Kekalahan
Ahok, Islam Politik,
dan
Narasi Demokrasi di Indonesia
Imam Subkhan ; Mahasiswa
doktoral University of Washington, Amerika Serikat bidang Antropologi
Politik; Penerima Beasiswa Presiden
Republik Indonesia LPDP
|
DETIKNEWS, 27 April 2017
Seperti sebuah
paduan suara, semua pemberitaan media Barat khususnya di Amerika Serikat
tentang kekalahan Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017 di-frame dalam sebuah
alunan nada yang sama. Bunyi redaksinya bisa dikemas berbeda-beda, namun
narasinya tunggal. Sebagai contoh, The Wall Street Journal (19/4) mengangkat
judul: Islamist-Backed Candidate Ousts
Jakarta's Christian Governor (Kandidat
yang didukung kelompok Islamis menjungkalkan Gubernur Kristen Jakarta).
The New York
Times (19/4): Jakarta Governor Concedes
Defeat in Religiously Tinged Election (Gubernur Jakarta mengakui kekalahan dalam Pemilu yang diwarnai isu
agama) , sementara USA Today (19/4): Muslim
voters oust Jakarta's Christian governor (Pemilih Muslim menjungkalkan Gubernur Kristen Jakarta).
Setidaknya ada
tiga narasi yang dikembangkan terkait dengan kekalahan Ahok-Djarot dalam
Pilkada DKI Jakarta. Pertama, kemenangan Anies-Sandi dianggap
merepresentasikan kemenangan Islam politik dalam panggung politik Indonesia.
Islam politik yang dimaksud di sini adalah praktik politik praktis dengan
menggunakan sentimen, ideologi dan identitas Islam sebagai instrumen untuk
meraih kemenangan.
Sentimen ini
semakin kokoh dan mendapatkan legitimasi moral karena Ahok beragama Kristen
yang minoritas dan tengah diadili karena kasus tuduhan penistaan agama.
Kedua,
implikasi dari menguatnya wajah Islam politik di Jakarta adalah memberikan
angin segar bagi kelompok Islamis untuk mengartikulasikan ideologi mereka di
ruang publik. Kelompok Islamis yang selama ini bergerak di wilayah pinggiran
negara beringsut masuk dalam struktur negara, bahkan bisa menjadikan negara
sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Ketiga, hal
yang kemudian banyak dikhawatirkan oleh para pengamat Indonesia akibat
dominasi kaum Islamis dalam ruang publik adalah meningkatnya kecenderungan
intoleransi dalam kehidupan berbangsa. Dan, indikasi itu dianggap sudah
nampak dan dipraktikan sepanjang musim kampanye Pilkada Jakarta lalu.
Kekhawatiran
dan representasi media Barat soal masa depan demokrasi Indonesia tentu saja
tidak dapat dilepaskan dari konteks global, terutama bangkitnya politik
konservatisme di Amerika dan Eropa. Strategi yang dikembangkan oleh lawan
Ahok-Djarot dipandang menduplikasi apa yang dilakukan oleh Trump di Amerika dengan
membangkitkan sentimen dan politik identitas terutama ras dan agama untuk
meraih kemenangan yang terbukti efektif.
Dalam
pandangan mereka, bangkitnya politik identitas di negara mayoritas muslim
seperti di Indonesia bisa mengancam demokrasi. Demokrasi semestinya lebih
bertumpu pada kebebasan dan kemerdekaan menjatuhkan pilihan secara rasional
dalam memilih pemimpin politik yang akan mengelola urusan publik.
Penghargaan
dan hukuman terhadap pejabat publik yang diwujudkan dalam keterpilihan atau
ketidakterpilihan elektoral semestinya didasarkan pada kinerja, bukan pada
identitas agama. Dengan cara ini maka demokrasi akan menghasilkan
kebermanfaatan maksimum bagi kepentingan publik.
Indonesia
selama ini sering dipromosikan dan diusung sebagai bukti dan contoh par excellence bahwa Islam dan
demokrasi bisa bertemu dan tidak saling bertentangan sebagaimana
dikhawatirkan sebagian orang di Barat. Praktik demokrasi di Indonesia yang
bisa sejalan dengan Islam menurut Hefner (2000) dapat terjadi karena ditopang
oleh adanya kekuatan civil Islam.
Kekuatan civil
Islam inilah yang menghalau mitologi negara Islam dengan terus mempromosikan
toleransi, dan Pancasila sebagai ideologi negara. Oleh karena itu kebangkitan
Islam politik yang didukung kelompok Islamis bukan saja berpotensi mengancam
Islam toleran di Indonesia, namun juga pada gilirannya mengancam demokrasi
Indonesia.
Demokrasi
Indonesia sebagaimana diindikasikan oleh Bubandt (2014) memang selalu
mengandung kontradiksi yang dibalut berbagai ironi dan paradoks. Demokrasi
Indonesia menurutnya justru dicapai melalui praktik-praktik non-demokratis
yang keduanya saling mereproduksi. Selama musim kampanye kita menyaksikan
berbagai cara tidak demokratis ditampilkan oleh kedua kubu dalam bentuk
politik uang, intimidasi dan politik identitas.
Tapi,
sebagaimana disampaikan Giora Eliraz, Indonesianis dari The Hebrew University
of Jerusalem dalam diskusi soal kasus Ahok dua minggu lalu di University of
Washington, penglihatan politik Indonesia dari dekat dan sesaat seolah-olah
akan menampilkan gambaran demokrasi yang bergerak mundur. Namun, jika
mencandranya dari atas dan dari horison sejarah yang lebih luas maka justru
menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia terus bergerak maju dan mantap.
Di sinilah
kemudian kekhawatiran, representasi dan narasi yang disuguhkan media Barat
soal masa depan demokrasi Indonesia kurang mendapatkan relevansinya. Memang
benar bahwa kecenderungan sikap intoleransi menguat belakangan, namun itu
lebih merupakan reaksi sesaat dalam dinamika politik Pilkada Jakarta.
Warga Jakarta
dan Indonesia sudah ratusan tahun memiliki modal dan kelenturan sosial hidup
damai dalam keragaman yang perlu terus dirawat. Dan, ini akan semakin
mendapatkan pengokohan jika Anies-Sandi bergerak atas nama konstitusi, bukan
representasi kelompok tertentu dalam kebijakan pemerintahannya nanti.
Sikap optimisme inilah yang harus terus disuarakan untuk
memastikan civil Islam dan kerja peradaban tidak tenggelam oleh dinamika
politik yang dangkal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar