand.
Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruptionitu
sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga
fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan
ideologi industri.
Misalnya yang paling sederhana, disruption terjadi akibat
perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning
(kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).
Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai
sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi
peran.
Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada
era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja
bersama-sama. Kolaborasi, berotong royong. Contohnya aplikasi yang
dikembangkan oleh www.kitabisa.com, konsepnya adalah gotong royong untuk
membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Kian Meluas
Disruption mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga
cara-cara bisnis lama menjadi obsolete. Menjadi usang atau ketinggalan zaman.
Persis seperti sebagian besar bangunan pabrik es yang kini telah berubah
menjadi "rumah hantu", atau mesin faksimili yang sekarang hanya
teronggok di sudut ruangan menunggu kiriman surat yang tak kunjung tiba.
Tapi, baiklah mungkin anggapan ini muncul karena masih
awamnya pemahaman masyarakat dan para elit terhadap basic concept mengenai
disruption itu sendiri. Sebagian baru pada tahapan ngasal dan mungkin malas
membaca, sehingga menggunakan cara berpikirnya yang kemarin untuk melihat apa
yang terjadi hari ini.
Padahal, disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini
(today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa
oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present).
Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita
tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati gelombang
tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break).
Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan
"merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk
"membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the
past trap" atau "success trap".
Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang
disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan
berpengalaman tadi.
Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu
amat kental logika masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang
"berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita. Kata orang
bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn.
Sebab dunia itu terus berubah.
Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari
pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi,
pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan
sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi.
Tapi, sayangnya ingatan publik bukan tertuju pada fenomena
e-kampong yang dikembangkan di Banyuwangi, atau di Provinsi DKI Jakarta
dengan aplikasi Qlue, atau penerapan Smart City di Kota Bandung dan Denpasar.
Ingatan publik juga belum sampai pada metode pelayanan
kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan
kolaboratif.
Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa
sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi
ke Harvard. Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi
memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam
pasiennya.
Juga belum banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan
yang sekarang tengah digeluti para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar
lagi akan beralih. Bahkan masih ada beranggapan bahwa disruption seakan-akan
hanya masalah meng-online-kan layanan, menggunakan aplikasi dan
mem-broker-kan hal-hal tertentu.
Anggapan seperti itu—bahwa disruption hanya terjadi pada
industri digital—sekali lagi saya tegaskan, jelas kurang pas. Sebab disruption
tidak seperti itu.
Disruption terjadi di mana-mana, dalam bidang industri apa
pun. Ia bahkan mengubah landasan hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi
kolektif kolaboratif.
Beberapa Contoh
Supaya kita punya anggapan yang sama, saya ingin tegaskan
lima hal penting dalam disruption. Pertama, disruption berakibat penghematan
banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.
Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih
baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan
disruption. Lagipula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya
lebih buruk?
Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau
membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat
pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih
mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek
atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology,
semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita.
Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi
serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.
Itulah lima ciri disruption yang belakangan ini marak
terjadi di mana-mana. Apakah itu hanya terbatas pada industri digital? Jelas
tidak. Perbaikan proses bisnis, misalnya, mampu memangkas biaya-biaya yang
tidak perlu.
Tiga bulan lalu saya diminta menjelaskan fenomena
disruption dalam tapat pimpinan PT PP, sebuah BUMN di bidang konstruksi. Namun Minggu lalu, saya saya sudah bisa melihat
hasilnya.
Di sana saya ditunjukkan bagaimana Building Innovation
Model yang dikaitkan dengan teknologi 3D Printing mampu menghasilkan bangunan
yang proses bisnisnya menjadi jauh lebih ringkas dan lebih cepat.
Mungkin bagi sebagian perusahaan konstruksi BIM dan 3D
Printing adalah alat biasa. Tapi di PT PP itu dipakai untuk melakukan
disrupsi sehingga business process dan alokasi resources berubah.
Terjadi efisiensi dan perubahan pola kerja, mata rantai
pasokan juga berubah. Akibatnya, ke depan perusahaan bisa menyeeiakan layanan
yang lebih cepat, lebih murah, lebih menjawab bagi talenta-talenta muda.
Jadi, saya ingin mengingatkan bahwa kalau sekarang ini
kita menyaksikan banyak perusahaan sedang susah akibat gempuran
perusahaan-perusahaan yang berbasis digital, bukan berarti perusahaan
konvensional tak akan mengalaminya.
Di sini yang saya maksud dengan perusahaan konvensional
adalah perusahaan-perusahaan yang core business-nya tidak berbasis digital.
Ia bisa bisnis apa saja. Bisnis konstruksi, pendidikan, industri, farmasi,
keuangan, FMCG, jasa kesehatan dan sebagainya.
Maka, penting bagi Anda untuk membaca sinyal-sinyal bahwa
suatu saat mungkin saja perusahaan Anda yang ter-disrupsi. Apa saja
sinyalnya?
Saya akan mengulasnya pada kesempatan yang lain. Semoga
bisa digunakan untuk menghadapi disruption. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar