Demokrasi
Tanpa Partai Politik
Adi Prayitno ; Dosen
Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 18
Mei 2017
Maraknya korupsi yang dilakukan politisi Senayan memaksa kita
berpikir ulang soal pentingnya partai dalam sistem politik demokratis. Kasus
korupsi KTP elektronik yang baru-baru ini menguap menyeret sejumlah nama
beken tokoh partai politik. KPK baru mencokok Senator Miryam S Haryani
sebagai pesakitan kasus korupsi KTP elektronik. Praktik korupsi yang terjadi
berulang di parlemen ini melegitimasi miskinnya komitmen partai politik dalam
jihad melawan korupsi. Berbeda dengan Orde Baru, parlemen kini menjelma sebagai
institusi yang cukup digdaya (legislative
heavy) yang melahirkan keputusan politik strategis. Nyaris tak ada
keputusan penting tanpa melalui proses politik di gedung dewan. Termasuk
perekrutan pejabat publik yang tak bisa dilepaskan dari intervensi dan
pengaruh partai politik.
Oleh karena itu, jika diring - kus secara sederhana, baik
bu - ruk nya bangsa ini ditentukan sejauh mana partai politik mendesain
kadernya dengan baik untuk ditempatkan dalam pos jabatan-jabatan politik
strategis. Sejauh ini, partai politik menghadapi problem akut yang sama,
yakni tidak berfungsinya partai politik sebagai instru - men kepentingan
publik. Se - balik nya, partai politik malah men jelma sebagai alat kepen -
tingan kekuasaan belaka. Jauh sebelum korupsi KTP elektronik, korupsi serupa
telah membelit kader terbaik partai politik.
Sebut saja misalnya Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh,
Emir Moeis, Andi Mallarangeng, Lutfi Hasan Ishaq, Ratu Atut Chosiyah, Anas
Urbaningrum, Patrice Rio Capella, Dewie Yasin Limpo, dan lain sebagainya yang
berurusan dengan komisi antirasuah Bak mata rantai yang sukar diputus,
korupsi melibatkan setiap elemen partai politik lintas fraksi dan komisi. Tak
peduli Islam, Nasionalis, mau - pun Nasionalis Religius, partai politik
menjadikan korupsi layaknya ‘ritual’ yang bisa di - lakukan kapan saja.
Sistemnya pun terbangun kondusif untuk melakukan korupsi.
Belakangan, banyak per - tanya an kritis mengalir deras soal pentingnya
partai politik sebagai elemen penting dalam demokrasi. Pertanyaan lain,
mampukah demokrasi ber - semai indah nir partai politik? Jawabannya mudah.
Demo - krasi bisa dibangun tanpa partai politik. Selama ini, kita hidup
pasrah dalam kungkungan kuasa ‘rezim’ partaipolitik. Tanpapartaipo litik,
demokrasi seakan tak ber makna.
Sebab itu, tak berlebihan jika dalam studi ilmu politik
terdapat satu doktrin bahwa partai politik merupakan pilar penting ter -
wujudnya demo krasi. Dalam kondisi normal, dok - trin politik di atas me ne
mu - kan relevansinya di berbagai negara se - lama berabadabad, ter masuk di
Indonesia. Me - lalui partai po - litik, calon-calon terbaik pemimpin masa
depan dapat dilahirkan. N a m u n , dalam konteks te rtentu, dok - trin
partai po - litik sebagai kam piun demo - krasi perlu diko - reksi ulang.
Bu - kan semata si - fat nya yang oli - g ar kis, me lain
- kan lebih pada pe - rilaku koruptif kader - nya. Apa guna partai po litik
jika hanya me lahir kan ka der korup yang me rusak tatanan demo krasi kita.
Pada tahap inilah, penting mewacanakan kembali bagai - mana membangun sistem
de - mo krasi tanpa partai politik. Sudah saatnya kita mulai mening - gal kan
partai politik dalam ke - hidupan politik.
Dua Skenario
Dalam sistem politik demo kratis apa pun bisa terjadi. Termasuk
membangun demokrasi tanpa partai politik sangat mungkin bisa dipraktikkan di
masa mendatang. Setidaknya ada dua skenario yang bisa dilakukan. Pertama,
demokrasi bisa dibangun melalui tiga unsur penting, yakni negara
(pemerintah), civil society, dan rakyat. Tiga komponen ini bisa menjadi pilar
utama bagi pembangunan demokrasi. Jika rakyat tak lagi bisa menitipkan masa
depannya kepada partai politik, civil society bisa menjadi saluran alternatif
untuk mengomunikasikan kepentingan rakyat dengan pemerintah .
Organisasi formal maupun nonformal berbasis sosial seperti
relawan kemanusiaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat, media massa, mahasiswa,
dan lembaga lain sejenis bisa menjadi penyambung lidah kepentingan rakyat.
Pasca reformasi, kehadiran civil society nyatanya lebih terasa ketimbang
partai politik da lam menyalurkan aspirasi rakyat. Ele men civil society juga
hadir dalam setiap keluh-kesah kehidupan rakyat.
Bandingkan dengan partai politik yang hadir jelang pemilu saja.
Di luar itu, kita juga memiliki prototype senator seperti Dewan Perwakilan
(DPD) yang bisa mengaksentuasikan kepentingan rakyat secara langsung. Selama
ini, partai politikme monopoli agregasi kepentingan yang tak efektif. Ke
depan, regulasi kita juga harus diubah untuk mengakomodasi calon pemimpin
publik yang bukan dari partai politik. Meminjam frasa Larry Diamond dan
Richard Gunther dalam Political Parties and Democracy (2001), partai politik gagal
sebagai agregator kepentingan publik.
Dalam sistem demokratis, sejatinya, partai politik
menjelma menjadi representasi kepentingan rakyat, bukan malah sibuk menumpuk
kekuasaan seraya abai terhadap persoalan kerakyatan. Kedua, pilihan yang
cukup ekstrem, yakni demokrasi cukup dibangun oleh rakyat dan pemerintah. Di
tengah kemajuan teknologi informasi, rakyat tak perlu lagi secara birokratis
menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah melalui partai politik maupun
civil society.
Kecanggihan teknologi informasi nyatanya memberi kan
kemewahan dalam kehidupan politik kita. Rakyat bisa curhat langsung kepada
penguasa melalui akun Facebook, Twitter, Instagram, maupun layanan media
sosial lain yang tersedia 24 jam. Fenomena rakyat berkomunikasi langsung
dengan penguasa juga terpotret dari kemenangan Joko Widodo (Jokowi) saat
pilpres 2014 lalu. Awalnya, Jokowi bukan siapasiapa, ha nya Wali Kota Solo
biasa dengan prestasi seadanya. Ia bukan ketua umum partai, bukan pula
ningrat.
Namun, rakyat telanjur menambatkan pilihan hatinya kepada
sosok Jokowi. Pilihan rakyat secara langsung memaksa politisi gaek bertekuk
lutut di bawah pesona Jokowi. Bahkan, meng elimi nasi banyak ketua umum
partai politik yang berulang kali ngebet ingin jadi presiden. Artinya, rakyat
sudah menjadi aktor utama dalam menentukan keputusan politik nasional. Rakyat
tak perlu lagi berada di bawah subordinasi kepentingan partai politik
tertentu.
Termasuk soal kritik kebijakan bisa disampaikan langsung
kepada pemerintah melalui media sosial yang tersedia. Pada titik ini, partai
politik akhirnya hanya menjadi orna - men demokrasi karena sebatas menunaikan
kewajiban undang-undang. Sementara eksistensinya mulai diabaikan. Kecuali,
kita bisa mengubah regulasi serta menghapus klausul keharusan calon pemimpin
dari partai politik. Maka, pada saat itulah partai politik akan punah dengan
sendirinya.
Oleh karena itu, selama partai politik belum kembali pada
jalur tradisional sebagai alat kepentingan publik, selama itu pula rakyat
akan meninggalkan partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika perekrutan kader partai politik tidak didasarkan pada integritas, selama
itu pula rakyat akan menghukum partai politik. Jika tidak berbenah, sudah
saatnya rakyat membangun demokrasi tanpa ke hadiran partai politik. ●
|
(Mohon maaf karena
proses editnya belum diselesaikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar