Toleransi
yang Memihak
Imam Shamsi Ali ; Presiden
Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 17 Mei 2017
Sejujurnya, semakin kita melibatkan diri
dalam banyak hiruk pikuk dunia kita saat ini, semakin pula membingunkan.
Kalau bukan karena sebuah tujuan mulia, yaitu demi terwujudnya hubungan yang
harmonis dan perdamaian di antara manusia, boleh jadi sebagian di antara kita
akan berpikir: "who cares and why
care?"
Bagi saya, melibatkan diri dengan berbagai
upaya membangun dialog, demi terwujudnya saling memahami, mwnghormati bahkan
kerjasama, tidak saja karena tuntutan sosial. Bukan hanya karena posisi saya sebagai
minoritas yang hidup dalam tatanan masyarakat mayoritas non Muslim. Terlebih
lagi di negara super power yang memang masih relatif belum paham tentang
Islam.
Ada dua hal minimal yang menjadi pijakan
saya dalam membangun dialog ini. Pertama, karena memang saya meyakini jika
agama yang saya anut ini adalah agama yang mengedepankan dialog dan kerjasama
di atas konflik dan permusuhan. Agama yang mengedepankan toleransi, saling
memahami dan menghormati di atas pandangan sempit, saling mencurigai dan mengecilkan
bahkan mengucilkan.
Berbagai ayat dalam Alquran, terutama
tentang ayat "ta'aruf" (saling mengenal) dan "tanawwu'"
(pluralitas) serta ayat yang mengakui esksitensi keyakinan orang lain
kendatipun tidak menyetujuinya (lakum dinukum wa liya diin) serta
ketauladanan kepada Rasulullah SAW menjadi acuan saya dalam membangun dialog
itu.
Kedua, karena saya memahami betul bahwa
dunia kita saat ini adalah dunia global. Dunia yang ditandai salah satunya
oleh "interconnectedness" (saling tergantung antara satu dan
lainnya). Dunia yang semakin kecil sehingga semua manusia sesungguhnya hidup
di bawah atap yang sama. Bahwa dengan kemajuan sains dan tekonologi,
khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi, hampir saja menjadikan
pembatas di antara manusia tumbang. Dan karenanya manusia hanya punya satu
pilihan, berdialog dan kerjasama. Atau saling menjauh, mencurigai dan
membenci, lalu bermusuhan dan berperang.
Dalam dialog dan kerja sama, sesungguhnya
diperlukan "mutualitas" (mutuality). Artinya, jika Anda ingin
dikenal, maka belajarlah mengenal orang. Jika Anda ingin dipahami, maka
belajarlah memahami orang lain. Jika Anda ingin dihormati, maka Anda harus
belajar menghormati orang-orang di sekitar Anda. Intinya, tepuk tidak akan
terjadi hanya dengan sebelah telapak.
Kata mutualitas, itulah sesungguhnya yang
tercermin dari ayat "saling mengenal" (ta'aruf) yang disebutkan di
atas. Bahwa proses membangun toleransi dan kerukunan itu adalah bagian dari
dinamika komunal. Dan karenanya mengharuskan setiap anggota komunitas itu
untuk mengambil bahagian. Ada hukum timbal balik dalam proses membangun
toleransi itu.
Artinya, toleransi seharusnya tidak
dipahami sebagai tanggung jawab sepihak. Dan tidak ditujukan untuk
kepentingan sepihak semata. Menuntut sikap toleran dari orang lain dengan
sendirinya menuntut anda untuk membangun sikap toleransi itu. Tidak sekedar
mengenal hak dalam toleransi. Tapi juga sadar tanggung jawab dalam toleransi.
Pemahaman toleransi seperti inilah
sesungguhnya yang diajarkan oleh Islam. Toleransi yang terbangun di atas asas
keadilan. Bahwa toleransi harus ditegakkan kepada semua tanpa pandang bulu,
tanpa ikatan kepentingan pribadi atau golongan.
Toleransi
dan kepentingan
Kenyataannya membangun toleransi ternyata
tidak seindah harapan dan idealisme banyak orang. Dalam praktiknya, toleransi
seringkali identik dengan kepentingan tertentu. Kentalnya kepentingan dalam
proses toleransi ini, seringkali membingunkan. Tidak saja di luar dari satu
kelompok sosial atau komunitas. Bahkan, dalam satu komunitas sekalipun sangat
membingungkan.
Di atas saya menyebutkan bahwa toleransi
seyogyanya tidak memihak kepada golongan, tapi menganut asas keadilan yang
tidak memiliki batas apapun. Tapi, ketika bersentuhan dengan kepentingan,
dalam satu golongan pun terkadang menjadi korban toleransi atau juga
intoleransi. Ada pihak-pihak yang rela mengorbankan kelompoknya demi memburu
kepentingan yang dimaksud.
Saya barangkali ingin blak-blakan dan
terbuka apa adanya dengan pengalaman saya sendiri. Sejak awal, saya terlibat
dalam membangun dialog dan kerja sama lintas agama, saya banyak mendapat
pujian. Dikarenakan saya banyak menyuarakan pembelaan terhadap ketidakadilan
terhadap minoritas non Muslim di dunia Islam. Apa yang saya sampaikan adalah
kenyataan yang masih terjadi di berbagai negara-negara Muslim mayoritas,
khususnya di Timur Tengah.
Saya tidak merasa tersanjung dengan pujian
itu. Karena saya merasa membela hak-hak minoritas non Muslim di tengah-tengah
mayoritas masyarakat Muslim adalah "amanah risalah". Bukankah Rasul
SAW menyebutkan: "Barangsiapa yang menyakiti minoritas non Muslim, maka
saya adalah musuhnya di hari Kiamat kelak." (hadits).
Akan tetapi, pujian itu, berbalik ketika
pembelaan saya lakukan kepada sesama Muslim. Saya melakukan pembelaan di saat
ketidakadilan dilakukan kepada komunitas Muslim, baik di barat maupun di
negara-negara mayoritas Muslim itu sendiri. Kenyataan yang terkadang sebagian
mereka yang mengaku pahlawan toleransi telah buta mata, bahkan buta mata hati
untuk melihat dan mengakuinya.
Dalam beberapa tulisan terdahulu, saya
banyak menyinggung ketidakadilan terhadap umat ini dalam banyak hal.
Ketidakadilan politik, sosial ekonomi, bahkan hampir saja dalam segala aspek
kehidupan manusia.
Tapi yang paling tidak adil adalah pemaksaan
persepsi jika umat ini tidak lagi toleran, bahkan radikal di saat umat Islam
terlibat dalam kompetisi apa saja dan berada di atas angin. Mungkin pilkada
DKI adalah contoh terdekat dari kenyataan ini. Terlepas dari aksi 411, 212,
maupun 515 dan lain-lain, kemenangan Anies Sandi di Jakarta secara drastis
dan dramatis diubah dari pertarungan demokrasi ke pertarungan radikal -
moderate. Pertarungan antara mereka yang toleran melawan mereka yang
intoleran. Ada upaya sistimatis yang ingin membangun persepsi bahwa
kemenangan Anies Sandi adalah kemenangan kaum radikal dan intoleran. Bukan
kemenangan kandidat melalui proses demokrasi.
Dan oleh karenanya, dengan sendirinya
mereka yang mendukung Anies Sandi adalah kelompok radikal dan intoleran.
Mereka yang mendukung Anies Sandi adalah kelompok yang anti-Pancasila dan
kebinnekaan dan NKRI. Kampanye ini kemudian diperluas menjadi seolah-olah
Indonesia kini berada di ambang bahaya radikalisme. Diperburuk kemudian
dengan ancaman bahwa NKRI kini seolah memasuki keadaan genting seperti Irak
dan Suriah.
Bayangkan, dalam beberapa hari terakhir
saja, berbagai media di Barat telah menuliskan kemenangan Anies Sandi sebagai
kemenangan kelompok Islamis (radikal). Dari Wall Street, New York Times
hingga ke Democracy Now semuanya seolah menyimpulkan bahwa Indonesia kini
berada diambang bahaya radikalisme.
Lalu bagaimana dengan isu agama dalam
kampanye?
Sesungguhnya di mana saja dalam dunia ini,
isu agama dalam politik selalu saja terjadi. Sejujurnya, calon Gubernur Ahok
dalam pilkada tempo hari juga hampir seratus persen didukung oleh kelompok di
mana sang calon menjadi bagian darinya. Dalam poling-poling, semua
menunjukkan bahwa dukungan itu nyata.
Bahkan jauh-jauh penginjil terkenal
Amerika, Franklin Graham, memberikan dukungan dan doa khusus kemenangan Ahok
dalam pilkada Jakarta. Di mana-mana saja, saudara-saudara saya sebangsa dan
setanah air yang kebetulan beragama Nasrani pada umumnya mendukung Ahok.
Lalu di mana salahnya jika Anies Sandi
memang didukung oleh umat Islam?
Salahnya barangkali adalah bahwa pendukung
Anies Sandi memang jujur apa adanya dan menyerukan umat Islam untuk memilih
calon Muslim. Atau mungkin dalam bahasa negatifnya terlalu vulgar dalam
mengekspresikan apa yang selama ini saya sebut dengan istilah "solidaritad
sosial" itu.
Maka, sejatinya, tidaklah salah jika
masing-masing pihak memakai sentimen agama dalam menentukan pilihan. Bahkan,
Bung Karno sendiri pernah menyerukan hal itu, asal saja dilakukan dalam
kerangka NKRI dan melalui proses demokrasi.
Pada akhirnya, kejujuran toleransi,
sekaligus komitmen Pancasila dan NKRI itu, akan terlihat ketika kita teruji.
Di saat dalam proses pemilu atau pilkada jagoan kita kalah. Di saat berlomba
dalam memperjuangkan apa yang kita anggap benar, tapi kalah. Akankah kita
kita legowo dan menerima kekelahan itu seraya tetap memuji proses demokrasi?
Dan yang lebih penting adalah tetap mengedepankan kepentingan
"kita" di atas kepentingan "kami".
Perhatikanlah setelah proses pengadilan
Ahok di Jakarta berkhir dengan ketukan palu. Semua dalam proses itu
mengatakan, mari kita hormati proses hukum, seraya melakukan pressure publik
sebagai bagian proses yang masih dijamin oleh konstitusi. Kedua pihak pun
siap menerima hasil proses hukum itu.
Kenyataannya, ketika palu telah dijatuhkan
semua menghakimi keputusan hukum. Bahwa keputusan itu tidak adil. Dan tidak
lagi canggung menuduh pemerintah yang didukungnya seolah pemerintah yang
zalim. Saking kecewanya, sempat menyebutkan jika pemerintahan Jokowi itu
lebih buruk dari pemerintahan SBY. Bahkan lebih runyam lagi, mengampanyekan
jika negara Indonesia telah berbalik menjadi negara zalim ke pihak tertentu.
Lebih menyedihkan lagi, ada saja
pihak-pihak tidak lagi malu-malu bekerja sama dengan pihak NGO-NGO asing,
bahkan mungkin saja dengan pemerintah luar, memburuk-burukkan negaranya
sendiri. Hal ini bertambah runyam karena pihak luar tidak tanggung-tanggung
ikut menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga Indonesia.
Dengan sikap seperti itu, sesungguhnya
siapa yang toleran dan siapa yang intoleran? Siapa yang cinta NKRI dan siapa
yang anti-NKRI? Siapa yang sejatinya pancasilais dan siapa yang merusak
Pancasila atas namanya?
Ah, saya diingatkan oleh kelompok-kelompok
radikal Muslim yang mengatas namakan Islam. Tapi, perilakunya justeru
mencoreng wajah Islam itu sendiri. Jangan-jangan sama saja dengan mereka yang
mengaku toleran, pancasilais, dan cinta NKRI itu. Tapi kenyataannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar