Rabu, 03 September 2014

Tantangan-tantangan Awal bagi Jokowi

Tantangan-tantangan Awal bagi Jokowi

Stefi V Farah  Pemerhati Masalah Strategis Indonesia; Tinggal di Jakarta
DETIKNEWS, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Jokowi-Jusuf Kalla memang baru akan dilantik pada 20 Oktober 2014 dan akan mengabdi kepada ibu pertiwi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2014-2019 mendatang. Namun tantangan-tantangan serta hambatan yang akan dihadapi oleh Jokowi-JK sudah terpampang di depan mata. Apa sajakah tantangan tersebut?

Pertama, revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Rencananya, APBN Perubahan 2015 itu akan diajukan pada Januari 2015. Sejumlah pos di RAPBN 2015 menyulitkan Jokowi dan Kalla dalam mewujudkan misi dan misinya, antara lain anggaran subsidi yang mencapai Rp 433,51 triliun. Angka itu dianggap terlalu besar, khususnya subsidi energi yang mencapai Rp 363,53 triliun.

Pemangkasan subsidi energi rencananya akan dilakukan, yakni dengan menaikkan harga bahan bakar subsidi (BBM) secara bertahap. Kenaikan harga akan dilakukan secara bertahap selama tiga tahun hingga harga BBM bersubsidi sesuai dengan harga pasar, yakni Rp 13.000 per liter dari harga saat ini sebesar Rp 6.500. Kenaikan harga BBM bersubsidi mulai dilakukan tahun 2015 dengan kenaikan 20 persen, menyusul 50 persen dan 30 persen hingga 2017. Pada tahun 2015, BBM bersubsidi akan naik Rp 1.500 per liter.

Persoalan tarik menarik rencana kenaikan harga BBM ini terjadi, karena pemerintahan SBY sepakat untuk tidak mau menaikkan harga BBM sampai 20 Oktober 2014, sedangkan Jokowi menginginkan kenaikan harga BBM dilakukan sebelum pelantikan Presiden/Wapres mendatang. Banyak kalangan menilai, inilah 'bom waktu' pertama yang 'dihadiahkan' kepada Jokowi-JK.

Walaupun ada pihak yang berpendapat meyakini Jokowi-JK dapat mengatasi persoalan BBM ini, karena pada hakekatnya setiap pemerintahan pasti memiliki tantangan dan permasalahan tersendiri. Seperti diketahui, RAPBN 2015 menyisakan ruang fiskal terbatas. Jika pemerintahan baru ingin memiliki ruang fiskal luas dengan menaikkan harga BBM, sebesar Rp 2.000 akan menghemat dana subsidi hingga Rp 96 triliun, sehingga defisit bisa ditekan sekitar 1 persen.

Jokowi siap menaikkan harga BBM bersubsidi nantinya meskipun kebijakan tersebut dianggap tidak populer oleh masyarakat. Bagi Jokowi, yang terpenting, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi itu disertai pengalihan anggaran untuk pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Adapun JK berpendapat, kenaikan harga BBM seharusnya sudah dilakukan karena kelangkaan BBM sudah menjalar ke mana-mana. (Kompas.com tanggal 29 Agustus 2014).

Penulis berpendapat sebenarnya kenaikan harga BBM tidak perlu dilakukan jika proyeksi penerimaan dari sektor pajak dapat direalisasikan. Namun tampaknya masalah ini masih menemui beberapa kendala mulai dari kesadaran membayar pajak yang masih rendah di kalangan mereka yang memiliki NPWP ataupun mereka yang seharusnya dikenakan pajak, moral hazard dan korupsi, penerimaan pajak gagal disebabkan karena roda perekonomian yang tidak optimal sampai kepada utilisasi atau penggunaan pajak yang dinilai kurang transparan.

Menghemat anggaran negara sebenarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti mengurangi kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial. Juga pembangunan gedung-gedung atau rehabilitasi gedung perkantoran tidak perlu dilakukan setiap saat, jika seandainya kondisi gedung kantornya masih bagus. Hal ini berpotensi biaya pembangunan gedung atau kantor akan jauh lebih besar dari anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan tugas pokok organisasi atau lembaga tersebut.

Tidak hanya itu saja, penghematan anggaran negara juga dengan memaksimalkan kinerja organisasi-organisasi pemerintahan secara struktural melalui perencanaan anggaran, pelaksanaan program kerja dan evaluasi atau pengawasan program kerja yang ketat. Hal ini berarti kegiatan-kegiatan seperti merekrut tenaga ahli atau staf khusus, pembentukan satuan tugas ataupun studi banding dll perlu dihapuskan, dengan memberdayakan dan memfungsikan keberasaan organisasi pemerintahan yang struktural tersebut.

Kedua, pembentukan atau penyusunan kabinet. Banyak kalangan yang berkeinginan agar kabinet pemerintahan Joko Widodo harus berbeda dengan Kabinet Indonesia Bersatu. Jokowi memiliki banyak program yang berbeda dengan Presiden SBY, sehingga harus didukung dengan kementerian dan lembaga yang berbeda.

Perubahan struktur kabinet jangan hanya menimbulkan gejolak, tapi tidak mampu memberikan kontribusi efektif pada pemerintahan Jokowi nanti. Jokowi perlu merampingkan kabinet pemerintahannya nanti. Perampingan perlu dilakukan karena visi, misi, dan kebijakan Jokowi berbeda dengan pemerintahan Presiden SBY. Perampingan kabinet itu diusulkan UGM Yogyakarta misalnya menjadi sekitar 28 kementerian dari jumlah 34 kementerian di pemerintahan saat ini.

Yang menarik dari soal penyusunan kabinet ini adalah banyak pemberitaan media massa yang menjagokan seseorang atau melakukan polling dengan menempatkan seseorang layak dipilih sebagai menteri. Yang perlu diingat adalah siapa yang layak sebagai menteri adalah hak prerogratif Jokowi sebagai Presiden. Bahkan ketua umum parpol pendukung Jokowi-JK pun sebaiknya tidak berarti harus masuk ke kabinet jika dianggap tidak mampu.

Rumah Transisi juga tidak berhak mengintervensi Jokowi, bahkan harus ikhlas dalam bekerja (dengan tidak meminta jatah sebagai menteri atau pejabat negara kepada Jokowi, walaupun berkontribusi menyusun rencana program kerja Jokowi-JK misalnya). Jika “pressure news” seperti ini dilakukan, maka Jokowi akan menghadapi permasalahan seperti yang dihadapi SBY yaitu beberapa nama figur yang digadang-gadang berita atau polling media “pasti” akan menjadi menteri, tapi akhirnya tidak jadi menteri kemudian malah “bermusuhan” dengan presiden seterusnya.

Banyak kalangan memimpikan agar prinsip penyusunan kabinet Jokowi yang lepas dari kepentingan dan mengutamakan sosok profesional harus dikawal dan disokong penuh. Tujuannya agar tidak akan ada lagi menteri menjadi tersangka korupsi atau pemerintah dapat lepas dari “jeratan lintah darat” dalam bentuk mafia yang selama ini nyaman bercokol di sektor-sektor strategis seperti energi, pertanian, infrastruktur dan perizinan.

Ketiga, “goyangan politik”. Survei terakhir Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas masyarakat merasa yakin pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mengalami hambatan dari DPR dalam menjalankan pemerintahan mendatang. Sebanyak 45,60 persen responden menjawab yakin bahwa DPR akan menghambat Jokowi jika mayoritas anggotanya diisi oleh koalisi pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Oleh karena itu, wajar apabila Jokowi-JK saat ini terus melakukan pendekatan kepada partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Meski awalnya ingin membangun koalisi yang ramping, mau tidak mau Jokowi-JK memang harus membutuhkan kekuatan yang lebih besar di parlemen. Survei ini dilakukan pada 24-26 Agustus 2014. Jumlah responden sebanyak 1.200 orang dengan metode multistage random sampling. Margin of error kurang lebih 2,9 persen.

“Goyangan politik” juga kemungkinan tetap akan membara, karena belum terlaksananya “rekonsiliasi” antara Jokowi dan Prabowo Subianto. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Ashiddiqie mengatakan, rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak perlu dipaksakan, seperti dikutip Antaranews.com (30 Agustus 2014).

Masyarakat tetap berharap agar apapun tantangan dan hambatan yang dihadapi Jokowi-JK dapat diselesaikan dengan kebersamaan, sehingga memang sebaiknya “dendam politik” sebagai ekses Pilpres 2014 patut dieliminasikan.

Sejarah nantinya akan mencatat siapa yang negarawan dan siapa yang pecundang, karena mengabdi terhadap negara dapat dilakukan dengan beragam cara, tidak harus didalam pemerintahan. Ibu pertiwi sangat merindukan anak-anak bangsa ini menjadi rukun. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar