Sabtu, 20 September 2014

Setoran BUMN

Setoran BUMN

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
JAWA POS, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BEBERAPA pekan belakangan hingga bulan-bulan ke depan, para CEO BUMN bakal sakit kepala. Penyebabnya, setoran dividen mereka ditingkatkan pemerintah dari Rp 41 triliun menjadi Rp 43,7 triliun, atau naik lebih dari 6,5 persen. Kenaikan setoran itu digunakan untuk menambal kekurangan penerimaan pemerintah di RAPBN 2015.

Terdapat sepuluh BUMN yang ditargetkan menyetor dividen. Tapi, ada yang setorannya naik, ada juga yang turun. Yang dinaikkan, misalnya, Pertamina (naik 1 persen menjadi Rp 9,6 triliun), Pupuk Indonesia (14 persen –Rp 1,6 triliun), PT Bank Rakyat Indonesia (25 persen –Rp 4,4 triliun), dan PT Jasa Raharja (39 persen –Rp 1,2 triliun). Lalu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang selama 2014 ini tidak menyetor dividen, ditargetkan bakal menyetor Rp 2,8 triliun.

Kinerja PLN memang bak roller coaster. Misalnya, pada 2012, mereka mampu meraih laba bersih Rp 3,2 triliun. Tapi, setahun kemudian rugi Rp 30,9 triliun. Namun, semester I 2014 PLN berhasil membukukan laba Rp 12,34 triliun. Jadi, saya tidak heran kalau, pada 2015, PLN ditargetkan mulai menyetor dividen.

Beberapa Catatan

Tapi, bukan hanya angka-angka itu yang membuat saya merasa ada yang keliru di sini, melainkan alasan yang melatari. Saya punya beberapa catatan untuk itu. Pertama, kenaikan setoran dividen itu pasti memaksa sejumlah BUMN untuk bekerja semakin keras. Apalagi BUMN yang setoran dividennya dinaikkan. Untuk yang satu ini, saya sangat setuju. Sudah selayaknya BUMN-BUMN kita bekerja lebih keras.

Berkebalikan dengan catatan di atas, catatan kedua saya kira perlu dicamkan menteri keuangan. Hasil kerja keras mereka –yang antara lain tecermin dari perolehan laba bersih– seyogianya tidak diambil untuk menambal kekurangan APBN. Mengapa begitu? BUMN itu adalah korporasi. Sebagai organisasi usaha, ia harus terus tumbuh. Dan untuk tumbuh, ia butuh vitamin dan energi yang dibentuk melalui investasi, inovasi, riset, dan pengembangan kualitas SDM.

Nah, bagaimana mereka mau menjadi besar dan tumbuh kalau dividennya diambil banyak-banyak? Di abad kompetisi global ini perusahaan besar justru hanya mengizinkan sedikit sekali dividennya yang diambil pemegang saham. Pengusaha lebih senang melihat perusahaannya tumbuh dan asetnya bertambah besar ketimbang mengeruk keuntungannya, lalu ia mati kering. Jadi, saya jauh lebih suka laba bersih tersebut digunakan untuk biaya ekspansi.

Kita tahu, beberapa BUMN tengah giat mengembangkan usaha. Misalnya, PT Semen Indonesia Tbk tengah melakukan ekspansi ke beberapa negara ASEAN. Misalnya, Myanmar dan Vietnam. Bagi saya, itu sebuah lompatan besar meski menggelikan juga ketika dikecam oleh anggota DPR.

Mungkin anggota itu lupa bahwa pada 2015 kita memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mungkin mereka juga tidak sempat membaca bahwa selain ke luar negeri, ia membangun pabrik baru di dalam negeri.

Reaksi Dirut Semen Indonesia Dwi Soetjipto ketika merespons kecaman anggota DPR itu membuat saya bangga. Dia menyatakan, ’’Kalau tidak setuju, silakan ganti Dirutnya.’’ Nah, bagaimana Dwi mau melakukan ekspansi kalau harus menyetor lebih banyak dividen ke kas negara?

Melalui ekspansinya tersebut, posisi BUMN akan lebih kukuh dan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Saya kira, ke depan jauh lebih baik jika investasi baru dan penyerapan tenaga kerja itu menjadi ukuran kinerja dari BUMN-BUMN kita. Ini menjadi catatan saya yang ketiga.

Sekali Lagi, Subsidi BBM

Keempat, ini yang membuat saya gemas; naiknya setoran dividen tersebut disebabkan keengganan pemerintah merevisi subsidi BBM. Bayangkan, jika subsidi itu dikurangi Rp1.000 saja, terjadi penghematan di APBN sebesar Rp 48 triliun. Kalau naiknya Rp 2.000, penghematannya bisa Rp 96 triliun.

Jumlah itu lebih dari cukup untuk mengompensasi setoran dividen tadi. Dengan begitu, BUMN-BUMN kita tetap terjaga. Bukankah PLN masih harus menambah pembangkit, atau terima saja pemadaman krena kurangnya pasokan listrik? Bukankah Pertamina sedang membutuhkan banyak dana, baik untuk membangun kilang maupun membiayai ekspansinya di sektor hulu?

Catatan terakhir saya, bukan sekadar besarnya subsidi yang membuat saya risau, melainkan ’’kesengajaan’’ kita untuk membiarkan masyarakat ’’memelihara’’ mindset-nya yang keliru. Misalnya, mindset kita adalah negara kaya sumber daya minyak dan gas. Karena itu, selain sangat boros, kita semua tahu bahwa subsidi ini salah sasaran.

Apalagi, kita membiarkan ini berlangsung terus, tanpa kesungguhan mengoreksi. Atas nama akal sehat, ini membuat saya lebih risau. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar