Menyehatkan
Wacana Publik
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 19
Mei 2017
Belakangan ini wacana publik berkembang tidak sehat. Penuh
cacian dan ekspresi subjektif yang lebih mengedepankan emosi. Bukan hasil
perenungan dan penalaran demi kepentingan bersama.
Sejak ditemukan teknologi informasi dan komunikasi ber
basis internet, setiap orang bebas, bahkan bisa seenaknya, ikut mengisi
wacana publik. Terdapat perbedaan mencolok kualitas dan arah wacana publik
pada masa sebelum dan sesudah ditemukan media sosial (medsos) yang berbasis internet.
Mari kita amati bersama. Dulu yang menjadi opinion maker dan opinion leader
itu para elite pemimpin, intelektual, dan tokoh-tokoh masyarakat yang
terseleksi, melalui media televisi, surat kabar atau mimbar ceramah.
Pidato Presiden dan jajarannya akan dijadikan rujukan
masyarakat, sementara pejabat di bawahnya akan menjadi penyambung lidah
kebijakan atasan. Kemudian peran televisi dan surat kabar juga terkontrol.
Oleh karenanya yang mendominasi wacana publikbukansembarangorang. Di samping
pejabat tinggi negara, hanya figur-figur yang dianggap memiliki reputasi
intelektual dan berpendidikan tinggi yang pendapatnya quotable, dikutip, dan
disebarkan oleh media massa.
Sekarang era itu telah berakhir, suasana batin masya ra
kat mengalami perubahan, khususnya mereka yang masuk komunitas netizen.
Dengan handphone, seseorang bisa jadi produsen berita dan opini serta
konsumen sekaligus yang de ngan mudah dan murah ikut menyebarkan berita
maupun gambar melalui WhatsApp, Twitter atau program lain da lam waktu yang
cepat dan singkat.
Arah dan semangat yang mendominasi ruang pu blik sangat
dipengaruhi peris tiwa sosial yang sedang jadi tren. Bagi pencinta sepak
bola, misalnya, ketika berlangsung Piala Dunia, topik bola menjadi tema
wacana publik yang meng asyikkan. Tapi bela kang an ini peristiwa politik
Pilkada DKI telah melibatkan partisi pasi tidak saja sebatas warga Jakarta,
tetapi juga berskala nasional untuk menyampai kan sikap politiknya. Peristiwa
itu sesungguhnya mengungkapkan banyak hal, tidak semata pemilihan gubernur
DKI.
Di antaranya perasaan dan pikiran privat yang bersifat
sangat pribadi dan subjektif lalu muncul dan mendomi nasi ruang publik tanpa
ada kriteria, standar, dan seleksi kepantasan dari sisi isi maupun etika.
Semuanya bisa dilempar dan ditumpahkan keruang publik hanya melalui
handphone, kapansaja, dari mana saja, dengan jumlah pengguna yang selalu
berkembang. Setiap orang bisa menjadi penulis, pembaca, dan analis tanpa
seleksi dan moderator.
Dari peng amatan sementara, bahasa yang tampil di medsos
akhir-akhir ini mungkin pengaruh dari Pilkada DKI, lebih mengemuka ekspresi like or dislike, senang atau tidak
senang ketimbang ungkapan-ungkapan “salah-benar” hasil pengamatan dan
penalaran kritis-kontemplatif. Kalau sikap politik “senang tidak senang”,
argumen lawan secanggih apapun tidak digubris. Orang pun terbiasa berpikir
pendek, bacaannya pendek-pendek berupa postingan sehingga emosinya bersumbu
pendek.
Anehnya, wacana publik yang memikirkan kebangsaan di atas
segregasi sosial malah tidak muncul atau tidak laku. Pemikiran kritis dan
objektif dikalahkan oleh semangat dan emosi “suka dan tidak suka” terhadap
kelompoknya. Jika sentimen identitas etnis dan agama ini berkelanjutan dan
melebar ke mana-mana, pada urutannya hal itu akan mengkhianati amanat para
pendiri bangsa yang mencanangkan moto Bhinneka Tunggal Ika . Kohesi sosial
rapuh, ikatan berbangsa pun kendur, bahkan bisa putus.
Yang namanya Indonesia seperti yang dicita kan para
pejuang kemerdekaan akan tinggal nama tanpa substansi. Yang juga menarik
perhatian kita, perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang
berkembang sangat cepat berpengaruh sangat dahsyat dalam kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi sehingga mayoritas rakyat tidak sanggup memahami,
mengikuti, dan menyesuaikan diri.
Untuk mayoritas rakyat yang tingkat pendidikan dan
ekonominya rendah, yang dirasakan adalah kebingungan, tidak paham apa yang
sesungguhnya tengah terjadi. Tidak tahu siapa sesung guhnya panutan bangsa
ini. Mereka tidak tahu mana berita dan omongan yang benar dan salah, mana
yang palsu (hoax) dan yang asli. Suasana batin masyarakat semakin tidak
menentu lagi ketika melihat para elite politik dan agama bertengkar dan
masingmasing menggunakan dalil keagamaan. Mereka bingung meskipun agamanya
sama, tetapi saling mencaci, menganggap yang lain munafik, bahkan kafir hanya
karena berbeda mazhab atau beda pilihan jagonya dalam pilkada atau pemilu.
Agama bukannya menyatukan, tetapi memecah. Agama bukan
menenteramkan, tetapi membuat panas. Ketika masyarakat bingung dan tidak
mampu mengikuti perubahan yang sedemikian cepat, muncul crowd mentality.
Mental kerumunan untuk mendapatkan rasa aman ka rena kehilangan kepercayaan
diri dan gamang. Mereka me milih berkumpul dengan kelompok yang memiliki iden
titas sama entah identitas etnis, agama, mazhab atau sekadar seragam bajunya.
Salah satu yang paling efektif sebagai tempat perlindungan
untuk mendapatkan comfort zone adalah identitas agama karena agama diyakini
sebagai ruang sakral, kebenarannya diyakini absolut, dan berada pada pihak
Tuhan, padahal konstruksi pemikiran keagamaan itu hasil pikiran manusia yang
nisbi. Keyakinan agama cenderung close
ended, beda dengan penalaran ilmiah yang bersifat open ended.
Tapi jika peran agama hanya sebagai tempat berlindung bagi
mereka yang memiliki crowd mentality,
agama akan kehilangan fungsi dan misinya sebagai motor dan pilar peradaban,
pilar perdamaian, dan sumber kecerdasan. Para aktivis intelektual dan
agamawan yang independen serta bijak bestari mesti aktif ikut mengisi wacana
publik agar berkembang sehat, konstruktif, dan produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar