Meminjam
Mandela
Meuthia Ganie-Rochman ; Ahli
Sosiologi Organisasi dan Politik Pembangunan; Mengajar di Departemen
Sosiologi UI
|
KOMPAS, 18 Mei 2017
Seorang jurnalis senior BBC yang sering mewawancara
pemimpin dunia, suatu kali ditanya, siapakah pemimpin yang paling dia kagumi.
Jurnalis itu tanpa ragu menjawab, Nelson Mandela.
Pemimpin Afrika Selatan ini, menurut dia, punya metode
kepemimpinan unik, membuat dirinya dan mengajak orang lain untuk selalu
mempertanyakan asumsi-asumsi yang kita pegang. Mungkin ini salah satu
metodenya yang berhasil membawa transformasi Afrika Selatan yang baru bebas
dari apartheid, yang membuat penduduk kulit hitam dan kulit putih terbelah. Ia
harus menyatukan negara baru tersebut dengan menghilangkan luka, kecurigaan,
prasangka, inferioritas, dan kemarahan sebelum melakukan pembangunan negeri.
Pendekatan Mandela sangat relevan untuk mengatasi
polarisasi sosial yang kian tajam saat ini antara kelompok pro-Basuki Tjahaja
Purnama (Basuki) dan yang sebaliknya, antara yang sangat kritis dengan
pemerintahan sekarang dengan yang menginginkan pemerintahan berjalan stabil
dan fokus pada pembangunan, dan antara yang menginginkan ajaran Islam masuk
dalam pengaturan negara dengan yang menginginkan Indonesia sebagai negara
berketuhanan, tetapi tidak dengan satu agama tertentu menjadi dominan.
Bahaya pembelahan
Pada titik ini situasi polarisasi sudah pada tahap
mengkhawatirkan. Indikatornya, sudah terjadi kanalisasi di arena publik dan
media sosial. Pihak dengan posisi masing-masing tak mau mendengar pandangan
yang bukan berasal dari kelompoknya. Bukan hanya mendengar, bahkan para pihak
ikut memproduksi atau menjadi bagian dari penyebaran pandangan yang
membenarkan posisinya dan hanya menjelekkan pihak lain. Telah hilang jembatan
pertukaran pandangan.
Bahaya pembelahan ini sungguh besar. Polarisasi akan
menghilangkan parameter prasyarat di mana suatu negara harus tetap bertahan,
yaitu kestabilan berjalannya pemerintahan. Orang boleh tak puas dengan suatu
pemerintahan.
Sejarah politik pembangunan penuh dengan pelajaran bahwa
suatu pemerintahan dak akan lepas dari kritik, bahkan pemerintahan yang
reformis sekalipun. Namun, kritik dan kontrol agar menjadi efektif adalah
dengan cara yang kompeten dan tanpa menggerogoti alasan keberadaan (raison d’etre) pemerintahan yang
sedang duduk.
Pemerintah, dalam konsep negara modern, selalu memegang
otoritas dalam pengaturan publik. Dengan sistem demokratis, mereka harus
dapat menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan kepentingan rakyat.
Akuntabilitas dicapai melalui berbagai mekanisme yang
membuat kelompok masyarakat dapat mendengar alasan mengapa suatu kebijakan
diambil. Karena itu, terciptanya kelompok masyarakat yang kompeten juga harus
ada dalam menjaga akuntabilitas ini.
Polarisasi akan membuat arena publik yang rasional tak
bekerja. Orang akan tak mau mendengar media publik tertentu karena bukan
berasal dari kelompoknya. Karena itu, terjadi penciutan sumber informasi di
tiap kelompok. Mereka akan menerima tanpa kritis apa yang diperoleh atau yang
dianggap sesuai posisinya.
Kondisi ini akan dimanfaatkan berbagai pihak yang punya
kepentingan. Situasi ini akan mempermudah mereka mendapat keuntungan yang tak
sama dengan keinginan rakyat. Secara garis besar pihak itu dikategorikan
sebagai pihak yang mendapat pengaruh politikserta posisi dari proses ini dan
mereka yang mendapat keuntungan material dari menciptakan berita sensasional
(hoaks terlatih).
”Construction of mismatch”
Saya terpaksa menggunakan bahasa Inggris. Penjelasannya,
adalah proses penguatan logika akibat interaksi sosial yang dihasilkan dari
salah paham.
Dalam kasus polarisasi saat ini, pembesaran masalah di
arena publik dimulai saat kasus tuduhan penodaan agama oleh Basuki. Sejumlah
anggota masyarakat menginginkan Basuki mendapat sanksi. Sejalan dengan
proses, masuk dalam kelompok ini berbagai golongan. Pertama, kelompok yang
berdasarkan keyakinan agamanya merasa Basuki telah melukai mereka. Kedua,
kelompok yang punya kepentingan politik dan material dengan tersingkirnya
Basuki, baik jangka pendek maupun panjang. Ketiga, kelompok yang merasa
pemerintahan sekarang tak mendorong keadilan ekonomi dengan memberi ruang
sebesar-besarnya bagi pemodal besar, disertai gagasan tentang kemungkinan
dominasi kekuatan ekonomi tertentu.
Ada beberapa kelompok yang menginginkan Basuki. Pertama,
kelompok yang sebenarnya khawatir dengan cara pengelolaan keberagaman di
Indonesia. Berbagai data menunjukkan sejak beberapa tahun terakhir terjadi
peningkatan tindakan intoleran. Sesungguhnya kekhawatiran kelompok ini
berkembang sejak masa Orde Baru akibat kelemahan dan abainya negara dalam
memperbaiki kerangka pengelolaan keberagaman.
Ada juga sebab dari kelemahan organisasi masyarakat
sendiri yang jarang menjadi organisasi yang baik dalam pengelolaan
masalah-masalah kemasyarakatan. Kebanyakan ormas jalan di tempat, kurang
sumber daya dan pengetahuan, serta kurang mampu meningkatkan manfaat
berjaringan. Bagi kelompok yang khawatir ini, penyingkiran Basuki dipandang
sebagai simbol menguatnya politik SARA.
Dalam kelompok yang disebut sebagai ”pro-Basuki” masuk
kelompok yang memandang perbaikan tata kelola publik adalah hal yang sangat
penting dalam kemajuan kota dan masyarakat. Basuki adalah simbol pemimpin
yang berani melakukan perubahan transparansi anggaran.
Bagi mereka, melawan korupsi adalah bagian paling sulit
yang amat jarang dilakukan banyak politisi dan pemimpin.Tentu ini berkaitan
dengan lelahnya masyarakat pada kasus korupsi yang terus dilakukan para
politisidan pejabat publik di negara ini.
Proses construction
of mismatch terjadi. Namun, kita harus membedakan antara kelompok yang
dapat dikatakan murni percaya atas persoalan kepentingan mereka, dengan
kelompok kepentingan yang mengambil manfaat diri/kelompok sendiri.
Golongan yang murni merasa bahwa menjatuhkan Basuki adalah
soal kalahnya rasionalitas pengelolaan publik. Juga di sini ada kelompok yang
merasa khawatir dengan nasib mereka sebagai minoritas. Kelompok yang terakhir
ini berjuang di wilayah publik untuk isu keberagaman.
Mereka berhadapan dengan kelompok yang murni khawatir
dengan apa yang mereka bayangkan sebagai nasib umat Islam. Tentu dalam hal
ini sudah terjadi mismatch dalam komunikasi.
Tahap yang belum terlalu parah pada awalnya menjadi buruk
dengan masuknya kelompok yang punya kepentingan politik dan material sempit.
Ada beberapa cara pembelokan masyarakat dari argumen yang
sehat. Pertama, mengangkat isu nilai dan identitas, tetapi dengan cara
menghilangkan isu tata kelola publiknya serta bagaimana proses pembangunan
itu sesungguhnya berlangsung.
Kedua, mendeligitimasi apa pun yang mungkin berperan
sebagai jembatan dari kelompok masyarakat yang berbeda, misalnya mengolok dan
membantah tokoh masyarakat yang sebelumnya sangat dihormati, kaum intelektual
dan akademisi, serta media massa.
Ketiga, menciptakan berita bohong dan dipelintir.
Teknologi informasi dengan media sosialnya, click is cheap, artinya mudah sekali mendorong orang ikut
bersuara tanpa berpikir lagi. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya tingkat
baca masyarakat Indonesia dan sistem pendidikan yang termasuk buruk di Asia
Tenggara. Kebiasaan membaca adalah prasyarat awal untuk mendapat kesempatan
terekspos pada perspektif yang berbeda.
Peran kaum intelektual
Peran mereka sangat penting dalam menjaga dan menciptakan
rasionalitas dalam berpikir dan berpendapat. Sangat disayangkan sebagian
justruikut menyumbang proses construction
of mismatch. Hal ini akibat lemahnya konstruksi pengetahuan mereka
sendiri atau karena adanya kekhawatiran tertentu yang membuat mereka terlihat
tak kritis pada posisi tertentu. Mereka sebenarnya bagian penting dari proses
jika ingin memperbaiki keadaan bangsa.
Seharusnya, di tengah polarisasi ini, mereka fokus saja
pada dua hal pokok: kestabilan sistem demokrasi dan masa depan pengelolaan
keberagaman Indonesia. Selain itu, mereka juga bukan hanya bisa mendesak,
tetapi juga membantu pemerintah membuat mekanisme keadilan ekonomi dan
sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar