Kamis, 04 September 2014

Roh Reformasi di Kabinet Jokowi

Roh Reformasi di Kabinet Jokowi

Taufik Lamade  ;   Wartawan Senior Jawa Pos
JAWA POS, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JOKO Widodo (Jokowi) merupakan presiden kelima pasca reformasi. Ini adalah tahun ke-16 setelah tumbangnya rezim Orde Baru (Orba) yang sangat bernuansa militer. Apakah semangat-semangat reformasi tetap akan diwarisi kabinet Jokowi?

Gerakan reformasi 1998 sejatinya antitesis rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Rakyat ingin keluar dari pemerintahan sentralistis, monopoli ekonomi, dan kuatnya peran militer dalam kehidupan sipil. Tiga isu itulah yang kemudian menjadi tuntutan utama gerakan perubahan yang membawa tumbal gugurnya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia di Jakarta. Semangat reformasi ingin menumbangkan tiga isu besar.

Kekuasaan sentralistis yang dibangun rezim Soeharto telah membuat pemerintah pusat begitu kuat. Jakarta menjadi segala-galanya. Daerah tak bisa berbuat apa-apa karena semuanya dikomando dari pusat. Istana menjadi sakral dan menakutkan. Semua kekuatan politik alternatif dilemahkan.

Sistem ekonomi monopoli juga hanya menguntungkan segelintir orang yang berada di sekitar Soeharto. Inilah yang membuat sistem kita menjadi sangat korup dan ketidakadilan akses ekonomi terjadi.

Soeharto juga merangkul militer. ABRI (kini TNI) menjadi tulang punggung utama Soeharto. Hampir tidak ada ranah sipil yang tak disentuh militer. Bahkan, parlemen yang seharusnya menjadi representasi rakyat atau masyarakat sipil juga dimasuki Fraksi ABRI. Bahkan, banyak pula BUMN yang dimasuki para pensiunan jenderal.

Soeharto juga menerjemahkan hegemoni kekuasaannya itu dalam kabinet. Sejumlah pos-pos strategis diserahkan kepada para jenderal. Pos menteri dalam negeri (Mendagri), misalnya, selalu dipegang para jenderal senior. Mulai Amir Mahmud, Soepardjo Rustam, Rudini, hingga Yogie S. Memet. Di kabinet terakhir Soeharto, Mendagri dipegang Jenderal R Hartono. Gaya Depdagri (kini Kemendagri) saat Orba sangat sentralistis.

Begitu juga menteri pertahanan (Menhan) yang sering dirangkap dengan jabatan panglima ABRI. Seperti Jenderal Yusuf, Maraden Panggabean, Try Sutrisno, L.B. Moerdani, hingga di era Wiranto. Soeharto tak mau memilih Menhan dari sipil seperti di sejumlah negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat.

Bukan hanya di dua pos polkam itu, Soeharto juga menempatkan sejumlah jenderal di pos strategis lain, termasuk cukup lama menjadikan Alamsyah Ratu Perwiranegara, seorang militer, di posisi menteri agama. Atau Laksamana Sudomo, yang terkenal saat menjadi Pangkopkamtib (panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) dalam mengendalikan demonstran, diangkat sebagai Menaker untuk mengendalikan para buruh. Masih banyak lagi jenderal yang bertebaran di berbagi pos kabinet.

Hegemoni militer yang menjadi ciri khas Orba menjadi tuntutan para reformis untuk dihapus. Semangat reformasi menuntut pemerintah yang demokratis dan kuatnya peran sipil.

Kabinet pasca-Soeharto mengakomodasi semangat dan tuntutan reformasi. Habibie mulai mengakomodasi peran-peran politik seperti mulai memasukkan menteri dari unsur PDI dan PPP. Pintu demokrasi pun mulai dibuka, seperti penghapusan pemberedelan media massa.

Di era Gus Dur, kabinet mengakomodasi semangat reformasi dengan lebih luas lagi. Salah satunya ialah mengangkat orang sipil sebagai Menhan. Gus Dur menunjuk Prof Mahfud M.D., ahli hukum tata negara, sebagai Menhan. Menghapus tradisi Orba yang selalu menempatkan jenderal aktif sebagai Menhan.

Bukan hanya itu, Gus Dur juga merotasi panglima TNI dari tiga angkatan. Bila di era Soeharto TNI-AD sangat mendominasi pucuk militer, sejak era Gus Dur panglima TNI dijabat secara bergantian oleh TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Gus Dur mengangkat Laksamana Widodo A.S. sebagai panglima TNI.

Sejak itu Menhan selalu dijabat sipil. Megawati yang menggantikan Gus Dur mengangkat politikus PKB Matori Abdul Djalil sebagai Menhan. Sementara di era pemerintahan SBY-JK atau SBY jilid I, pos Menhan ditempati Prof Juwono Sudarsono. Serta di kabinet SBY II, Menhan dijabat Purnomo Yusgiantoro, yang sebelumnya menteri ESDM.

Untuk pos Mendagri, sejak era SBY jilid II dominasi jenderal terputus. Gamawan Fauzi menjadi orang sipil pertama sejak Orba yang menjabat pos penting itu. Saat menunjuk Mendagri dari sipil, SBY mendapat apresiasi besar. Ini seiring dengan semangat otonomi daerah yang juga salah satu roh reformasi itu sendiri. Ini seiring dengan era demokrasi pemilihan langsung. Lain halnya dengan era Soeharto, yang mana sejumlah jabatan gubernur dan bupati sudah dikavling untuk militer.

Semangat pos Menhan dan Mendagri ditempati sipil bukan hanya persoalan siapa yang pantas menjabat. Tidak berarti mantan jenderal tak bisa menempati dua pos strategis itu. Sebab, banyak jenderal yang juga tak kalah hebat. Namun, arti penting Menhan dari sipil, misalnya, secara psikologis menunjukkan bahwa dalam tataran kebijakan politis militer tetap menjadi bagian masyarakat sipil. Warisan Menhan sipil itu alangkah baiknya menjadi tradisi.

Begitu juga halnya untuk pos Mendagri. Di era otonomi daerah dan pemilihan langsung, sangat pas bila pos tersebut dipegang sipil. Pengalaman masa lalu yang sangat sentralistis sudah tak cocok dengan otonomi daerah. Rasanya, sosok gubernur yang sukses sangat layak untuk menempati pos ini. Seperti halnya Gamawan Fauzi.

Apakah Jokowi yang kini dikelilingi sejumlah jenderal sarat pengalaman seperti Wiranto, Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Ryamizard Ryacudu, Tb. Hasanuddin, dan Sutiyoso akan tetap mempertahankan tradisi ”menteri sipil” yang mulai muncul di era reformasi itu? Apakah Menhan nanti tetap berasal dari kalangan sipil? Apakah Mendagri juga dari sipil? Apakah Jokowi siap menggilir jabatan panglima TNI dari TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU? Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar