Kaji
Ulang Pengendalian BBM Bersubsidi
Carunia Mulya Firdausy ; Profesor Riset LIPI dan
Guru Besar Ekonomi Untar
|
KOMPAS,
02 September 2014
ANEH! Itulah respons
spontan saat saya mengetahui pemerintah membuat kebijakan pengendalian bahan
bakar minyak bersubsidi baru-baru ini. Bahkan, saya juga terkaget-kaget
membaca kebijakan tersebut dilakukan tanpa sosialisasi awal yang memadai (Kompas, 1 Agustus). Dampaknya tentu
saja adalah kegaduhan di masyarakat, baik berupa antrean panjang di beberapa
stasiun pengisian bahan bakar untuk umum maupun penimbunan BBM bersubsidi
oleh oknum masyarakat.
Saya meyakini
pemerintah memiliki kecerdasan akal yang sehat dalam mengambil setiap
keputusan strategis seperti ini. Namun, saya tidak habis pikir mengapa untuk
keputusan ini, kok, terkesan terburu-buru dan tidak disosialisasikan dengan
baik. Bukankah keputusan ini perlu didukung masyarakat dan bukan untuk
dipaksakan kepada masyarakat?
Saya yakin masyarakat
cukup paham bahwa pemerintah harus sesegera mungkin mengambil kebijakan dalam
menyikapi subsidi BBM. Bukan saja karena alasan adanya dampak langsung berupa
pembengkakan pengeluaran anggaran pemerintah yang menggerogoti dana alokasi
pengeluaran pada pos lain, melainkan juga alasan dampak tidak langsung, baik
pengaruhnya pada kebijakan penerimaan anggaran, beban defisit transaksi
berjalan, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat,
beban utang, maupun upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan serta perluasan
lapangan kerja, dan sebagainya, dan seterusnya.
Argumen di atas jauh
lebih strategis dan relatif mudah diserap dan dimengerti masyarakat sebagai
dasar pengambilan keputusan pengurangan subsidi BBM. Respons masyarakat akan
jauh berbeda jika argumen yang diteriakkan pemerintah yakni karena subsidi
BBM hanya menguntungkan pemilik kendaraan bermotor dan masyarakat
berpendapatan menengah di atas kesengsaraan rakyat miskin. Argumen seperti
ini selain menyederhanakan persoalan, juga bersifat politis dan bernuansa
mengotak-kotakkan (diskriminatif) antara masyarakat kaya dan rakyat miskin.
Pasalnya, sekat-sekat kaya-miskin dalam konteks pemanfaatan subsidi BBM
nyaris hilang tergilas globalisasi ekonomi.
Hal itu dapat
dibuktikan dari adanya perubahan status BBM yang tadinya sebagai barang mewah
(luxurious goods) menjadi barang
normal (normal goods) dan perubahan
BBM dari faktor produksi yang bersifat derived
demand menjadi faktor produksi yang non-derived
demand. Karena itu, menyesatkan jika kontribusi subsidi BBM selama ini
dinyatakan lebih memperkaya si kaya atas kesengsaraan si miskin. Lantas, apa
dan bagaimana kebijakan yang semestinya dilakukan dalam menyikapi subsidi BBM
ini?
Keseimbangan internal
Kebijakan terbaik
tentu dengan menghapus subsidi BBM secara penuh. Namun, repotnya, kebijakan
ini wajib memperhatikan kondisi keseimbangan internal perekonomian nasional
khususnya keseimbangan aggregate supply
dan aggregate demand ataupun
keseimbangan eksternal (perdagangan, investasi, dan pinjaman luar negeri).
Jika kalkulasi kondisi keseimbangan internal dan eksternal buruk seperti yang
terjadi selama ini, pencabutan penuh subsidi BBM diharamkan untuk diambil.
Hal ini karena dampak kebijakan penghapusan subsidi secara penuh dapat
merongrong stabilitas ekonomi, sosial, dan politik sebagai akibat dari
”hantu” (evil) inflasi. Bagaimana
dengan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi saat ini?
Kebijakan pengendalian
BBM yang saat ini diambil tidak pernah akan mampu membatasi konsumsi BBM
bersubsidi dan apalagi menghapus ketergantungan masyarakat untuk mengonsumsi
BBM bersubsidi. Selain berbiaya tinggi dalam eksekusi dan pengawalan
berjalannya, kebijakan tersebut juga mencederai kenyamanan masyarakat dalam
menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini telah terbukti dari adanya
antrean panjang di beberapa SPBU yang menyediakan BBM bersubsidi. Bahkan,
kebijakan ini tidak mustahil dapat mendorong terjadinya penimbunan BBM
bersubsidi (black market) oleh
oknum masyarakat, seperti telah terjadi belakangan ini.
Kebijakan pengendalian
BBM bersubsidi juga tidak memberikan efek positif dalam mengatasi persoalan
inti perekonomian khususnya berkaitan dengan beban pengeluaran pemerintah
ataupun defisit neraca perdagangan. Bahkan, kebijakan tersebut justru
mengganggu kelancaran konsumsi dan investasi sebagai akibat pindahnya lokasi
SPBU ataupun perubahan waktu konsumsi BBM bersubsidi.
Efek positif kebijakan
pengendalian BBM hanya bersifat memindahkan satu persoalan kepada persoalan
lain. Karena itu, kebijakan tersebut harus dipikir ulang.
Hapus bertahap
Saya lebih setuju jika
kebijakan yang semestinya dikedepankan pemerintah yakni dengan cara
penghapusan subsidi secara bertahap. Dalam kebijakan ini tidak saja harga
yang dinaikkan secara bertahap, tetapi juga pengaturan jadwal waktu kenaikan
harga BBM dimaksud. Dengan adanya penahapan ini, banyak efek positif yang
dapat diperoleh. Pertama, pengaruh inflasi dari penghapusan subsidi BBM tidak
akan memberikan kejutan yang dapat mendistorsi keseimbangan pasar barang dan
jasa.
Kedua, iklim investasi
akan relatif selalu dapat kondusif. Ketiga, rongrongan membengkaknya
pengeluaran pemerintah dapat dikelola dengan pengaturan penerimaan pajak
secara harmonis. Keempat, perilaku masyarakat akan menjadi lebih siap dalam
menyikapi perubahan harga BBM bersubsidi. Akhirnya, lambat tetapi pasti,
subsidi BBM akan dapat terhapus jika kebijakan penahapan penghapusan subsidi
ini dijalankan secara sistematis, terencana, dan mengikutsertakan masyarakat
luas untuk memahaminya. Saya meyakini pemerintahan mendatang sudah
mempersiapkan kebijakan ini untuk menyikapi kemelut subsidi BBM menjadi tidak
berkepanjangan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar