Vonis
Ahok dan Rezim HAM Internasional
Fajri Matahati Muhammadin ; Dosen
Departemen Hukum Internasional,
Fakultas Hukum, Universitas
Gadjah Mada
|
REPUBLIKA, 16 Mei 2017
Ramai pemberitaan ketika Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) mengkritik vonis kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok. PBB meminta Indonesia meninjau dan tentu mencabut
pasal penistaan agama yang menjerat Ahok. Inipun bukan pertama kalinya
Indonesia kena 'panggang' di PBB karena masalah HAM. Bagaimana menyikapinya?
Masalah ini sangat kompleks, khususnya
dalam berusaha memahami rezim hukum HAM internasional. Berangkat dari
konstruk berfikir yang sekuler dan Eropa-sentris, kriminalisasi penistaan
agama adalah dianggap pelanggaran kebebasan berekspresi. Penistaan agama
tidak eksplisit disebut dalam instrumen HAM Internasional antara lain
Deklarasi Universal HAM, ICCPR, dan semisalnya, tapi tertulis dalam General
Comments yaitu dokumen yang disusun oleh Komite HAM PBB.
Menarik untuk dicatat bahwa sebuah Konvensi
HAM butuh diratifikasi dulu sebelum mengikat kepada sebuah negara, dan sudah
mafhum bahwa ratifikasi dilakukan melalui prosedur di hukum nasional
masing-masing negara agar dapat selaras dengan kepentingan negara tersebut.
Mengapa ketika sebuah komite kecil mengeluarkan dokumen (yang tidak mengikat
secara formal) bisa langsung dianggap penafsiran otoritatif yang satu
kesatuan dengan konvensinya tadi dan mengikat bagi negara-negara?
Sebegitu mudahnyakah terkikisnya kedaulatan
negara oleh sebuah komite kecil, walaupun demikian kompleks dan
komprehensifnya mandat sebuah negaranya untuk mengikuti rakyatnya sendiri?
Ataukah penafsiran yang dilakukan oleh komite ini adalah penafsiran yang
sifatnya universal?
Begitu populer dan meyakinkan klaim
'universalitas' ini. Padahal banyak sekali subrezim hukum HAM, seperti di
Eropa, ASEAN, bahkan Organisasi Konferensi Islam, yang memiliki khasnya
masing masing. Memang semua instrumen tersebut merujuk pada instrumen HAM
Internasional (seperti Deklarasi Universal HAM, ICCPR, dan lainnya), tapi
batasan 'tidak melanggar instrumen internasional' kenyataannya terkadang
tidak jelas.
Perdebatan batas-batas HAM banyak yang
akhirnya bermuara pada worldview. Hal ini adalah perkara filosofis yang
secara hakikat tentu bukan masalah hukum, tapi jelas akan sangat berpengaruh
dalam aliran penafsiran dan penerapan hukum. Ketika rules dalam hukum ada
yang bertentangan, maka diselesaikan dengan asas-asas hukum. Ketika asas-asas
hukum ini pun bertentangan, diselesaikan dengan nilai-nilai. Ketika nilai-nilai
bertentangan? Hukum tidak punya solusi. Apakah di sini memang sewajarnya
harus terjadi clash of civilizations?
Dalam konteks clash inilah, misalnya, Helen
Quane menyebut bahwa sebuah rezim hukum agama boleh saja memiliki pemahaman
dan penafsiran sendiri terhadap HAM. Asalkan, menurut beliau, pemahaman dan
penafsiran tersebut harus sesuai dengan hukum internasional. Hal ini hanya
masuk akal menurut kerangka berfikir sekuler yang, sebagaimana ditulis Syed
Naquib Al-Attas, lahir dari pengalaman Nasrani-Eropa. Apakah ideologi yang
lahir dari pengalaman spesifik regional seperti ini dapat dipaksakan secara
universal?
Barangkali di sinilah perlu diamati
pandangan-pandangan kritis terhadap hukum internasional secara umum. Misalnya
pandangan Anthonie Anghie yang melihat bahwa kolonialisme adalah isu sentral
pada pembentukan hukum internasional modern di abad pertengahan. Apakah era
dekolonialisasi memberikan kesempatan yang adil untuk para eks-jajahan untuk
berpartisipasi dalam pembentukan norma-norma hukum internasional?
Secara formal positif mungkin ya, mengingat
ratifikasi hampir universal. Tapi apakah prosesnya adil? Ataukah
jangan-jangan kita kembali pada rezim hukum alam ala Fransisco de Vitoria
yang dulu menjustifikasi penjajahan Spanyol terhadap suku Indian dengan
argumen: ‘memberadabkan’ (dengan standar ‘keberadaban’ yang dibuat sendiri
oleh negara-negara Eropa)?
Khusus soal HAM, apakah betul argumen yang
diajukan Benoit Mayer? Beliau menyebut bahwa rezim HAM Internasional dibuat
oleh sebuah konsensus semu (istilah beliau ‘magic circle’) yang hanya
melibatkan sebuah lingkaran elite kecil dan mengesampingkan mayoritas lainnya
dalam pengembangan norma-norma HAM. Memang, misalnya, mantan Hakim Mahkamah
Internasional (MI) Awn Al-Khasawneh menyebut bahwa memang MI dalam beberapa
kasus tampak cenderung lebih suka berpegang pada teori asal barat tentang
hukum internasional dan menolak selainnya.
Jangan-jangan sebenarnya masih sangat
relevan diskursus terhadap perkataan John Austin pada abad-19: tidak ada yang
namanya hukum internasional melainkan hanya ‘moral internasional’ saja?
Panjang sekali kalau mau membicarakan diskursus hukum internasional seperti
ini, yang akan berimplikasi pada pandangan soal HAM, PBB, dan lain
sebagainya.
Mari kita sekarang melihat Indonesia.
Indonesia turut serta dalam Deklarasi HAM ASEAN dan Deklarasi Kairo tentang
HAM dalam Islam. Kedua deklarasi ini mengakomodasi konsep HAM internasional
dalam penafsiran yang lebih sesuai dengan nilai-nilai di ASEAN dan Islam, dan
mungkin lebih sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia. Tapi di
saat yang sama, Indonesia juga meratifikasi instrumen instrumen HAM
internasional dengan nyaris tanpa pengecualian maupun catatan. Padahal,
banyak pasal yang akan bertentangan dengan hukum nasional.
Misalnya, Pasal 19 ICCPR tentang kebebasan
berekspresi. Ada baiknya dilakukan pengecualian (atau dalam terminologi
perjanjian internasional: reservation) secara terkualifikasi dalam konteks
tertentu, yaitu antara lain penistaan agama yang esensial bagi nilai-nilai
hukum di Indonesia. Akan tetapi, dalam meratifikasi ICCPR Indonesia tidak
melakukan pengecualian dan menerima hampir semua norma. Hanya pada Pasal 1
tentang right of self-determination saja Indonesia melakukan deklarasi untuk
membatasi maknanya agar mencegah pasal ini disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang menyuarakan agenda-agenda disintegrasi.
Contoh lain adalah konvensi yang menuntut
kesetaraan hak laki laki dan perempuan yaitu CEDAW. Tujuan ini tidak masalah
dalam hukum Indonesia. Tapi, apakah 'setara' harus berarti 'sama'? Pasal 16
CEDAW menuntut persamaan dalam hukum keluarga. Ini berbeda dengan hukum
keluarga Indonesia yang memberikan hak dan kewajiban yang mungkin tidak sama
tetapi setara, sesuai nilai-nilai agama dan adat istiadat. Entah mengapa
Indonesia tidak melakukan pengecualian terhadap pasal ini, mengingat lebih
dari 20 negara lain (termasuk Malaysia, Israel, Irlandia, dan United Kingdom)
pun melakukan pengecualian terhadap pasal ini baik sebagian atau seluruhnya.
Daftar contoh ini tidak akan habis. Ini
belum lagi kita bahas masalah-masalah lain misalnya dalam perkara yang
terkait nilai nilai agama. Isu agama ini mungkin dianggap primordial oleh
pemikir-pemikir barat (tentu berlandaskan sekulerisme), padahal Ketuhanan
adalah sila pertama Pancasila. Ditambah lagi kekayaan budaya adat istiadat
Indonesia yang dapat mereka pelajari tapi akan sulit mereka pahami dan
maknai. Lebih banyak masalah akan lahir jika memandang dari sudut pandang
PBB.
Karena itulah, sungguh menarik situasi ini.
Di satu sisi, kita memiliki PBB yang kokoh memaksakan universalitas di dunia
yang tidak universal. Di sisi lain, kita memiliki Indonesia yang memiliki
nilai-nilai tersendiri dalam menghargai manusia yang sebagiannya berbeda
dengan PBB tapi secara hukum Internasional malah mengikatkan diri pada hukum
PBB tersebut dengan nyaris tanpa kecuali. Terjadilah benturan antara
setidaknya dua nilai yang sama-sama diakomodasi oleh peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Hubungan internasional memang penting,
sebagaimana diamanatkan antara lain oleh pembukaan UUD 45 "…ikut
melaksanakan ketertiban dunia…". Akan tetapi, Indonesia hanya perlu
berpartisipasi sepanjang hubungan internasional adalah selaras dengan
nilai-nilai bangsa ini yang tertanam dalam Pancasila dan UUD 45, yang mana
mungkin memang sebagian besarnya selaras. Tentu ada sebagian kecil
norma-norma hukum internasional –yang ternyata tidak seuniversal yang
diklaimkan— yang tidak selaras dengan nilai-nilai Indonesia. Tentu Indonesia
tidak perlu dan tidak boleh melaksanakan yang tidak selaras ini.
Ketidaksesuaian stance internasional dan
domestik Indonesia dalam nilai-nilai HAM adalah sangat disayangkan, dan harus
menjadi pertimbangan bagaimana ke depannya Indonesia berstrategi dalam keikutsertaannya
dalam pembentukan norma-norma HAM Internasional. Akan tetapi ketika
pertentangan keduanya terjadi dalam forum hukum domestik, sudah sewajarnya
Indonesia lebih mengedepankan nilai-nilai yang dianut oleh konstituennya.
Ketidakpahaman PBB terhadapnya bukanlah alasan untuk kita mulai goyah dari
nilai nilai ini, tapi bolehlah mereka berpendapat dengan nilai-nilai mereka
sendiri. Pada akhirnya: lakum diinukum waliyadiin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar