Mempromosikan
Demokrasi, HAM,
dan
Kesetaraan Gender di Indonesia (1)
Musdah Mulia ; Presiden
Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP); Dosen Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Mei 2017
TIDAK seperti wanita muslim di Timur Tengah, terutama di
negara-negara Arab, wanita muslim di Indonesia bebas melakukan aktivitas di
luar rumah. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, perempuan secara aktif
bekerja di sektor pertanian, terutama di sawah, berdagang di pasar,
perdagangan antarkota dan bahkan kepulauan, ada yang bekerja sebagai nelayan.
Wanita bekerja di semua sektor yang dilakukan pria. Banyak wanita bahkan
mengambil tanggung jawab keluarga mereka. Beberapa di antaranya menjadi
pemberi nafkah tunggal dalam keluarga.
Sebagian besar wanita Indonesia tidak dibatasi berada di
luar rumah dan tidak dipaksa memiliki muhrim (wali laki-laki). Wanita
terbiasa meninggalkan rumah tanpa muhrim. Banyak yang bahkan tidak mengerti
apa itu muhrim. Melihat wanita yang keluar sendiri adalah sesuatu yang sangat
umum, bahkan di malam hari.
Wanita di beberapa masyarakat Arab tidak bisa mengendarai
mobil dan terpisah secara seksual. Namun, di Indonesia, wanita bisa
mengendarai mobil, naik sepeda motor, dan bahkan menerbangkan pesawat. Mereka
juga mayoritas menempuh pendidikan hingga ke universitas. Banyak dari mereka
meyakini bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan selaras dengan
nilai-nilai Islam.
Dalam ranah agama, banyak perempuan secara aktif menjalankan
ritual keagamaan seperti ritual pernikahan, upacara kematian, perayaan
maulid, beberapa di antaranya menjadi anggota komite masjid dan banyak di
antaranya mempersiapkan rencana untuk umrah dan haji.
Dari segi busana, tidak semua wanita muslim mengenakan
jilbab. Kalaupun memakai jilbab, gaya jilbab biasanya sangat variatif dan
modis. Beberapa wanita bahkan memakai burka (jenis jilbab yang menutup
seluruh tubuh kecuali mata), tetapi gaya hidup mereka tetap aktif dan
dinamis. Jilbab sama sekali tidak membatasi aktivitas perempuan dan tidak ada
pemisahan antara pria dan wanita.
Pendapat pribadi saya tentang jilbab sangat jelas, itu
bukan kewajiban Islam, hanya sebuah tradisi. Bagi saya, mengenakan jilbab
adalah pilihan bebas. Jadi, mari kita hormati orang-orang yang memilih
memakai jilbab dalam bentuk apa pun dan pada saat yang sama kita harus
menghormati mereka yang memilih tidak memakainya.
Kesalehan seseorang tidak diukur dengan sehelai pakaian.
Islam mengajarkan kesalehan sebagai seorang muslim diukur dari kualitas
ketaatan religius mereka. Hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menilai, bukan
manusia.
Masalah utama wanita muslim Indonesia
Meskipun wanita muslim Indonesia tampak lebih bebas dan
mandiri, mereka menghadapi masalah yang lebih berat dan lebih bervariasi
daripada wanita muslim lainnya di dunia. Masalah pertama ialah kemiskinan.
Indonesia baru lepas dari rezim otoriter Orde Baru pada 1998 dan sejak itu
orde reformasi berusaha mewujudkan upaya-upaya demokratisasi.
Namun, upaya untuk menghilangkan kemiskinan tampaknya
berlangsung sangat lambat. Kemiskinan juga disebabkan pertumbuhan populasi
yang begitu cepat dan sulit bagi negara untuk mengelola populasi yang begitu
besar. Akibatnya, pelayanan publik terkait dengan air bersih, kebutuhan dasar,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan transportasi sangat buruk.
Kemiskinan juga merupakan produk kentara dari globalisasi
ekonomi dan produk ketidakadilan yang paling umum di masyarakat. Kemiskinan
ada karena pengelolaan dana negara yang tidak transparan, korupsi yang
merajalela, dan kebijakan yang diskriminatif. Pengelolaan aset negara hanya
menguntungkan sekelompok kecil elite.
Pertanyaannya kenapa wanita? Statistik dunia menunjukkan
kelompok paling rentan terhadap penindasan, diskriminasi, dan kekerasan yang
disebabkan kemiskinan adalah perempuan. Kemiskinan menyebabkan kurangnya
makanan bergizi seimbang, pendidikan yang rendah, pengangguran, pekerja
migran, perdagangan manusia, pelacuran, pelecehan seksual, dan kekerasan
dalam rumah tangga.
Karena krisis ekonomi semakin memburuk, banyak wanita
muslim Indonesia bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Mereka dapat
diberhentikan kapan saja oleh majikan dan sering mendapat perlakuan
sewenang-wenang di tempat mereka bekerja. Kontribusi ekonomi buruh migran
terhadap devisa negara sangat signifikan. Namun, mereka tidak mendapatkan
jaminan sosial dan bantuan hukum dari negara.
Tentunya ada harapan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia,
tetapi kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang dan hanya berlaku di
kota-kota besar. Akibatnya, timbul kesenjangan sosial yang mengerikan. Dalam
kondisi seperti itu, wanita pastilah yang paling terdampak.
Kedua, masalah budaya patriarkat. Kendala utama dalam
menjunjung tinggi kesetaraan gender ialah faktor budaya. Sampai saat ini,
masyarakat kita masih memegang teguh nilai-nilai budaya patriarkat, yang
tidak kondusif untuk membangun perdamaian dan demokrasi.
Menurut pendapat saya, patriarkat bukan hanya tentang
laki-laki, ini tentang menganggap salah satu lebih unggul dan harus
mendominasi. Dari perspektif Islam, patriarkat bertumpu pada gagasan setan
tentang istikbar atau menganggap diri sendiri lebih baik daripada yang lain.
Jadi, konsep patriarkat bertentangan dengan visi Alquran
tentang hubungan dan tanggung jawab moral dan tanggung jawab perempuan serta
laki-laki sebagaimana tercantum dalam banyak ayat Alquran. Hal ini juga
bertentangan dengan visi hubungan antara suami dan istri sebagaimana tecermin
dalam banyak ajaran Islam yang tidak berbicara tentang dominasi dan
persaingan, tetapi kemitraan, kerja sama, dan kasih sayang.
Indikator-indikator budaya patriarkat, antara lain,
masyarakat kita masih menganut kepercayaan yang memberi preferensi menurut
jenis kelamin. Dalam semua hal pria memiliki keuntungan lebih dari wanita,
anak laki-laki memiliki prioritas atas anak perempuan. Budaya ini sangat
terjalin dalam di masyarakat dan diperkenalkan ke dalam semua aspek
kehidupan, seperti dalam pendidikan, ekonomi, dan politik.
Masyarakat kita masih percaya bahwa hamil dan melahirkan
adalah tanggung jawab perempuan secara alami. Oleh karena itu, rasa sakit,
penderitaan, dan bahkan kematian yang harus dihadapi wanita sebagai
konsekuensi fungsi reproduksi mereka. Masyarakat kita masih percaya bahwa
tanggung jawab menggunakan kontrasepsi ada pada wanita. Akibatnya,
partisipasi laki-laki dalam KB sangat kecil (hanya 3%).
Pengambilan keputusan dalam rumah juga menempatkan hak di
tangan laki-laki meski melibatkan keselamatan perempuan. Akibatnya, banyak
wanita tidak memiliki kebebasan membuat keputusan penting seperti: kapan
harus menikah, hamil, jumlah anak, kapan melahirkan, memilih persalinan, dan
seterusnya.
Di bidang lain, perempuan juga harus menambah penghasilan
keluarga. Perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan pada saat
bersamaan harus bekerja untuk memperbaiki penghasilan keluarga. Laki-laki
tidak peduli dengan upaya untuk memenuhi hak anak. Pada umumnya, mereka
berpandangan bahwa tugas merawat anak semua ada pada wanita.
Ketiga, permasalahan terkait dengan kesalahan dalam
menginterpretasikan Islam. Terus terang, jenis tafsir yang diterima secara
luas dan diadopsi umat Islam adalah kesalahan menginterpretasikan patriarkat
dalam Alquran dan hadis. Sebagian besar kesalahan terkait dengan
interpretasi, terutama yang sejalan dengan posisi wanita dan hubungan gender
didasarkan pada konsep yang dikembangkan ratusan tahun lalu oleh para ahli
hukum klasik. Misalnya menurut interpretasi yang bias gender, wanita harus
memiliki banyak anak. Semakin banyak anak, semakin banyak rezeki. Sementara
itu, aborsi dilarang dengan ketat. Interpretasi yang bias gender semacam ini
juga memengaruhi keputusan perempuan untuk ikut KB.
Salah interpretasi bias gender dan tidak sesuai dengan
prinsip hak perempuan, terutama soal kesehatan dan hak reproduksi. Salah
interpretasi tentang pernikahan, misalnya, sebagian besar wanita masih
menganggap pernikahan sebagai kewajiban. Jadi, wanita yang belum menikah
dianggap telah melanggar ajaran Islam dan tidak bisa dianggap wanita yang
baik. Orangtua dianggap sah memaksa anak perempuan mereka menikah, bahkan
dengan orang yang tidak mereka sukai.
Keempat, lemahnya penegakan hukum. Meski Indonesia telah
menjadi negara merdeka sejak 1945, sistem demokrasi baru diterapkan pada
1998. Sistem demokrasi ini dilemahkan elite politik dan negara yang belum
konsisten menerapkan nilai-nilai Pancasila dan prinsip demokrasi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai etika.
Beberapa dari mereka terlibat korupsi dan tindak pidana
lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika demokrasi di Indonesia
masih pada tingkat prosedural, tidak substansial. Akibatnya, penegakan hukum
dan perlindungan HAM masih sangat tidak memuaskan, terutama yang berkaitan
dengan perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Banyak UU dan kebijakan
publik yang tidak berpihak kepada perempuan, seperti UU Perkawinan,
Ketenagakerjaan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan. UU itu menempatkan
perempuan sebagai objek hukum bukan subjek, perempuan mengalami diskriminasi.
Kelima, hukum keluarga Islam yang bias gender. Hukum
keluarga Islam saat ini masih mengandung sejumlah besar ketentuan yang secara
eksplisit mendiskriminasi perempuan, seperti usia minimum menikah untuk
perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Seorang wanita, berapa pun
usianya, hanya bisa menikah dengan persetujuan wali, sedangkan pria tidak.
Pria dapat memiliki beberapa istri (sampai empat orang), tetapi wanita hanya
satu. Seorang wanita harus patuh pada suaminya, bila tidak patuh dikatakan
nusyuz (tidak taat) dan dia bisa kehilangan hak merawat anak-anaknya.
Sementara itu, tidak ada sanksi bagi seorang ayah ketika tidak menjalankan
tanggung jawabnya.
Tantangan utama untuk reformasi hukum di dalam masyarakat
muslim Indonesia ialah masih ada keyakinan bahwa hukum keluarga Islam adalah hukum
Tuhan dan karena itu tidak dapat diubah. Itulah sebabnya setiap usaha
reformasi dianggap tidak Islami. Sementara itu, masih banyak umat Islam yang
percaya bahwa pria dan wanita tidak memiliki hak yang sama sehingga tuntutan
untuk usia pernikahan yang sama dan hak yang sama untuk bercerai, perwalian,
dan warisan dianggap bertentangan dengan hukum Allah. Banyak umat Islam masih
percaya bahwa hanya ulama laki-laki atau ulama agama laki-laki yang memiliki
wewenang untuk berbicara mengenai Islam. Dengan demikian, perempuan
menghadapi kesulitan menyuarakan reformasi bila tidak mendapat dukungan dari
otoritas keagamaan.
Banyak muslim pria dan wanita takut membicarakan ajaran
Islam di ranah publik, terutama jika pandangan mereka kontroversial atau
bertentangan dengan mayoritas Islam. Mereka takut dicap anti-Islam. Ketakutan
ini meluas ke pemimpin agama yang memiliki pengetahuan dan kredibilitas untuk
berbicara. Mereka memilih diam.
Yang terakhir tetapi tak kalah penting, masalah kemunculan
kelompok Islam radikal. Kejatuhan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa
telah membangunkan kelompok radikal muslim yang selama ini tidak aktif.
Euforia demokrasi telah memberikan pijakan yang sangat bagus bagi kaum
radikal untuk mengekspresikan ekstremisme dan wacana radikal mereka. Mereka
sekarang bebas mengungkapkan dan mengartikulasikan gagasan antidemokrasi di
ranah publik.
Setidaknya ada tiga implikasi penting dari jatuhnya
Presiden Soeharto dan Rezim Orba. Pertama, terbentuknya banyak parpol Islam
yang mengadopsi Islam sebagai basis dasar mereka sehingga menggantikan
Pancasila. Kedua, kemunculan kelompok radikal Islam seperti Laskar Jihad, FPI
(Front Pembela Islam), Hizbut Tahrir, dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Kelompok-kelompok itu sebenarnya telah membebankan banyak
masalah pada perempuan, seperti munculnya UU Syariah yang mendiskriminasi
perempuan, pemaksaan berjilbab, poligami, larangan aborsi dan KB, serta
keterlibatan perempuan dalam serangan teroris.
Ketiga, meningkatnya tuntutan penerapan syariah secara
formal di beberapa wilayah di RI. Aceh adalah provinsi pertama yang menuntut
penerapan hukum syariah. Melihat keseluruhan sejarah radikalisme di kalangan
muslim, saya berpendapat bahwa radikalisme di kalangan muslim lebih bersifat
politis daripada keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar