Senin, 22 September 2014

Akhlak Pemimpin Publik

Akhlak Pemimpin Publik

Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 19 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Publik tentu masih ingat ilustrasi Amien Rais tentang Perang Badar saat menjelang pilpres lalu. Saat situasi politik sedang memanas akibat dukung-mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), tokoh reformasi itu mengatakan bahwa ada partai politik tertentu yang berperilaku laksana pasukan yang turut berperang dalam Perang Badar, tetapi bertujuan untuk memperoleh harta rampasan perang.

Analogi Perang Badar di tengah suasana politik yang memanas saat itu kemudian memicu kontroversi karena dianggap telah membawa ihwal yang bersifat primordial yakni agama dalam konteks pilpres yang notabene termasuk ranah politik. Kritik berbagai kalangan terhadap ilustrasi Amien Rais pun bertubi-tubi. Itu dapat dipahami karena Amien Rais adalah pendukung utama Prabowo-Hatta. Apalagi Perang Badar merupakan jihad suci yang melibatkan Rasulullah dan para sahabat.

Di luar perdebatan yang muncul akibat analogi Amien Rais tersebut, para pemimpin publik negeri ini sejatinya dapat mengambil pelajaran tentang kepemimpinan Rasulullah dalam Perang Badar. Apalagi jika para pemimpin becermin pada kondisi yang dihadapi bangsa ini, terutama saat memasuki transisi kepemimpinan nasional pascapilpres. Persaingan dan dukung-mendukung capres kini sudah usai. Yang dibutuhkan adalah semangat kebersamaan untuk membangun bangsa. Untuk itulah, para pemimpin perlu meneladani Rasul dan para sahabat tatkala menghadapi situasi yang sangat sulit waktu Perang Badar.

Dikisahkan bahwa pada Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan yang berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta. Dengan sarana transportasi yang terbatas, Nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak perjalanan antara Madinah dan Badar diperkirakan 150 kilometer. Mengingat sulitnya medan dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta dinaiki tiga atau empat orang secara bergantian. Nabi pun mendapatkan bagian yang sama dengan sahabat lain. Selama perjalanan para sahabat beberapa kali menawari Nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Tetapi, tawaran itu ditolak Nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah kebersamaan.

Rasanya inilah teladan yang perlu dijadikan spirit bagi setiap pemimpin dan pejabat publik. Pemenang pilpres, Jokowi-JK, yang sedang menunggu pelantikan sebagai presiden dan wakil presiden perlu mengambil pelajaran dari keteladanan Nabi tatkala beliau memimpin pasukan dalam Perang Badar. Pasangan Jokowi-JK harus meneladani perilaku Nabi Muhammad yang menunjukkan satunya kata dengan perbuatan. Nabi jelas sekali menunjukkan bahwa tidak sepantasnya seorang pemimpin meminta fasilitas saat rakyat sedang menghadapi kesulitan.

Itu dilakukan Nabi dengan tulus untuk membangun kebersamaan, bukan sekadar pencitraan. Bandingkan dengan realitas di negeri ini, terutama saat terjadi pergantian kepemimpinan kepala daerah. Juga saat pergantian anggota legislatif provinsi dan kabupaten/kota. Mereka umumnya meminta fasilitas yang serbabaru, termasuk mobil dinas yang mewah. Padahal mobil dinas yang lama masih layak pakai. Tentu saja perilaku demikian tidak menunjukkan sikap yang berempati pada rakyat.

Dalam Perang Badar juga diungkapkan betapa penting dukungan rakyat pada pemimpin yang mau berjuang untuk kepentingan masa depan bangsa. Dikisahkan bahwa tatkala pasukan muslim telah berhadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1000 orang dengan fasilitas transportasi unta yang berlimpah, Nabi sempat meminta pendapat pada sahabat. Beliau berseru dengan suara yang bergetar; ”Wahai para sahabat, berikanlah padaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?” Seorang sahabat dari golongan Muhajirin bernama Miqdad bin Amir maju seraya berkata; ”Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah. Kami akan tetap berjuang bersama tuan.

Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil pada Nabi Musa yang mengatakan; Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan berperanglah.” Komitmen serupa juga ditegaskan Saad bin Muadz dari golongan Anshar. Dukungan para sahabat terhadap Nabi ini penting dijadikan teladan bagi rakyat. Itu berarti semua elemen bangsa harus memberikan dukungan pada pemimpin yang telah dipilih rakyat melalui jalan demokrasi dengan segala kekurangannya. Syaratnya, pemimpin itu benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, kita harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya.

Karena itu, kita harus mengapresiasi gagasan Jokowi yang menghendaki anggota kabinetnya menanggalkan jabatan di partai politik. Sayang sekali, gagasan segar Jokowi itu sempat ditolak partai pendukungnya. Padahal gagasan itu penting untuk meningkatkan kinerja menteri sehingga benar-benar total bekerja sebagai pelayan rakyat. Dengan bermodalkan dukungan yang kuat dari para sahabat, Nabi memimpin Perang Badar dengan penuh opti-misme. Untuk menguatkan keyakinan dalam berjuang, sejenak Nabi menghadapkan wajah ke kiblat guna bermohon pada Allah agar diberi pertolongan.

Setelah merasa yakin doanya dikabulkan Allah, Nabi dan para sahabat maju ke medan laga dengan semangat berlipat. Dengan perjuangan dan bantuan Allah, Nabi dan para sahabat berhasil menaklukkan pasukan Quraisy yang berjumlah tiga kali lipat dari pasukan muslim (QS Al-Anfal : 9). Peristiwa dalam Perang Badar memberikan pelajaran bahwa untuk mengatasi problem yang dihadapi, yang harus dilakukan pemimpin adalah selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Kedekatan pada Tuhan ini penting karena dapat memberikan keyakinan dan energi yang luar biasa untuk keluar dari berbagai persoalan.

Bukankah saat ini kita sedang menghadapi berbagai persoalan sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan politik yang tidak ringan? Jika kita tidak berhasil mengatasi problem tersebut, bangsa ini pasti akan berpotensi menjadi negara gagal (failed state). Karena itulah, kita berharap pemimpin publik negeri ini mengambil pelajaran dari akhlak Rasulullah tatkala memimpin Perang Badar. Semoga Jokowi- JK dapat membentuk pemerintahan baru dengan semangat mengabdi demi masa depan bangsa yang lebih berdaulat dan bermartabat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar