Demokrasi
dan Populisme Islam
Zuly Qodir ; Sosiolog
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
Warga Muhammadiyah
|
KOMPAS, 18 Mei 2017
Saat Musim Semi Arab 2013 terjadi di Mesir dan beberapa
negara Timur Tengah, banyak pengamat berspekulasi akan terjadi gelombang
demokrasi di negara-negara Arab dan negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Tidak terkecuali di Indonesia.
Timur Tengah bergolak ketika gelombang demonstrasi
menuntut perubahan dari rezim otoriter menjadi terbuka dan non-kekerasan.
Kaum muda bergerak memimpin demonstrasi di jalan-jalan, kampus, serta
lapangan. Banyak orang bertanya, akankah ”Musim Semi Arab” menjalar ke
Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia?
Tradisi politik otoritarian memang menjadi penyumbang
gelombang dan ekspresi demokrasi di semua negara. Tidak terkecuali di Timur
Tengah dan Indonesia era Orde Baru. Saat ini kita berada dalam era ”serba
terbuka”, bahkan nyaris liberal, sehingga membedakan mana gerakan demokrasi
substansial dan artifisial politik kadang menjadi sulit.
Populisme yang dibajak
Populisme Islam mengentak di Indonesia sejak Reformasi
1998. Aktivitas demonstrasi massal hampir tidak pernah absen sepanjang tahun.
Dari merespons masalah-masalah lokal sampai internasional, dari hal
remeh-temeh sampai politik identitas.
Fenomena populisme Islam menjadi perhatian banyak ahli
gerakan Islam dengan pembacaan yang sangat variatif. Namun, agaknya, ada yang
terlewatkan dari pengamat, yakni gelombang semacam ini sebenarnya gelombang
pasang yang sifatnya reaksioner, tidak mendasar.
Oleh sebab itu, berharap pada populisme Islam sebagai
gelombang demokrasi substansial masih jauh api dari panggang. Bahkan, yang
tampak adalah gerakan demonstrasi populisme Islam ini hanya gerakan massa
yang sebenarnya ”ditunggangi, bahkan dibajak” para elite yang kehilangan karisma,
kesempatan, dan kekuasaan di Tanah Air.
Jika itu yang sesungguhnya terjadi, populisme Islam yang
belakangan ini terjadi dalam berbagai aksi demonstrasi hanyalah bagian dari
artikulasi politik kaum elite politik dengan ”memanfaatkan” kelas rakyat yang
sering didera pelbagai penderitaan sosial-ekonomi.
Kita dapat menyaksikan betapa gelombang demonstrasi yang
dikatakan sebagai gerakan populisme Islam ternyata langsung berhenti ketika
agenda politik yang digelorakan telah tercapai. Peristiwa pilkada serentak di
Indonesia, Jakarta dan Yogyakarta, adalah contoh paling aktual dalam hal
gerakan populisme Islam. Dugaan saya, saat pilkada serentak 2018 digelar,
gelombang populisme Islam akan digelorakan kembali. Melelahkan dan
menyesakkan bukan?
Politik dibalut kesalehan
Gerakan populisme Islam sering kali memberikan sinyal
negatif antara kesalehan seseorang yang beragama dengan interes politik yang
membalutnya.
Seorang yang menganut Islam, sebagaimana kita ketahui,
harus mengedepankan sifat-sifat rahmatan lil alamin, seperti musyawarah,
dialog, tidak mencaci maki, tidak menghujat, dan tidak menghukum sembarangan.
Namun, karena kehendak politik, ia tidak segan-segan menghukum orang yang
berbeda pilihan, sekalipun sesama Muslim. Di sini sifat utama Islam yang
rahmatan lil alamin menjadi jargon politik semata!
Kesalehan yang diajarkan Islam akhirnya benar-benar
tertutup oleh ambisi politik pribadi, tetapi mengatasnamakan aspirasi umat
Islam. Keangkuhan pribadi menjadikan orang yang berbeda sebagai musuh. Ambisi
pribadi akhirnya membuat gelap mata dan buta akan kearifan pihak lain. Liyan
adalah musuh yang harus dimusnahkan.
Gelombang populisme diarahkan agar menohok lawan politik.
Populisme Islam diarahkan untuk menghukum seluruh kebijakan politik orang yang
sejak awal tidak didukung dalam politik. Lawan politik akan dijadikan
bulan-bulanan di kampus, pengajian, khotbah, dan pertemuan partai. Hal yang
paling mengerikan adalah mengarahkan populisme Islam sebagai metode
menggerakkan masyarakat untuk menjatuhkan rezim yang sedang memimpin karena
dianggap tidak sesuai dengan kehendak dan ambisi politiknya.
Namun, harus segera kita sadari, sejatinya yang akan
terjadi pada sosok manusia semacam ini bahwa ia akan segera melupakan
dukungannya pada seseorang ketika orang yang dianggap ”dapat menjadi wali”
atau mewakili aspirasinya ternyata tidak bersedia disetir dan diarahkan
seperti ambisi politiknya. Pada akhirnya, orang yang semula didukung akan
segera dijadikan musuh, dijatuhkan, bahkan dimusnahkan!
Itulah yang mengkhawatirkan kita. Gelombang populisme
Islam yang semu sedang terjadi. Hal ini karena sejatinya populisme tersebut
merupakan ambisi kelompok kecil elite yang terus didengungkan, seakan-akan
sebagai aspirasi umat yang besar. Pemerintah yang sedang memimpin akan terus
dianggap mengecewakan aspirasi.
Sementara orang yang mengingatkan agar tidak perlu
melakukan pemaksaan perubahan rezim politik (take over) atau kudeta politik malah dianggap tidak waras, tidak
peka dengan aspirasi umat yang besar. Pihak yang tidak bersedia mengikuti
ambisi politiknya akan dinyatakan dengan garang telah habis dan akan habis
karena kesabaran umat telah habis!
Dengan gambaran seperti itu, maka yang sebenarnya terjadi
adalah arus besar yang diam karena takut untuk bertabrakan dengan sesama
warga negara. Apa yang dilakukan oleh kelompok silent majority ini juga
berbahaya karena seakan-akan negara ini benar-benar sedang dipimpin oleh
mereka yang memiliki ambisi politik sangat besar.
Arus besar yang diam ini juga berbahaya karena turut serta
menyumbangkan adanya stigma bahwa Indonesia adalah negara teror, negara
kudeta, negara anti- dialog, serta anti-penegakan hukum kecuali hukum
jalanan.
Demokrasi jalanan
Jika demikian adanya, jangan disalahkan jika kita
sebenarnya sedang dalam gelombang demokrasi jalanan. Demokrasi yang
dikendalikan melalui demonstrasi besar-besar, yang sejatinya adalah ambisi
kelompok elite demi memenuhi ambisi politik pribadinya.
Demokrasi kita dengan demikian menjadi demokrasi yang
tersandera oleh gelombang populisme Islam sebagai mayoritas penduduk
Indonesia yang digerakkan oleh kelompok-kelompok sakit hati—karena ambisi
politiknya tidak tercapai—tetapi atas nama aspirasi umat.
Oleh karena itu, kini saatnya silent majority bergerak
bersama-sama untuk menyelamatkan Indonesia jangan sampai tercabik-cabik hanya
karena ambisi politik elite, tetapi mengatasnamakan umat yang besar. Silent
majority harus bersinergi dengan kekuatan bangsa lainnya untuk menjadi
”penjaga gawang” republik. Republik ini tak bisa diserahkan kepada sekelompok
kecil (elite) yang tidak puasa karena ambisi politiknya tidak tercapai.
Silent majority juga harus bergerak menghentikan gelombang gerakan yang
hendak mengubah Indonesia sebagai NKRI menjadi khilafah Islamiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar