Tantangan-tantangan
Awal bagi Jokowi
Stefi V Farah ; Pemerhati Masalah
Strategis Indonesia; Tinggal di Jakarta
|
DETIKNEWS,
02 September 2014
Jokowi-Jusuf
Kalla memang baru akan dilantik pada 20 Oktober 2014 dan akan mengabdi kepada
ibu pertiwi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2014-2019
mendatang. Namun tantangan-tantangan serta hambatan yang akan dihadapi oleh
Jokowi-JK sudah terpampang di depan mata. Apa sajakah tantangan tersebut?
Pertama,
revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Rencananya, APBN
Perubahan 2015 itu akan diajukan pada Januari 2015. Sejumlah pos di RAPBN
2015 menyulitkan Jokowi dan Kalla dalam mewujudkan misi dan misinya, antara
lain anggaran subsidi yang mencapai Rp 433,51 triliun. Angka itu dianggap
terlalu besar, khususnya subsidi energi yang mencapai Rp 363,53 triliun.
Pemangkasan
subsidi energi rencananya akan dilakukan, yakni dengan menaikkan harga bahan
bakar subsidi (BBM) secara bertahap. Kenaikan harga akan dilakukan secara
bertahap selama tiga tahun hingga harga BBM bersubsidi sesuai dengan harga
pasar, yakni Rp 13.000 per liter dari harga saat ini sebesar Rp 6.500.
Kenaikan harga BBM bersubsidi mulai dilakukan tahun 2015 dengan kenaikan 20
persen, menyusul 50 persen dan 30 persen hingga 2017. Pada tahun 2015, BBM
bersubsidi akan naik Rp 1.500 per liter.
Persoalan
tarik menarik rencana kenaikan harga BBM ini terjadi, karena pemerintahan SBY
sepakat untuk tidak mau menaikkan harga BBM sampai 20 Oktober 2014, sedangkan
Jokowi menginginkan kenaikan harga BBM dilakukan sebelum pelantikan
Presiden/Wapres mendatang. Banyak kalangan menilai, inilah 'bom waktu'
pertama yang 'dihadiahkan' kepada Jokowi-JK.
Walaupun
ada pihak yang berpendapat meyakini Jokowi-JK dapat mengatasi persoalan BBM
ini, karena pada hakekatnya setiap pemerintahan pasti memiliki tantangan dan
permasalahan tersendiri. Seperti diketahui, RAPBN 2015 menyisakan ruang
fiskal terbatas. Jika pemerintahan baru ingin memiliki ruang fiskal luas
dengan menaikkan harga BBM, sebesar Rp 2.000 akan menghemat dana subsidi
hingga Rp 96 triliun, sehingga defisit bisa ditekan sekitar 1 persen.
Jokowi
siap menaikkan harga BBM bersubsidi nantinya meskipun kebijakan tersebut
dianggap tidak populer oleh masyarakat. Bagi Jokowi, yang terpenting,
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi itu disertai pengalihan anggaran
untuk pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Adapun JK berpendapat,
kenaikan harga BBM seharusnya sudah dilakukan karena kelangkaan BBM sudah
menjalar ke mana-mana. (Kompas.com
tanggal 29 Agustus 2014).
Penulis
berpendapat sebenarnya kenaikan harga BBM tidak perlu dilakukan jika proyeksi
penerimaan dari sektor pajak dapat direalisasikan. Namun tampaknya masalah
ini masih menemui beberapa kendala mulai dari kesadaran membayar pajak yang
masih rendah di kalangan mereka yang memiliki NPWP ataupun mereka yang
seharusnya dikenakan pajak, moral hazard dan korupsi, penerimaan pajak gagal
disebabkan karena roda perekonomian yang tidak optimal sampai kepada
utilisasi atau penggunaan pajak yang dinilai kurang transparan.
Menghemat
anggaran negara sebenarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti
mengurangi kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial. Juga pembangunan
gedung-gedung atau rehabilitasi gedung perkantoran tidak perlu dilakukan
setiap saat, jika seandainya kondisi gedung kantornya masih bagus. Hal ini
berpotensi biaya pembangunan gedung atau kantor akan jauh lebih besar dari
anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan tugas pokok organisasi atau
lembaga tersebut.
Tidak
hanya itu saja, penghematan anggaran negara juga dengan memaksimalkan kinerja
organisasi-organisasi pemerintahan secara struktural melalui perencanaan
anggaran, pelaksanaan program kerja dan evaluasi atau pengawasan program
kerja yang ketat. Hal ini berarti kegiatan-kegiatan seperti merekrut tenaga
ahli atau staf khusus, pembentukan satuan tugas ataupun studi banding dll
perlu dihapuskan, dengan memberdayakan dan memfungsikan keberasaan organisasi
pemerintahan yang struktural tersebut.
Kedua,
pembentukan atau penyusunan kabinet. Banyak kalangan yang berkeinginan agar
kabinet pemerintahan Joko Widodo harus berbeda dengan Kabinet Indonesia
Bersatu. Jokowi memiliki banyak program yang berbeda dengan Presiden SBY,
sehingga harus didukung dengan kementerian dan lembaga yang berbeda.
Perubahan
struktur kabinet jangan hanya menimbulkan gejolak, tapi tidak mampu
memberikan kontribusi efektif pada pemerintahan Jokowi nanti. Jokowi perlu
merampingkan kabinet pemerintahannya nanti. Perampingan perlu dilakukan
karena visi, misi, dan kebijakan Jokowi berbeda dengan pemerintahan Presiden
SBY. Perampingan kabinet itu diusulkan UGM Yogyakarta misalnya menjadi
sekitar 28 kementerian dari jumlah 34 kementerian di pemerintahan saat ini.
Yang
menarik dari soal penyusunan kabinet ini adalah banyak pemberitaan media
massa yang menjagokan seseorang atau melakukan polling dengan menempatkan
seseorang layak dipilih sebagai menteri. Yang perlu diingat adalah siapa yang
layak sebagai menteri adalah hak prerogratif Jokowi sebagai Presiden. Bahkan
ketua umum parpol pendukung Jokowi-JK pun sebaiknya tidak berarti harus masuk
ke kabinet jika dianggap tidak mampu.
Rumah
Transisi juga tidak berhak mengintervensi Jokowi, bahkan harus ikhlas dalam
bekerja (dengan tidak meminta jatah sebagai menteri atau pejabat negara
kepada Jokowi, walaupun berkontribusi menyusun rencana program kerja
Jokowi-JK misalnya). Jika “pressure
news” seperti ini dilakukan, maka Jokowi akan menghadapi permasalahan
seperti yang dihadapi SBY yaitu beberapa nama figur yang digadang-gadang berita
atau polling media “pasti” akan menjadi menteri, tapi akhirnya tidak jadi
menteri kemudian malah “bermusuhan” dengan presiden seterusnya.
Banyak
kalangan memimpikan agar prinsip penyusunan kabinet Jokowi yang lepas dari
kepentingan dan mengutamakan sosok profesional harus dikawal dan disokong
penuh. Tujuannya agar tidak akan ada lagi menteri menjadi tersangka korupsi
atau pemerintah dapat lepas dari “jeratan
lintah darat” dalam bentuk mafia yang selama ini nyaman bercokol di
sektor-sektor strategis seperti energi, pertanian, infrastruktur dan
perizinan.
Ketiga,
“goyangan politik”. Survei terakhir
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas masyarakat merasa
yakin pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mengalami hambatan dari DPR
dalam menjalankan pemerintahan mendatang. Sebanyak 45,60 persen responden
menjawab yakin bahwa DPR akan menghambat Jokowi jika mayoritas anggotanya
diisi oleh koalisi pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Oleh
karena itu, wajar apabila Jokowi-JK saat ini terus melakukan pendekatan
kepada partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Meski
awalnya ingin membangun koalisi yang ramping, mau tidak mau Jokowi-JK memang
harus membutuhkan kekuatan yang lebih besar di parlemen. Survei ini dilakukan
pada 24-26 Agustus 2014. Jumlah responden sebanyak 1.200 orang dengan metode multistage random sampling. Margin of error kurang lebih 2,9
persen.
“Goyangan politik” juga kemungkinan
tetap akan membara, karena belum terlaksananya “rekonsiliasi” antara Jokowi
dan Prabowo Subianto. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Jimly Ashiddiqie mengatakan, rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Prabowo
Subianto tidak perlu dipaksakan, seperti dikutip Antaranews.com (30 Agustus
2014).
Masyarakat
tetap berharap agar apapun tantangan dan hambatan yang dihadapi Jokowi-JK
dapat diselesaikan dengan kebersamaan, sehingga memang sebaiknya “dendam politik” sebagai ekses Pilpres
2014 patut dieliminasikan.
Sejarah
nantinya akan mencatat siapa yang negarawan dan siapa yang pecundang, karena
mengabdi terhadap negara dapat dilakukan dengan beragam cara, tidak harus
didalam pemerintahan. Ibu pertiwi sangat merindukan anak-anak bangsa ini
menjadi rukun. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar