Sabtu, 20 September 2014

Harga Keputusan Referendum Skotlandia

Harga Keputusan Referendum Skotlandia

Ali Maksum  ;   Kandidat Doktor Hubungan Internasional Universiti Sains Malaysia, Peneliti Centre for Policy Research and International Studies (CenPRIS)
JAWA POS, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PASCA referendum Skotlandia, seluruh rakyat Inggris Raya (the United Kingdom) akhirnya bisa bernapas lega. Sebuah keputusan tepat diambil rakyat Skotlandia yang akhirnya memilih untuk tetap berada di pangkuan Inggris Raya daripada memisahkan diri dari Negeri Ratu Elizabeth tersebut. Menurut catatan Jawa Pos, dari 4,5 juta warga yang terdaftar sebagai pemilih, sebanyak 1,9 juta atau 55 persen menolak untuk merdeka, sedangkan sisanya sekitar 1,5 juta pemilih atau 45 persen menyatakan ingin merdeka (JPPN.com, 19/9/2014). Namun, ada konsekuensi yang harus dibayar. Yaitu, rakyat Skotlandia diberi kewenangan lebih untuk mengatur masalah perpajakan dan aspek-aspek yang menyangkut kesejahteraan.

Munculnya referendum itu jelas menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi rakyat Inggris Raya. Bagaimana tidak, Skotlandia yang telah bersama-sama hidup dengan rakyat Inggris Raya selama tiga abad harus berpisah. Bahkan, beberapa figur, termasuk mantan bintang sepak bola David Beckham, perlu membuat surat terbuka tentang pentingnya sebuah ikatan yang sudah terbina selama ini. Beckham menyebut tokoh-tokoh Skotlandia, terutama para olahragawan, yang nyata-nyata telah mengharumkan nama Inggris Raya. Misalnya, Sir Chris Hoy (balap sepeda), Andy Murray (tenis lapangan), Jess Ennis (pelari), Mo Farah (pelari), dan tentunya mantan bos Beckham di Manchester United, Sir Alex Ferguson.

Keputusan rakyat Skotlandia itu tentu sudah dipikirkan dengan matang terkait dengan manfaat dan akibat yang akan diterima, baik bergabung maupun merdeka dari Inggris Raya. Angka 45 persen yang memilih merdeka memang cukup fantastis. Sebab, bagaimanapun, jumlah tersebut mengindikasikan tidak sedikitnya rakyat Skotlandia yang memang benar-benar ingin merdeka.

Hal itu sangat berbeda dengan hasil jajak pendapat di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Di antara 438.968 penduduk Timor Timur, sebanyak 78,5 persen menolak otonomi khusus yang membuat pemisahan dari Indonesia. Sisanya, lebih dari 21,5 persen menerima otonomi khusus dan bergabung dengan Indonesia.

Dalam kasus Skotlandia, Inggris Raya dinilai kurang memberikan wewenang dalam beberapa isu terkait dengan pajak dan wewenang dalam mengelola pemerintahan. Di sisi lain, pembangunan di Skotlandia jelas terlihat sama majunya dengan pembangunan di Inggris Raya. Artinya, dalam aspek pemerataan pembangunan, situasinya jelas cukup berbeda dengan kasus Timor Timur.

Memang, selama Timor Timur berada di bawah Indonesia, telah banyak pembangunan yang dilaksanakan. Namun, pembangunan di sana jelas tidak semaju pembangunan di Jawa, misalnya. Apalagi bisa dikatakan pembangunan di Timor Timur waktu itu tidak berbeda dengan situasi di mayoritas provinsi di Indonesia Timur. Yang paling terlihat, rakyat Skotlandia melakukan referendum dalam situasi aman, sedangkan rakyat Timor Timur di bawah rongrongan kelompok separatis bersenjata yang didukung asing.

Dalam konteks ini, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa diambil rakyat Indonesia dari referendum rakyat Skotlandia. Pertama, rakyat Skotlandia sangat realistis. Dengan perolehan suara yang mencapai 45 persen, jelas itu bukan main-main. Namun, di tengah situasi tersebut, tampaknya, rakyat Skotlandia juga sadar bahwa ada harga yang harus dibayar atas keputusan memilih merdeka atau bergabung.

Mereka yang memilih tetap bergabung jelas melihat bahwa pesatnya pembangunan di Skotlandia tidak lepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris Raya. Yang memilih merdeka jelas akan berpisah dengan saudara yang mempunyai sentimen sama baik bahasa maupun budaya. Namun, hal itu juga menjadi tekanan kepada pemerintahan Perdana Menteri David Cameroon bahwa mereka harus memberikan perhatian lebih kepada rakyat Skotlandia. Dalam konteks Indonesia, jelas pemerintah harus mampu melakukan pendekatan persuasif melalui program-program pembangunan dan pemerataan ekonomi.

Kedua, rakyat Skotlandia sangat dewasa dalam berpolitik. Artinya, rakyat Skotlandia bisa melakukan jajak pendapat dengan tenang dan tanpa emosi. Selain itu, bisa dikatakan rakyat Skotlandia sangat pragmatis. Artinya, dari berbagai pertimbangan untung rugi, tetap bergabung dengan Inggris Raya lebih menguntungkan dan membawa manfaat daripada harus merdeka. Minimal mereka akan memulai dari nol/awal seluruh sistem dan tatanan yang pasti tidak gampang dilaksanakan, walaupun sudah disiapkan.

Dengan demikian, hal itu menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang selalu diancam gerakan separatis yang menuntut kemerdekaan, terutama di Papua dan Maluku. Pemerintah harus serius menangani isu tersebut. Memang, NKRI harga mati. Namun, semangat itu harus diikuti berbagai langkah dan pendekatan strategis serta persuasif agar kelompok-kelompok tersebut tidak merajalela tumbuh dan akhirnya bisa bertindak represif.

Pendekatan bersifat militer layak dilakukan, namun harus diikuti kebijakan pembangunan yang berkelanjutan serta tidak melupakan nilai-nilai lokal mereka. Akhirnya, pemerintah sebagai ujung tombak harus memadamkan niat-niat rakyat Indonesia yang ingin merdeka diikuti kebijakan persuasif. Kemerdekaan Timor Leste dan hasil pembangunan mereka sekarang cukup menjadi pelajaran berharga mengenai arti sebuah keputusan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar