MILLENNIALS
dan DISRUPTION
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 16
Mei 2017
Belakangan ini banyak perusahaan atau organisasi yang
mulai menaruh perhatian terhadap generasi millennials. Siapa mereka dan
mengapa banyak perusahaan sontak peduli dengan keberadaannya?
Anda bisa dengan mudah mencari definisi dan usianya.
Mereka yang disebut generasi millennials biasanya lahir antara tahun
1985–1994. Bahkan, beberapa definisi menyebut batasnya sampai 2004. Silakan
saja.
Generasi ini sangat terkoneksi dengan internet dan media
sosial. Kurang suka dengan informasi yang bersifat satu arah dan percaya
dengan iklan. Mereka lebih percaya pada pengalaman atau review dari
teman-temannya. Namun sangat mengedepankan happiness dalam bekerja, gemar
traveling lintas negara, dan gadget mindset.
Perusahaan yang masih mendefinisikan urusan manusianya
dengan konsep human resource (HR) bakal kewalahan menghadapi generasi
millennials. Sebaliknya, perusahaan yang memperlakukan karyawannya sebagai
human capital akan menganggap generasi millennials sebagai aset dan penentu
masa depan.
Maka, mereka harus dirawat dan diberi kebebasan berkreasi.
Generasi ini tak suka kompetisi. Sukanya kolaborasi. Lalu, yang membuat
banyak perusahaan takut adalah generasi ini bisa dengan enaknya bertanya,
”Dalam lima atau enam tahun lagi, apa posisi saya dan berapa gajinya?”
Sementara karyawan-karyawan lama begitu takut mengajukan
pertanyaan semacam itu.
Anda, saya kira, bisa dengan mudah melengkapi sebagian
ciri yang sudah saya lontarkan tadi. Referensinya ada di mana-mana.
Memukul Bisnis Konvensional
Namun, saya kira yang jauh lebih penting dari ciri-ciri
biologis atau stereotipe lainnya adalah generasi ini mulai diakui
keberadaannya karena disruption yang mereka lakukan dan dampaknya terhadap
dunia bisnis. Baiklah, supaya kita mempunyai pemahaman yang sama, saya
definisikan dulu arti disruption ini.
Sederhananya begini, disruption adalah perubahan untuk
menghadirkan masa depan ke masa kini. Perubahan semacam itu biasanya
mempunyai sekurang-kurangnya tiga ciri. Pertama, produk atau jasa yang
dihasilkan perubahan ini harus lebih baik daripada produk/jasa sebelumnya.
Anda boleh memberikan catatan bahwa pengertian ”lebih baik” ini bisa relatif,
tetapi bisa juga absolut.
Kedua, harga dari produk/jasa hasil disruption ini harus
lebih murah ketimbang produk/jasa sebelumnya. Kalau harganya lebih mahal,
untuk apa mereka melakukan disrupsi? Ketiga, produk/jasa yang dihasilkan
proses disrupsi juga harus lebih mudah diakses atau didapat para penggunanya.
Bukan sebaliknya, malah lebih susah dijangkau.
Itulah tiga ciri dari proses disrupsi. Mengapa hasil karya
generasi millennials tersebut menjadi begitu ditakuti para pengelola bisnis
konvensional atau incumbent? Sebab, keberadaan produk/jasa buatan generasi
millennials bakal memangkas bisnis-bisnis yang dikelola perusahaan-perusahaan
konvensional seperti yang dialami industri layanan taksi atau perhotelan.
Efek Bola Salju
Ke depan, proses disrupsi tak akan berhenti sampai di
situ. Saya dengar banyak pengelola TV swasta yang mulai cemas karena generasi
millennials ini tak lagi menonton TV. Mereka lebih suka streaming atau
menyaksikan tayangan-tayangan di YouTube. Mereka sebal dengan acara TV yang
”satu arah” dan tidak memberikan kesempatan bagi para millennials untuk
berinteraksi atau memilih program.
Apa jadinya kalau acara-acara TV yang mereka tayangkan
lebih banyak ditonton asisten rumah tangga, bukan oleh majikan, dan terutama
anak-anaknya? Saya kira banyak pengiklan yang bakal mempertimbangkan lagi
beriklan di media televisi.
Di bisnis perbankan, kehadiran perusahaan-perusahaan
financial technology (fintech) yang digagas generasi millennials ini mulai
mengancam banyak bank. Begitu pula di bisnis ritel. Saat ini bisnis online
store terus meningkat dan disukai anak-anak muda, yang notabene merupakan
pasar masa depan. Lebih jauh lagi, para disruptor itu dikelola kaum muda, the
millennials. Dalam industri pariwisata, millennials travelers terus bertambah
jumlahnya. Mereka lebih suka dilayani jasa-jasa perjalanan wisata yang
berbasis aplikasi, bukan konvensional.
Itulah disruption yang terus terjadi di depan mata kita.
Perubahan yang dipicu generasi millennials tersebut belum akan berhenti.
Mereka memang miskin pengalaman, tetapi tak punya rasa
takut untuk menjelajahi masa depan yang unclear, unpredictable, dan
uncertain.
Itu berbeda dengan generasi di atasnya yang kaya
pengalaman, tapi lebih senang menjelajah rutin dan segala yang sudah klir dan
certain.
Ia ibarat bola salju, masih akan terus bergulir dan kian
lama kian besar. Kalau Anda menunggu sampai kapan atau menganggap perubahan
seperti itu akan ada batasnya, salah besar. Sebab, perubahan semacam itu,
kalau sudah bergulir, batasnya adalah langit alias tanpa batas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar