Rabu, 03 September 2014

Kaji Ulang Pengendalian BBM Bersubsidi

Kaji Ulang Pengendalian BBM Bersubsidi

Carunia Mulya Firdausy  Profesor Riset LIPI dan Guru Besar Ekonomi Untar
KOMPAS, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

ANEH! Itulah respons spontan saat saya mengetahui pemerintah membuat kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi baru-baru ini. Bahkan, saya juga terkaget-kaget membaca kebijakan tersebut dilakukan tanpa sosialisasi awal yang memadai (Kompas, 1 Agustus). Dampaknya tentu saja adalah kegaduhan di masyarakat, baik berupa antrean panjang di beberapa stasiun pengisian bahan bakar untuk umum maupun penimbunan BBM bersubsidi oleh oknum masyarakat.

Saya meyakini pemerintah memiliki kecerdasan akal yang sehat dalam mengambil setiap keputusan strategis seperti ini. Namun, saya tidak habis pikir mengapa untuk keputusan ini, kok, terkesan terburu-buru dan tidak disosialisasikan dengan baik. Bukankah keputusan ini perlu didukung masyarakat dan bukan untuk dipaksakan kepada masyarakat?

Saya yakin masyarakat cukup paham bahwa pemerintah harus sesegera mungkin mengambil kebijakan dalam menyikapi subsidi BBM. Bukan saja karena alasan adanya dampak langsung berupa pembengkakan pengeluaran anggaran pemerintah yang menggerogoti dana alokasi pengeluaran pada pos lain, melainkan juga alasan dampak tidak langsung, baik pengaruhnya pada kebijakan penerimaan anggaran, beban defisit transaksi berjalan, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, beban utang, maupun upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan serta perluasan lapangan kerja, dan sebagainya, dan seterusnya.

Argumen di atas jauh lebih strategis dan relatif mudah diserap dan dimengerti masyarakat sebagai dasar pengambilan keputusan pengurangan subsidi BBM. Respons masyarakat akan jauh berbeda jika argumen yang diteriakkan pemerintah yakni karena subsidi BBM hanya menguntungkan pemilik kendaraan bermotor dan masyarakat berpendapatan menengah di atas kesengsaraan rakyat miskin. Argumen seperti ini selain menyederhanakan persoalan, juga bersifat politis dan bernuansa mengotak-kotakkan (diskriminatif) antara masyarakat kaya dan rakyat miskin. Pasalnya, sekat-sekat kaya-miskin dalam konteks pemanfaatan subsidi BBM nyaris hilang tergilas globalisasi ekonomi.

Hal itu dapat dibuktikan dari adanya perubahan status BBM yang tadinya sebagai barang mewah (luxurious goods) menjadi barang normal (normal goods) dan perubahan BBM dari faktor produksi yang bersifat derived demand menjadi faktor produksi yang non-derived demand. Karena itu, menyesatkan jika kontribusi subsidi BBM selama ini dinyatakan lebih memperkaya si kaya atas kesengsaraan si miskin. Lantas, apa dan bagaimana kebijakan yang semestinya dilakukan dalam menyikapi subsidi BBM ini?

Keseimbangan internal

Kebijakan terbaik tentu dengan menghapus subsidi BBM secara penuh. Namun, repotnya, kebijakan ini wajib memperhatikan kondisi keseimbangan internal perekonomian nasional khususnya keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand ataupun keseimbangan eksternal (perdagangan, investasi, dan pinjaman luar negeri). Jika kalkulasi kondisi keseimbangan internal dan eksternal buruk seperti yang terjadi selama ini, pencabutan penuh subsidi BBM diharamkan untuk diambil. Hal ini karena dampak kebijakan penghapusan subsidi secara penuh dapat merongrong stabilitas ekonomi, sosial, dan politik sebagai akibat dari ”hantu” (evil) inflasi. Bagaimana dengan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi saat ini?

Kebijakan pengendalian BBM yang saat ini diambil tidak pernah akan mampu membatasi konsumsi BBM bersubsidi dan apalagi menghapus ketergantungan masyarakat untuk mengonsumsi BBM bersubsidi. Selain berbiaya tinggi dalam eksekusi dan pengawalan berjalannya, kebijakan tersebut juga mencederai kenyamanan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini telah terbukti dari adanya antrean panjang di beberapa SPBU yang menyediakan BBM bersubsidi. Bahkan, kebijakan ini tidak mustahil dapat mendorong terjadinya penimbunan BBM bersubsidi (black market) oleh oknum masyarakat, seperti telah terjadi belakangan ini.

Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi juga tidak memberikan efek positif dalam mengatasi persoalan inti perekonomian khususnya berkaitan dengan beban pengeluaran pemerintah ataupun defisit neraca perdagangan. Bahkan, kebijakan tersebut justru mengganggu kelancaran konsumsi dan investasi sebagai akibat pindahnya lokasi SPBU ataupun perubahan waktu konsumsi BBM bersubsidi. 
Efek positif kebijakan pengendalian BBM hanya bersifat memindahkan satu persoalan kepada persoalan lain. Karena itu, kebijakan tersebut harus dipikir ulang.

Hapus bertahap

Saya lebih setuju jika kebijakan yang semestinya dikedepankan pemerintah yakni dengan cara penghapusan subsidi secara bertahap. Dalam kebijakan ini tidak saja harga yang dinaikkan secara bertahap, tetapi juga pengaturan jadwal waktu kenaikan harga BBM dimaksud. Dengan adanya penahapan ini, banyak efek positif yang dapat diperoleh. Pertama, pengaruh inflasi dari penghapusan subsidi BBM tidak akan memberikan kejutan yang dapat mendistorsi keseimbangan pasar barang dan jasa.

Kedua, iklim investasi akan relatif selalu dapat kondusif. Ketiga, rongrongan membengkaknya pengeluaran pemerintah dapat dikelola dengan pengaturan penerimaan pajak secara harmonis. Keempat, perilaku masyarakat akan menjadi lebih siap dalam menyikapi perubahan harga BBM bersubsidi. Akhirnya, lambat tetapi pasti, subsidi BBM akan dapat terhapus jika kebijakan penahapan penghapusan subsidi ini dijalankan secara sistematis, terencana, dan mengikutsertakan masyarakat luas untuk memahaminya. Saya meyakini pemerintahan mendatang sudah mempersiapkan kebijakan ini untuk menyikapi kemelut subsidi BBM menjadi tidak berkepanjangan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar